Jumat, 04 Mei 2012

Pemahaman Anatomi Perampokan


Pemahaman Anatomi Perampokan
Herie Purwanto; Dosen Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
SUMBER : SUARA MERDEKA, 04 Mei 2012


”JATENG Dikepung Perampok”, demikian judul berita utama harian ini, 25 April lalu. Sepanjang April terjadi sedikitnya 6 kali perampokan, termasuk aksi perampok bersenjata api di toko emas di Kabupaten Karanganyar, Boyolali, Purbalingga, dan pedagang emas di Grobogan.

Meskipun beberapa pelaku, misalnya perampok toko emas di Pasar Krakal Kecamatan Alian Kebumen, 24 April berhasil ditangkap, rentetan kejadian itu sangat meresahkan masyarakat. Pasalnya perampok tidak segan-segan melakukan kekerasan. Mereka juga begitu cepat meletuskan senjata api yang menjadi andalannya ke tubuh orang-orang yang tidak bersalah. Kita bisa membayangkan kondisi psikologis saat terjadi perampokan yang berlangsung cepat dan sadis. Penjahat adakalanya beraksi pada siang hari, bahkan di tengah keramaian transaksi.

Pertanyaannya, di mana polisi pada saat itu? Bukankah polisi selalu menyatakan diri sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat? Mobil atau motor sebagai sarana patroli tidak kurang-kurang dimiliki satuan setingkat kepolisian sektor (polsek)? Bukankah tempat keramaian, tempat perbelanjaan, atau pusat kegiatan perekonomian masyarakat sangat membutuhkan kehadiran polisi, yang dalam literatur kepolisian disebut police hazard?

Bukankah dengan adanya police hazard, kehadiran polisi menjadi sebuah kewajiban? Bukankah jam-jam terjadinya perampokan berada pada rentang jam aktif kedinasan? Artinya pada jam-jam itu, sudah menjadi kewajiban bagi polisi untuk bertugas di tempat-tempat tersebut. Ataukah saat itu polisi lagi bertugas  di tempat lain? Karena keterbatasan personel, lalu menjadi alasan pembenar?

Tentunya, rangkaian pertanyaan itu mengecambah menjadi sebuah pertanyaan besar. Misalnya, kawanan perampok kini lebih pintar menyusun strategi sehingga bisa mengecoh polisi. Ataukah strategi polisi monoton dan out of date sehingga mudah dibaca penjahat? Benarlah kiranya teori Adolphe Quetelet (1874) dalam konteks kriminologi, bahwa kejahatan berulang dalam jumlah tertentu yang sama dengan tahun sebelumnya jika kondisi lingkungannya sama.

Penyesuaian Strategi

Bila antisipasi polisi menjadi hal monoton, memang hal itu bisa membuka peluang terjadinya kejahatan. Mendasarkan hipotesis ini maka memahami anatomi kejahatan menjadi keharusan bagi polisi. Pemahaman atas hal itu seharusnya menjadi bagian dari standard operating procedure (SOP). Polisi tak bisa lagi berdalih kekurangan personel, keminiman dana operasional ataupun keterbatasan sarana dan prasarana.

Mengapa? Pertama; manajemen kepolisian memberi pemahaman tentang perlunya mengenali anatomi dan karakteristik kejahatan di suatu wilayah. Artinya, pejabat polisi dari tingkat terendah hingga pusat, sudah punya data statis dan dinamis mengenai situasi keamanan di wilayahnya. Mereka tinggal memberdayakan personel atau sumber daya lain di titik-titik rawan kejahatan, berdasarkan prioritasnya.

Kedua; upaya preventif melalui pemberdayaan masyarakat selama ini sudah menjadi bagian dari SOP polisi untuk menekan terjadinya kejahatan. Terhadap kompleks pertokoan emas, perbankan atau objek vital lainnya, imbauan tentang pentingnya pemasangan CCTV, teralis besi pada etalase toko emas, perlunya pengawalan, sampai imbauan meningkatkan kewaspadaan terhadap orang yang dicurigai, sudah dilaksanakan masyarakat.

Selanjutnya, bagaimana polisi memperbarui cara menyiasati diri, membuat langkah pengamanan yang tidak lagi monoton sehingga tidak bisa dibaca penjahat. Polisi harus menyesuaikan strategi pengamanan, yang tak hanya mengedepankan polisi berseragam tapi juga personel yang tidak berseragam. Begitu terjadi kejahatan, polisi tidak berseragam itu bisa langsung bertindak. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar