Korporasi Pendidikan dan Kebudayaan
Darmaningtyas; Penulis Buku Manipulasi
Kebijakan Pendidikan
SUMBER
: KORAN
TEMPO, 09 Mei 2012
Korporasi dalam pengertian yang sederhana
adalah perusahaan besar yang dipisahkan antara manajemen dan kepemilikan sahamnya.
Perusahaan-perusahaan besar yang disebut korporasi tersebut pada umumnya
dikelola secara profesional, oleh orang-orang profesional, dan dengan standar
pengelolaan (manajemen) yang baku dan ditandai dengan sertifikasi ISO atau
sejenisnya. Sertifikasi semacam itu bagi mereka penting karena melambangkan
tingkat keprofesionalan. Terlebih bila perusahaan tersebut adalah jasa
konsultansi atau penyuplai produk ke instansi lain, yang untuk mendapatkannya
harus melalui sistem tender. Persyaratan tender biasanya beragam, termasuk
kepemilikan sertifikat. Semakin banyak jenis sertifikat yang dimiliki dan
berasal dari luar negeri, probabilitas untuk menang semakin tinggi.
Sertifikasi dalam Pendidikan
Pola pikir sertifikasi ini sekarang ini tidak
hanya terjadi di dunia swasta, tapi juga telah merasuk ke dunia pendidikan dan
kebudayaan. Inilah yang disebut sebagai pola korporatisasi pendidikan dan
kebudayaan; yaitu menjadikan pola manajemen di korporasi sebagai acuan untuk
pengembangan manajemen institusi pendidikan. Padahal keduanya berbeda, karena
yang satu mencari untung (profit center), dan yang satunya lagi
menghabiskan dana (cost center).
Konsep sertifikasi dalam dunia pendidikan itu
pada awalnya diperkenalkan sebagai upaya untuk menciptakan standardisasi (produk).
Semula konsep sertifikasi tersebut hanya diperuntukkan bagi guru dan dosen
untuk memperoleh pengakuan sebagai tenaga profesional yang diikuti dengan
pembayaran tunjangan profesional. Tapi, kemudian, program sertifikasi guru dan
dosen ini diikuti dengan program sertifikasi manajemen, seperti misalnya
sertifikasi ISO 9001:2000 atau ISO 14000 versi terakhir. Jadi, pada saat ini
bukan hanya guru dan dosen yang berburu sertifikat, lembaga sebagai pengelola
pendidikan pun berburu sertifikat (ISO) agar sekolah/kampus mereka disebut
modern. Kecenderungan standardisasi dan sertifikasi dalam dunia pendidikan itu
sepintas membanggakan, tapi bila ditelisik lebih dalam lagi amat mencemaskan
kita, karena akan membawa pengelolaan pendidikan dalam roh korporasi: steril,
kaku, dan monoton. Padahal dunia pendidikan seharusnya variatif, inovatif, dan
dialogis.
Standardisasi memang diperlukan dalam suatu
proses produksi guna mengukur tingkat efisiensi produksi. Dengan adanya
standardisasi yang baku, suatu proses produksi dapat disebut efisien/tidak
bergantung pada hasil akhirnya. Misalnya, dalam percobaan, 100 kg terigu
setelah dicampur dengan bahan baku lain dan diolah menghasilkan 1.500 bungkus
mi instan dengan berat 72 gram. Bila dalam proses produksi selanjutnya ternyata
bahan baku yang sama menghasilkan kurang dari 1.500 bungkus mi instan, berarti
terjadi inefisiensi dalam proses produksinya.
Standardisasi itu diperlukan agar
langkah-langkah produksi yang terjadi pada saat percobaan dan menghasilkan
1.500 bungkus tadi dapat dibakukan dan menjadi pedoman proses produksi
berikutnya untuk menghasilkan produk yang optimal. Tapi standardisasi semacam
itu hanya mungkin bisa dilakukan bila bahan bakunya sama, jenis peralatan yang
digunakan sama, orang yang memproduksi punya kemampuan selevel, serta proses
produksinya sama. Bila salah satu komponennya tidak lengkap, standardisasi
tersebut tidak bisa dilakukan. Jadi, standardisasi itu hanya bisa dilaksanakan
dengan akurat bila seluruh komponennya sama.
Berdasarkan pemahaman standardisasi seperti
itu, maka standardisasi tunggal dalam pendidikan yang ditandai dengan
sertifikasi ISO 9001:2000 atau ISO 14000 versi terakhir adalah suatu
kemustahilan. Sebab, dapat dipastikan bahwa input, prasarana dan sarana,
kualitas pengelola, kultur yang melingkupi, maupun masyarakat pendukungnya
berbeda-beda, tidak sama persis. Dalam kasus 100 kg terigu, dengan proses
produksi yang sudah distandardisasi akan dihasilkan 1.500 mi instan dengan
berat 72 gram per bungkus. Tapi, jika 240 murid baru di suatu SMA favorit yang
memiliki IQ rata-rata di atas 120 diajar dengan materi yang sama dan oleh guru
yang sama, belum tentu hasilnya sama. Ternyata dari 240 murid tersebut ada yang
berminat menjadi dokter, insinyur sipil, insinyur mesin, psikolog, arsitek,
jurnalis, seniman, ilmuwan, pengusaha, dan pekerja sosial. Hasil seperti itu
bukan suatu kegagalan, tapi memang itulah fakta bahwa manusia itu makhluk
misteri, tidak bisa dicetak untuk hanya satu tipe produk tertentu saja.
Mengingat manusia itu makhluk misteri, serta
minat dan orientasinya dinamis, maka proses pembentukannya tidak bisa
distandardisasi secara tunggal, apalagi disertifikasi. Mensertifikasi proses
pembentukan manusia melalui lembaga pendidikan formal sama saja dengan
menciptakan korporatisasi dalam dunia pendidikan. Hasil akhirnya belum tentu
suatu prestasi gemilang, melainkan justru kegagalan yang fatal. Menjadikan
sertifikasi ISO sebagai ukuran keberhasilan manajemen pendidikan jelas
merupakan langkah yang sesat. Justru model-model pendidikan ala pesantren yang
menerapkan sistem sorogan atau bandongan dulu relevan untuk diterapkan dalam
dunia pendidikan.
Sertifikasi Seniman
Kecenderungan korporatisasi itu tecermin pula
pada pengembangan budaya. Gagasan Wakil Menteri Pendidikan Bidang Kebudayaan,
Wiendu Nuryanti, untuk mensertifikasi seniman dengan alasan agar dapat bersaing
dengan seniman dari luar negeri, terutama negara-negara maju, adalah contoh
konkret dari korporatisasi budaya.
Gagasan ini sesat dari dua hal. Pertama,
sebutan "seniman" sejak dulu kala tidak pernah ditandai dengan
selembar sertifikat, termasuk ijazah, melainkan merupakan pengakuan dari proses
panjang pergulatan ide dan perbuatan seseorang untuk menghasilkan karya seni
yang dapat dinikmati oleh publik, tanpa mempedulikan ijazah sang seniman.
Seseorang yang mengantongi sertifikat (ijazah) dari Institut Seni Indonesia
(ISI) tidak secara otomatis disebut seniman bila dia tidak memiliki karya yang
dapat dinikmati publik. Dia hanya disebut sarjana seni. Sebaliknya, meskipun seseorang
itu tidak memiliki selembar ijazah dari perguruan seni, ia disebut seniman bila
karyanya mendapat apresiasi publik.
Kedua, seniman berkarya untuk mengekspresikan
gagasannya, bukan untuk bersaing dengan siapa pun. Seniman lebih suka
berkolaborasi dengan pihak lain untuk menghasilkan karya
spektakuler/monumental, daripada bersaing dengan sesama seniman. Karena gagasan
mensertifikasi seniman itu merupakan gagasan yang sesat, ia tidak perlu
dilaksanakan di lapangan, apalagi dibuat kebijakan khusus. Kembalikan seniman
itu pada proses kreatifnya.
Jadi, kesimpulannya, sertifikasi sebagai
tanda standardisasi produk itu diperlukan untuk sebuah proses produksi
(manufaktur), tapi tidak tepat untuk diterapkan dalam pendidikan dan
kebudayaan; mengingat input maupun orientasi input-nya amat
beragam. Pengelolaan dan pengembangan pendidikan serta kebudayaan jauh lebih
tepat didasarkan pada nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat setempat.
Pendidikan dikelola secara dialogis, dan seniman didorong produktif sesuai dengan
proses kreatifnya; bukan dengan mensertifikasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar