Rabu, 09 Mei 2012

Prancis, Sosialisme, dan Kita


Prancis, Sosialisme, dan Kita
Dinna Wisnu; Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
SUMBER :  SINDO, 09 Mei 2012


Di Prancis baru saja terpilih presiden baru bernama Francois Hollande dari garis politik kiri yang Sosialis. Terpilihnya Hollande tidak serta merta disambut meriah oleh jagat Eropa karena garis politik yang diusung Hollande dianggap tidak sejalan dengan garis politik kanan yang selama ini memimpin upaya untuk mengeluarkan Eropa dari krisis ekonomi berkepanjangan. 

Belum juga resmi dilantik, Hollande sudah diklaim akan mengalami masa bulan madu yang sangat pendek.Ia ditekan untuk bergegas mengeluarkan jurus penyelamatannya bagi Prancis dan Eropa. Presiden Amerika Serikat bahkan langsung mengontak Hollande, menegaskan (untuk menjaga) aliansi abadi antara AS dan Prancis, serta berharap ada terobosan baru bagi tata kelola arsitektur ekonomi dunia dalam pertemuan negaranegara kaya G-8 di Camp David, Maryland AS pada 18-19 Mei dan di KTT Trans-Atlantik NATO di Chicago pada 20-21 Mei.

Respons umum pasar juga menunjukkan kehati-hatian dan kecenderungan untuk tidak memberi banyak angin pada Hollande. Apakah pelajaran berharga yang dapat dipetik dari kemenangan Francois Hollande dan sikap publik terhadap kemenangantersebut? Pertama, pada akhirnya suatu negara akan mencari selamat bagi diri sendiri dahulu sebelum menolong yang lain.

Prancis sebagai negara nomor dua terkaya di Eropa, dengan produk domestik bruto terbesar nomor lima di dunia, sesungguhnya bisa saja mengambil langkah-langkah berani untuk “menyelamatkan” Uni Eropa. Selama ini sudah ada kerja sama dengan negara terkaya nomor satu di Eropa yakni Jerman, untuk bersama- sama mencari jalan keluar bagi kemelut di Eropa dengan doktrin “Merkozy” (Merkel-Sarkozy).

Namun, pada akhirnya Prancis menyadari juga bahwa fitur penduduk mereka tidak bisa diselamatkan dengan cara-cara yang terlampau “kanan”. Karakter manusia Prancis itu khas. Di satu sisi mereka modern, disegani, mewah, tetapi di lain pihak kegiatan ekonomi mereka tak luput dari kegiatan ekonomi tradisional dan industri kreatif.

Di sana sektor pertanian memainkan peranan sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi khususnya yang bersumber dari peternakan, bertanam gandum, gula beet, jagung, barley, kentang, serta buah-buahan termasuk anggur. Sektor perdagangan mereka dikenal dengan produk-produk manufaktur dan industri kreatif yang menghasilkan barangbarang mewah kelas dunia, yang tiap tahun mendatangkan jutaan turis ke negara itu.

Sektor-sektor yang menghidupi perekonomian di Prancis bukanlah sektor-sektor produksi berskala besar yang ditopang mesin. Penopang ekonomi di sana justru manusia, petani, peternak, bahkan desainer produk-produk mewah. Artinya bahwa ketika perekonomian hendak diperbaiki kinerjanya, negara perlu mempertimbangkan bahwa target masyarakat Prancis pada umumnya bukanlah untuk menjadi superkaya, melainkan untuk hidup nikmat dalam harmoni dengan alam sekeliling.

Ritme kerja yang dicari bukanlah yang serbasibuk dan lembur. Mereka butuh kebijakan ekonomi yang menjaga harmoni tersebut dan bukan memupuk kompetisi. Masyarakat model ini peduli akan paket jaminan sosialnya dan bukan ingin menghapuskannya. Garis kebijakan Hollande yang lebih ke “kiri” secara tradisi membangkitkan harapan untuk kembali pada asas kebersamaan tersebut.

Pemilu di Prancis ini menjadi contoh betapa pada akhirnya suatu negara harus berani mengambil sikap untuk berbeda pandangan, bahkan ketika harus berseberangan kebijakan dengan negara tetangga yang sudah dipersatukan dalam Uni Eropa bertahun-tahun. Ketika garis kebijakan regional tidak cocok untuk masyarakat lokal, pilihan lokallah yang akan “naik”.

Kedua, kemenangan tipis yang diperoleh Hollande atas Sarkozy mengisyaratkan bahwa basis dukungan bagi Hollande pun tidak sepenuhnya solid.Karena itu, besar kemungkinan Hollande akan memilih kebijakan yang aman dan tidak mengundang kontroversi dari publik di Prancis. Apalagi gaya kepemimpinan Hollande tergolong santun dan kompromis.Tidak akan mengherankan bila Hollande akan cenderung mencari cara lihai untuk menghindari konfrontasi dan situasi mendesak.

Tugas Hollande adalah termasuk untuk menjaga hubungan dengan Jerman,Amerika Serikat, negara-negara Timur Tengah, serta dengan mitra-mitra Uni Eropa. Selama ini Prancis memilih untuk bermain di zona aman bersama Amerika Serikat walaupun cukup berani juga menyokong negara-negara mantan jajahannya di Timur Tengah.

Ke depan kebijakan luar negeri Prancis akan menjadi sorotan. Negara-negara mitra akan mendesak Hollande untuk menentukan arah kerja sama antarmereka. Namun, jika Hollande konsisten dengan agenda penyelesaian problem ekonomi di dalam negeri, kita akan menyaksikan politik luar negeri yang lebih berorientasi ke dalam. Artinya bahwa pilihan penduduk terhadap seorang presiden akan sangat menentukan arah hubungan dengan negaranegara mitra dan posisi negara itu di mata dunia.

Semakin besar kontribusi ekonomi negara pada pertumbuhan ekonomi dunia, semakin besar pula desakan dunia untuk menentukan sikap atas hubungan di antara mereka. Dalam kasus ini Prancis dan Jerman adalah tulang punggung perekonomian Uni Eropa sehingga kebijakan Hollande ditunggu-tunggu. Desakan serupa juga bermunculan terhadap Indonesia dan akan makin tajam menjelang pemilu.

Indonesia adalah tulang punggung kerja sama regional di kawasan ASEAN. Jadi, pilihan bangsa ini atas pemimpinnya akan menentukan pula arah hubungan dengan negara- negara mitra. Ketiga, segala aliran “isme” yang diperdebatkan dalam upaya mencari jalan keluar kemelut ekonomi masa kini sesungguhnya sudah ketinggalan zaman.

Meskipun Hollande mengusung aliran politik “kiri” yang notabene dekat dengan aliranSosialisme, kita tidak bisa otomatis mengatakan bahwa sosialisme yang diusung tersebut sama dengan sosialisme yang diusung oleh Prancis 20 atau 30 tahun lalu. Tidak berlebihan juga bila dikatakan bahwa pilihan publik kepada Hollande belum tentu karena loyalitas pada model ideologi “kiri”, melainkan karena protes terhadap cara-cara yang dipilih lawan politik Hollande.

Sesungguhnya ruang imajinasi kita terhadap solusi baru yang akan ditawarkan Hollande akan sangat terbatas bila kita berangkat dari asumsi akan aliran Sosialisme belaka.Praktik investasi dan perdagangan global, termasuk hubungan antara pemerintah dengan dunia bisnis, telah banyak berubah dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini.

Pilihan masyarakat Prancis yang jatuh pada Hollande perlu kita maknai sebagai desakan untuk perubahan pengelolaan sosial politik dan ekonomi agar krisis yang kini membelit Eropa dapat usai. Bicara soal bersikap, kita harus berani tampil di antara ragam hubungan antara negara dan kaum kapitalis (pemilik modal) di berbagai negara dunia.

Kenyataannya, kaum kapitalis sudah sangat menggurita sehingga logika untuk putus hubungan dengan mereka (seperti disarankan oleh aliran “kiri”) merupakan idealisme kosong saja. Mari kita coba bicara tentang model investasi, perdagangan, dan pengembangan sumber daya manusia yang memberdayakan sebanyak- banyaknya warga negara dan tidak semata-mata menangguk untung besar bagi pemilik modal.

Tentu repot karena dalam dunia kapitalisme segala cara bisa dianggap halal demi memperbesar keuntungan. Namun, karena kapitalisme tak bisa berjalan tanpa ditopang oleh tenaga kerja yang kompeten dan negara yang memfasilitasi, kita perlu berani menawarkan model-model kerja sama yang menguntungkan dengan para pemilik modal. Semoga Hollande membuka peluang lebih luas bagi dialog tersebut di tataran pemimpin dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar