Kamis, 10 Mei 2012

Menanti Akhir Krisis Suriah

Menanti Akhir Krisis Suriah
Aziz Anwar Fachrudin; Koordinator Forum Studi Arab dan Islam (FSAI),
Pengajar Mahasiswa di Ponpes Nurul Ummah, Kotagede, Yogyakarta
SUMBER :  REPUBLIKA, 09 Mei 2012


Dari semua negara Arab yang mengalami pem berontakan rakyat, Suriah adalah negara yang mengalami prob lem paling kompleks. Suriah berbeda dengan Tunisia, Mesir, dan Yaman yang rezimnya cenderung pro-Barat. Suriah punya rekam jejak yang kuat menentang Barat.

Suriah juga tidak sama dengan Libya yang menderita otoritarianisme Qadafi selama 41 tahun. Bashar al-Assad terhitung masih muda dan “baru“ menikmati kuasa selama 11 tahun.

Suriah merupakan penyangga utama poros Iran. Suriah adalah “jembatan“ paling strategis yang menghubungkan Teheran ke faksi Hizbullah (Lebanon). Karena itu, Suriah pun menjadi battle ground yang mempertarungkan kubu AS-Eropa-Qatar-Saudi di satu sisi, dengan Iran-Rusia-Cina-Lebanon di sisi lain. Sebab, banyak aktor luar yang bermain. Tak heran jika pencarian opsi solusi untuk Suriah selalu mengalami tarik ulur. Padahal, korban tewas sudah mencapai lebih dari 10 ribu jiwa. Perkembangan mutakhir justru menunjukkan krisis Suriah turut diperparah oleh friksi internal: kontestasi oposisi dan polarisasi kelas sosial.

Dari semua grup oposisi yang terbentuk, ada dua yang terbesar: al-Majlis alWathani as-Suriy (Syrian National Council, SNC) dan Hai'ah at-Tansiq alWathaniy (National Coordination Board, NCB). SNC adalah oposisi di “pengasingan“, didirikan dan bermarkas di Istanbul, Turki. Sedangkan, NCB adalah oposisi di dalam, bermarkas di Damaskus.

SNC merupakan oposisi yang mendapat dukungan luas, terutama dari aktor eksternal. Pada 1 April 2012, SNC mendapat pengakuan sebagai representasi sah rakyat Suriah dalam Konferensi ke2 Friends of Syria, di Istanbul, yang dihadiri lebih dari 70 negara. Dalam konferensi itu pula, SNC ditahbiskan sebagai “payung“ bagi semua oposisi. Kelompok pendukung SNC, antara lain: gerakan Damascus Spring (pendukung Deklarasi Damaskus 2000/2001), Ikhwanul Muslimun (IM), dan faksi Kurdi.

Namun, SNC adalah oposisi “radikal“ di mata rezim Assad. Tujuan utama SNC adalah melengserkan Assad. SNC menolak dialog dan cenderung mendukung intervensi militer. SNC bahkan sempat meminta NATO untuk menerapkan operasi no-fly-zone seperti di Libya. SNC juga berafiliasi dengan al-Jaisy as-Suriy al-Hurr (Free Syrian Army, FSA), kumpulan para tentara Suriah yang membelot--kabarnya sudah mencapai 40 ribu tentara dan 23 batalion. Melalui SNC, Arab Saudi dan Qatar memberi dana kepada FSA.

Sedangkan NCB, karena beroperasi di dalam, lebih bisa memobilisasi massa dan tahu keadaan di level bawah (on the ground). Ini yang tidak dimiliki SNC. NCB lebih mengutamakan dialog dan tegas menolak intervensi militer.
Bagi NCB, mempersenjatai militer oposisi dan melengserkan Assad hanya akan menambah jumlah kekerasan dan menimbulkan chaos.

NCB didukung oleh para aktivis independen, koalisi al-Watan, kelompok kiri-sosialis, Pan-Arabis, dan partaipartai sekuler lainnya. NCB adalah oposisi “moderat“ di mata rezim Assad. NCB inilah yang didekati oleh Rusia ketika Menlu-nya, Sergei Lavrov, berkunjung ke Damaskus.

Rivalitas SNC dan NCB tentu saja memanaskan tensi politik Suriah. Kontestasi keduanya menyebabkan pencarian solusi krisis Suriah terhambat. Rakyat Suriah pun ikut terbelah: sebagian menyatakan bahwa kelompok oposisi itu hanya memburu ambisi politik.

Padahal, persatuan oposisi semestinya menjadi hal yang niscaya sebelum dialog dengan rezim dilakukan. Disparitas SNC dan NCB bisa jadi malah menguntungkan rezim Assad. Tragisnya, Assad pun tidak lantas bergeming.
Assad kembali melanggar janji. Pada 10 April--batas tanggal gencatan senjata sesuai solusi “enam poin“ yang diupaya kan duta PBB, Kofi Annan--tentara loyalis Assad masih tega menembaki rakyat sipil. Bahkan, sebagian pengungsi di kawasan perbatasan Turki pun tak luput dari berondongan peluru.

Polarisasi Sektarian

Kelas sosial dalam tubuh rakyat Suriah juga mengalami polarisasi. Beberapa kelompok minoritas--seperti Kristen Ortodok, Syiah-Alawiyah, dan Syiah-Imamiyah--cenderung mendukung rezim Assad. Mereka sempat menyelenggarakan demo yang cukup masif sebagai tandingan terhadap para pendemo antirezim.

Kubu Islamis pun ikut ambil bagian. IM tentu saja masih menyimpan memori pembantaian Hama 1982 oleh Hafez alAssad. IM pernah dilarang beroperasi di Suriah. Sebagian dari anggotanya kemudian mengungsi dan menjadi pebisnis besar di pengasingan. Keberpihakan IM kepada SNC jelas memberi dua keuntungan: memberi dukungan finansial sebagai wujud solidaritas dan sekaligus memperteguh komitmen IM pada antiotoritarianisme. Sebagai catatan, IM sudah menandatangani piagam perjanjian dengan SNC sebagai bukti komitmennya terhadap kebebasan berpendapat dan transisi demokrasi.

Kubu Salafi juga tak mau ketinggalan. Tapi, kelompok ini tampak pragmatis.
Para “kader“-nya merasuk, baik ke dalam SNC maupun NCB. Barangkali manuver seperti di Mesir hendak dilakukannya: menunggangi oposisi untuk merengkuh kursi kuasa seandainya Assad tumbang. Krisis Suriah rawan dimanfaatkan oleh para oposan-oportunis.

Warta mutakhir memberitakan, PBB mengirim pengamat lagi ke Suriah. Untuk sementara, Assad berada di atas angin. Banyak pengamat menilai Assad bisa bernapas lega setidaknya sampai akhir 2012. Pertanyaan yang tentu saja akan menjadi ganjalan besar adalah: bagaimana nasib para korban tewas itu dan bagaimana perbuatan Assad dan militernya dimintai pertanggungjawaban? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar