Pemenuhan HAM dalam Pendidikan
Saharuddin Daming, Komisioner Komnas HAM
SUMBER
: KORAN TEMPO, 02 Mei 2012
Peringatan hari kelahiran Ki Hajar Dewantara
setiap 2 Mei, yang kemudian menjadi momen Hari Pendidikan Nasional, tampaknya
masih diselubungi keprihatinan. Secara makro, pendidikan kita memang berhasil
mencatat angka-angka signifikan tentang infrastruktur pendidikan yang telah
dibangun. Jika dibanding beberapa negara tetangga, peserta didik yang berhasil
kita tamatkan dari semua jenjang pendidikan, ditambah dengan pengangkatan
tenaga pendidik, kita pun berada di level terdepan. Namun fenomena paradoksal
terlihat pada keluaran pendidikan kita, ketika Human Development Index peserta didik kita dibanding negara
tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand, sangat tertinggal jauh.
Hal tersebut dipicu oleh cara pandang
pendidikan kita yang masih sarat akan pragmatisme dan diskriminasi. Kedua hal
tersebut sudah lama menjadi penyakit kronis yang terus menggerogoti sistem
pendidikan nasional kita dari waktu ke waktu. Mulai kultur pergantian pejabat
tinggi pendidikan yang berimbas pada pergantian sistem dan mekanisme pendidikan
sampai pola rekrutmen, promosi, dan pemberian reward and punishment
tenaga/pejabat pendidikan, semuanya dilakukan masih dalam konteks pendekatan
pragmatis, diskriminatif, dan berbau korupsi.
Paradigma penataan pendidikan seperti itu tak
pelak lagi menyulut terjadinya bias efek di hampir semua lini. Sampai sekarang,
ada sekitar 20 juta anak usia 7-15 tahun yang belum/tidak tersentuh layanan
pendidikan dasar, termasuk mereka yang gagal dari sekolah. Lalu ada 8 juta
lebih anak usia 16-20 tahun yang tidak dapat mengecap pendidikan tingkat
menengah dan lebih dari 2 juta alumni sekolah menengah umum yang tidak mampu
menginjakkan kaki di perguruan tinggi akibat biaya pendidikan yang dari waktu
ke waktu terus menggila. Padahal Pasal 28C Undang-Undang Dasar 1945 hasil
amendemen mengamanatkan bahwa “setiap
orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,
seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan
umat manusia”.
Jangankan perguruan tinggi atau SMU,
anak-anak usia dini yang didaftar untuk memperoleh pendidikan jenis TK saja
pada umumnya sudah mengenakan tarif sampai jutaan rupiah, apalagi jika lembaga
tersebut dalam bentuk playgroup, biayanya tentu semakin memperlebar
jurang diskriminasi. Tak ayal lagi kebanyakan orang tua dengan penghasilan
hanya cukup untuk sekadar mengepulkan asap dapur lebih memilih menelantarkan
anak mereka di emper-emper jalan, kerja serabutan, dan berbagai pekerjaan kasar
lainnya daripada memasukkannya ke taman-taman pendidikan.
Perilaku destruktif lain di dunia pendidikan
mencakup praktek jual-beli nilai dan sogok-menyogok untuk masuk dan tamat dari
dunia pendidikan. Banyak guru yang lebih mendahulukan pekerjaan sambilan
daripada tugas reguler/pokok, dan memiliki perilaku hobi menerima upeti dari
orang tua siswa daripada mendidik siswa dengan sepenuh hati.
Di zaman kini
sudah sulit kita jumpai seorang guru/dosen mengajar dengan persiapan penuh,
misalnya dalam hal penguasaan/pembacaan literatur dua-tiga hari sebelumnya
disertai alat peraga atau media pembelajaran berbasis teknologi. Umumnya tiba
masa tiba akal, datang terlambat, cepat pulang. Dekadensi moral dalam dunia
pendidikan sudah bukan cerita baru. Sejumlah oknum guru/dosen terlibat
kekerasan hingga pelecehan seksual terhadap peserta didik.
Fenomena buruk seperti ini semakin menambah
panjang daftar problematik yang melilit dunia pendidikan kita dewasa ini.
Padahal dalam program pembangunan nasional dicanangkan bahwa bangsa kita pada
2015, konon, akan memasuki era kemakmuran ekonomi, sosial, budaya, dan politik,
yang ditopang oleh pendidikan yang murah, aksesibel, serta bermutu. Itulah
sebabnya, penataan pendidikan nasional kita berbasis kompetensi dengan maksud
agar penyelenggara dan peserta didik proaktif mengaktualisasi diri terhadap
materi pembelajaran secara simultan. Tidak mengherankan jika Pasal 11 ayat 1
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
mengamanatkan, “Pemerintah dan pemerintah
daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.
Sungguh amat disesalkan karena sudah lebih
dari dua dasawarsa program tersebut dicanangkan, hingga saat ini tanda-tanda
untuk mencapai titik kulminasi justru semakin kabur, suram, dan gelap. Sistem
dan mekanisme pengelolaan pendidikan yang selama ini cenderung dirasakan
diskriminatif dan pragmatis bukan hanya tidak dapat direduksi, apalagi
dihilangkan, malah tampak semakin digalakkan dan tumbuh subur dalam berbagai
elemen penyelenggaraan pendidikan.
Salah satu paradigma kebijakan pendidikan
kita yang mempertontonkan praktek diskriminasi adalah sekolah bertaraf
internasional (SBI) ataupun rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI).
Betapa tidak, karena SBI dan RSBI hanya mengukur prestasi peserta didik
semata-mata dari kemampuan akademis. Padahal konsep prestasi kecerdasan bukan
hanya prestasi intelektual (IQ), tapi juga kecerdasan emosional (EQ) ataupun
kecerdasan spiritual (SQ). Begitu eksklusifnya SBI ini, maka biaya pengadaan
fasilitas dan operasional dalam mencapai target kualifikasi SBI tidak
disangsikan lagi tentu jauh lebih besar daripada sekolah biasa. Tingkat
perhatian otoritas pendidikan dalam bentuk kunjungan kerja hingga kemudahan
akses beasiswa dan promosi bagi peserta didik ataupun tenaga pendidiknya pasti
lebih intensif daripada sekolah biasa.
Kita memang tidak dapat memungkiri bahwa
peradaban modern sebagaimana dicapai dunia Barat karena faktor pembangunan
sumber daya manusia. Tapi pembinaan intelektualitas dengan cara pragmatis,
linear, dan diskriminatif sebagaimana dikemukakan di atas hanya akan melahirkan
jargon intelektualitas unggul dalam ranah ekshibisi dan kontes semata. Penulis
berkeyakinan, sebuah peradaban yang bagaimanapun mapannya bukanlah prakarsa
orang per orang dari kalangan elite ataupun intelektual tertentu, melainkan
hasil kontribusi secara kumulatif seluruh anak negeri tanpa kecuali. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar