Rabu, 02 Mei 2012

Enam Pilar Pendidikan Karakter


Enam Pilar Pendidikan Karakter
J. Sumardianta, Guru, Bermukim di Yogyakarta
SUMBER : KORAN TEMPO, 02 Mei 2012


Seorang kakek hidup serumah bersama anak, menantu, dan cucu berusia 6 tahun. Keluarga itu biasa makan malam bersama. Si kakek yang sudah pikun sering mengacaukan suasana. Tangan bergetar dan mata rabun membuatnya susah menyantap makanan. Sendok dan garpu kerap jatuh. Saat si kakek meraih gelas, susu tumpah membasahi taplak. Anak dan menantu dibuat gusar.

Suami-istri itu lalu menempatkan sebuah meja kecil di sudut ruangan, tempat sang kakek makan sendirian. Mereka memberinya mangkuk melamin yang tidak gampang pecah. Saat keluarga sibuk dengan piring masing-masing, sering terdengar ratap kesedihan dari sudut ruangan. Namun suami-istri itu justru mengomel agar Kakek tak menghamburkan makanan lagi.

Anak mereka memandangi semua kejadian itu dalam diam. Suatu hari si ayah memperhatikan anaknya sedang membuat replika mainan kayu. Anak itu bilang, ”Aku sedang membuat meja buat Ayah dan Ibu saat aku sudah besar. Nanti akan kuletakkan di sudut itu, dekat Kakek biasa makan.”

Keprihatinan anak membuat kedua orang tuanya terkesiap. Mereka memahami ada sesuatu yang harus diperbaiki. Sejak itu mereka berempat kembali makan di meja yang sama. Tiada lagi omelan saat piring jatuh, makanan tumpah, atau taplak ternoda kuah.

Anak-anak sesungguhnya persepsi dari orang dewasa. Mata mereka selalu mengamati. Telinga mereka senantiasa menyimak. Dan pikiran mereka terus mencerna. Mereka adalah peniru. Melihat orang dewasa memperlakukan orang lain penuh kepedulian, kelak mereka akan memperlakukan orang lain dengan kelemah-lembutan cinta yang merawat (nurturing love) pula.

Anekdot di atas adalah ilustrasi betapa pentingnya role model dalam parenting dan schooling di Indonesia. Pendidikan telanjur identik sebagai ramuan eksplosif yang menghancurkan karakter anak-anak akibat bertemunya bad parenting dan bad schooling, ketika pola buruk pengasuhan anak di rumah berkolaborasi dengan proses pengajaran buruk di sekolah.

Proses pengajaran di sekolah menggunakan model celengan. Sembilan puluh persen soal ujian nasional berupa hafalan. Sekolah jadi monokultur, hanya berkutat pada mechanical intelligence (kecerdasan mekanis), bukan creative intelligence (kecerdasan kreatif), apalagi wisdom (kearifan). Gejalanya tampak jelas: anak muda Indonesia berkarakter alay yang dangkal, impulsif, mudah putus asa, tidak menyukai tantangan, dan bila tertekan menjadi agresif.

Karakter merupakan ciri khas yang melekat pada kepribadian seseorang dan tecermin dalam sikap, perilaku, dan cara merespons stimulus--pengaruh dari luar. Semakin kuat karakter seseorang, semakin rendah tingkat responsnya terhadap stimulus. Semakin lemah karakter seseorang, semakin tinggi responsnya terhadap stimulus. Karakter berarti apa yang tetap dilakukan orang, walau tidak ada yang sudi memperhitungkan; apa yang membuat orang tetap tegar ketika orang lain tidak ada yang menghargai; apa yang membuat orang tetap bahagia saat orang lain tidak ada yang mendukung; dan apa yang tetap orang percayai saat seseorang melakukan kesalahan.

Bagaimana strateginya agar anak-anak bisa bertumbuh dengan karakter kuat? Mereka harus difasilitasi dan didukung sistem persekolahan yang bagus dengan pengajaran bermakna (good school). Pengajaran bermakna (contextual learning) ditandai oleh empat sikap para guru yang memperagakan passion for knowledge--learn, share, formulate, dan practice. Para guru yang senantiasa berkeinginan kuat mempelajari pengetahuan baru selalu memperkaya diri dan sesama dengan berbagi pengetahuan, berani memformulasikan konsep dan pemikiran baru, serta mampu mengaitkan pengetahuan yang diajarkan dengan kebutuhan hidup sehari-hari anak.

Sekarang ini, pendidikan tingkat dasar hingga menengah praktis terperangkap monokultur. Kurikulum dan pengajarannya nyaris sama. Semua bermuara pada ujian nasional. Faktor pembeda sekolah-sekolah itu hanyalah tinggi-rendahnya perolehan nilai UN. Padahal sekolah unggulan yang menghasilkan alumni berkarakter kuat memiliki value (nilai) yang terus dirawat, dijaga, dan dihidupi. Value itu melembaga dalam prinsip-prinsip etika yang tertanam kuat dalam perilaku seluruh civitas academica.

Mark Plus Institute of Marketing Jakarta merumuskan enam pilar utama institusi penghasil manusia berkarakter kuat: trustworthiness (kejujuran), responsibility (tanggung jawab), respect (memperlakukan orang lain dengan penuh hormat), fairness (keadilan), caring (peduli), dan citizenship (kewarganegaraan). Enam pilar itu secara universal mencakup nilai-nilai etika yang berlaku di masyarakat pada umumnya tanpa memiliki bias kepentingan politik dan agama.

Kejujuran dan integritas sebagai pilar utama karakter manusia Indonesia menjadi barang langka yang penting dan mendesak. Sudah terlalu banyak bencana kemanusiaan (pembunuhan aktivis hak asasi manusia), bencana birokrasi (korupsi), dan bencana korporasi (Lapindo Brantas) bermula dari ketidakjujuran. Integritas mesti dijadikan visi persekolahan agar Indonesia menjadi bangsa berkarakter dan bermartabat.

Hormat kepada sesama juga harus dikedepankan sebagai kultur persekolahan. Sudah menjadi salah kaprah seragam sekolah tidak pernah bisa menyembunyikan segregasi kaya-miskin. Sekolah bukanlah tempat ramah bagi mereka yang menyandang masalah sosial dan kesesakan ekonomi.

Tanggung jawab juga mesti mendarah daging sebagai nilai persekolahan, karena kecenderungan pelajar semakin seenaknya sendiri akibat krisis keteladanan dari pendidik ataupun figur publik. Preseden bagus apa yang bisa diteladani dari seorang politikus mantan Puteri Indonesia yang terjerat kasus manipulasi proyek negara?

Prinsip keadilan harus dirumuskan sebagai visi dan diturunkan sebagai misi persekolahan. Visi sekolah tentang iman dan takwa hanya menyentuh aspek terluar kesalehan ritual. Jangankan bicara tentang kesenjangan Jawa-luar Jawa, ketidakmerataan dan ketidakadilan perlakuan terhadap sekolah di pelosok pedalaman Jawa masih tampak nyata.

Sekolah-sekolah di Indonesia sejujurnya belum peduli terhadap muridnya. Mereka terjebak dalam materialisme kurikulum. Guru sekadar agen penjejal pengetahuan dari buku ke pikiran murid mereka. Kepedulian menjadi urgen mengingat pendidikan di Indonesia itu kisah kasih sekaligus nestapa anak dan orang tua. Kasih karena orang tua sampai harus menjual ternak dan pekarangan buat menyekolahkan anak. Nestapa karena sesudah dianiaya sekolah, begitu lulus, anak-anak terlempar ke samudra pengangguran.

Pilar citizenship juga sangat mendesak mengingat persekolahan di Indonesia, negeri ataupun swasta, makin bias agama. Dalam jangka panjang, kalau tidak diantisipasi, hal ini bisa menjadi bom waktu, karena menyuburkan fanatisme akibat dicampakkannya Pancasila sebagai landasan hidup bersama (common ground). Itulah urgensi tumbuh berkarakter berdasarkan enam pilar etis. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar