Problema Sertifikasi Seniman
Agus Dermawan T; Kritikus Seni, Penulis Buku-Buku Seni Budaya
SUMBER
: KORAN
TEMPO, 09 Mei 2012
Pada akhir April 2012, Wakil Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan, Wiendu Nuryanti, melontarkan
gagasan: sertifikasi seniman. Isi gagasan itu adalah memberi sertifikat kepada
para seniman yang dianggap terampil dan berbobot. Sertifikat itu akan membawa
para penari, dalang, sastrawan, penyanyi, pesinden, perupa, dan sebagainya
kepada posisi "seniman utama", artium magister, atau
"adi-seniman" (adi = tinggi). Dengan predikat itu, para seniman yang
termaksud akan memiliki peluang besar untuk hadir leluasa di kancah nasional
maupun internasional.
Gagasan ini, yang pernah dilontarkan oleh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan pada 1990, tentu saja bagus.
Apalagi ketika kita melihat kenyataan bahwa tak sedikit seniman lulusan akademi
yang prestasi keseniannya justru kurang memadai. Padahal di belakang namanya
sudah bertengger titel S.Sn (sarjana seni), MgS (magister seni), MA (master
of arts), DR, bahkan profesor seni. Sementara itu, di sebaliknya, sangat
banyak seniman yang tidak memiliki gelar akademis namun malah tak pernah henti
melahirkan karya-karya bermutu tinggi.
Dengan begitu, apabila program dilaksanakan,
pemerintah sebaiknya memberikan gelar kepada para seniman bersertifikasi ini.
Misalnya gelar AsT (adi-seniman tari) untuk penari, AsF (adi-seniman film)
untuk seniman film. Atau mungkin gelar yang bersifat umum, seperti AM (artrium
magister). Bisa diyakini gelar ini akan jadi pegangan keyakinan masyarakat,
parameter apresiasi, kebanggaan seniman, sekaligus tujuan pencapaian para seniman
yang belum memperoleh predikat "seniman utama".
Di berbagai negara maju, sertifikasi seperti
ini telah lama diberlakukan. Di Cina, sertifikat seniman diterbitkan oleh
berbagai lembaga tepercaya yang secara formal berada di bawah payung
pemerintah. Maka, penari, pelukis, pengukir, sampai pemain akrobat yang belum
lihai kungfunya dilarang tampil di arena-arena terhormat.
Berlapis Problem
Sebelum melangkah lebih jauh, bijak apabila
pemerintah mewaspadai aneka problematika yang bakal muncul dalam upaya sertifikasi
ini. Yang paling mendasar dan krusial adalah bagaimana pemerintah mendata
secara persis ribuan seniman akademis dan non-akademis yang aktif berpraktek di
sekujur bumi Indonesia, dari Aceh sampai Papua! Setelah semuanya tersensus,
bisakah pemerintah secara akurat dan bersih memilih seniman yang diakui sebagai
kelas utama itu. Karena, sejarah sudah berkali-kali menunjukkan kenyataan bahwa
atas sumber pilihan yang tidak eksak seperti kesenian, muaranya selalu saja
subyektif. Dan berujung pada eksploitasi negatif wilayah kekerabatan dan
pertemanan yang nepotik.
Berikut ini sebuah contoh kecil. Sekitar 20
tahun silam, lembaga seni Jepang menominasikan pelukis Dede Eri Supria untuk
mendapat penghargaan seni rupa Asia. Nama Dede muncul setelah direkomendasikan
oleh kurator Jepang dan sejumlah ahli seni Indonesia nonpemerintah. Untuk
melegitimasi nama Dede, pihak Jepang meminta sertifikasi resmi dari pemerintah
Indonesia, dalam hal ini Direktorat Kesenian. Namun, lantaran Dede dianggap
terlalu muda usianya, pihak Direktorat Kesenian mengajukan nomine lain (seniman
kalangan direktorat sendiri). Pertimbangan ini menyebabkan sertifikasi nama
Dede terus ditahan sampai habisnya waktu penilaian. Dede pun kehilangan
peluang. Dunia kemudian tahu penghargaan ini akhirnya jatuh ke tangan perupa
muda dari Cina.
Koncoisme, klik, asas kekeluargaan, dan
nepotisme seperti di atas adalah kendala paling dominan dalam upaya proses
pemilahan seniman serta eksekusi pemilihan seniman-utama di Indonesia. Untuk
menghindari bencana tuna-obyektivitas semacam itu, pemerintah agaknya perlu
membentuk lembaga semacam Dewan Pertimbangan Kesenian (bukan latah, nih!) di
seluruh provinsi, dengan Dewan Pertimbangan Kesenian Pusat sebagai induk. Di
dalam lembaga, duduk pakar, pengamat, kritikus, dan peneliti seni dari berbagai
macam sektor seni. Para ekspertis ini harus diyakini memiliki kejujuran dan
integritas, memiliki independensi, punya tanggung jawab moral dan obyektivitas
tinggi, memiliki kedalaman dan keluasan pengetahuan bidang yang terkait.
Sementara itu, dalam praktek penilaian, ada
sejumlah problem yang harus dipecahkan. Kita paham, penilaian atas sastrawan
mungkin bisa lewat reputasi tulisan serta kiprahnya dalam jagat penerbitan.
Penilaian atas pemusik, komponis, penyanyi dilakukan lewat presentasi musikal,
spirit aktualisasi, serta penampilannya. Penilaian atas dalang dan sinden lewat
kemahiran, kedalaman dan pesona pementasannya. Penilaian untuk seorang perupa
bisa ditemukan lewat gagas-rupa, prestasi visual karya cipta, produktivitas,
dan sosialisasinya. Walaupun persoalan akan muncul ketika diketahui perupa itu
sering memakai artisan dan tukang, sehingga keterampilannya sendiri
terpinggirkan.
Namun bagaimana dengan penilaian atas pemain
drama dan tari, misalnya? Adakah mereka sekadar dinilai sebagai individu yang
lepas dari lakon, peran koreografer, dan sutradara? Adakah mereka dinilai
sebagai bagian dari sebuah unity yang disebut panggung besar? Semua ini
penting dirumuskan secara matang, agar kontroversi terhindarkan dan diskriminasi
yang sering menyakiti hati tidak terjadi.
Kritik Seni
Untuk mendukung program sertifikasi, ada
beberapa bagian perangkat penilai yang harus dibenahi. Yakni, perlu
digalakkannya kembali kritik seni di media massa. Tulisan jurnalis seni yang
selama ini dipandang cukup baik harus dilengkapi dengan artikel analisis
kritikus seni, yang menjelaskan soal nilai-nilai baik-buruk karya seni.
Diperlukan juga redaktur seni yang mumpuni di desk media massa, baik
media cetak, media televisi, maupun media online. Dengan demikian, media
massa tahu benar mana reputasi seni yang patut dijunjung dan mana yang harus
disikapi dengan kritis kualitasnya. Dengan demikian, media massa tidak begitu
saja menelan seni sebagai berita, bagai yang tercontoh di bawah ini.
Beberapa waktu lalu beberapa media televisi
berkali-kali menyiarkan profil seorang perancang mode yang dianggap populer dan
reputatif. Begitu takjubnya televisi kepada seniman itu, sampai-sampai jajaran
lukisan yang terpajang di rumah serta butiknya--dan diklaim sebagai karya Raden
Saleh--juga diekspos dengan gembira-ria. Di ujung perkara, semua tahu, belum
lama ini "seniman utama" tersebut ditangkap polisi karena terlibat
soal penipuan dan utang. Sedangkan lukisan Raden Saleh yang dibangga-banggakan
itu ternyata semuanya palsu.
Sertifikasi seniman, meski rumit dan
menyimpan sangat banyak persoalan, memang diperlukan. Bahkan proyek sertifikasi
seniman ini bisa dibarengi dengan program sertifikasi karya seni. Terutama pada
hak cipta dan keasliannya. Sehingga gubahan Si Polan tidak diaku-aku sebagai
gubahan Si Badu. Atau lukisan Si Dadap diagulkan-agulkan ke publik sebagai
karya Si Waru.
Dengan begitu, kejadian pameran besar lukisan
palsu seperti The Old Painting Pre World War II di Jakarta pada 2000
tidak lagi terjadi. Penting diingat kembali, pameran lukisan palsu ini malah
mendapat dukungan dari Direktur Jenderal Kebudayaan dan anggota Komite Seni
Rupa Dewan Kesenian Jakarta waktu itu, yang notabene adalah orang-orang
pemerintah sendiri! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar