Sabtu, 05 Mei 2012

Paradoks Energi Nusantara


Paradoks Energi Nusantara
Herman Agustiawan; Ketua Program Studi Pascasarjana Energy Security, Universitas Pertahanan RI; Anggota Dewan Energi Nasional
SUMBER : KORAN TEMPO, 05 Mei 2012


Akhir-akhir ini banyak dilontarkan pernyataan tentang “paradoks“ terkait dengan pengelolaan energi nasional. Meskipun meng asyikkan, paradoks sebenarnya berbahaya karena bisa mengubah persepsi masyarakat terhadap sesuatu yang salah menjadi benar, atau sebaliknya. Ada pendapat bahwa keberadaan paradoks lebih melelahkan ketimbang berjalan kaki sepanjang hari.

Paradoks (paradox) adalah satu atau lebih pernyataan yang menggiring kita ke situasi kontradiktif, dan menolak opsi logika lainnya. Pernyataan dalam paradoks sering kali tidak konsisten atau berputar-putar (circular reasoning).

Konon, seorang penduduk Pulau Kreta di Yunani (Crete, Greece) mengatakan: “Seluruh penduduk Pulau Kreta adalah pendusta!“ Pertanyaan: Apakah dia berdusta? Jika dia berdusta, maka berkata benar, karena dia seorang penduduk Pulau Kreta. Dan jika dia berkata benar, maka tidak berdusta. Jadi: kalau dia berdusta pada saat yang sama juga tidak berdusta-kontradiktif dan berputar-putar!

Dampak Buruk

Paradoks di atas memiliki dua ciri. Pertama, si pembuat pernyataan merupakan unsur dari kelompok yang dibicarakan. Kedua, logika biner (binary logics) telah digunakan untuk menguji kebenaran pernyataan. Logika ini “getas“ (crispy), karena hanya memiliki dua nilai: hitam-putih atau nol-satu.

Dalam realitas, logika tidak selalu biner. Terdapat banyak nilai antara nol dan satu, dan ada daerah abu-abu (gray area) antara hitam dan putih. Mari kita lihat contoh paradoks dengan dua pernyataan berikut: (1) “Jika BBM bersubsidi tersedia di SPBU, maka Pasal 33 UUD 1945 dilakukan“; (2) “Jika BBM bersubsidi dibatasi di SPBU, maka Pasal 33 UUD 1945 dilanggar.“

Pertanyaan: bagaimana jika BBM bersubsidi tersedia di SPBU, tetapi kuotanya dibatasi? Jawabannya pasti kontradiktif lagi, karena dibatasi dan tersedia berada pada kelompok yang sama. Tersedia bisa berarti: berlimpah (tidak dibatasi), banyak, cukup, dan sedikit. Sementara itu, dilanggar dan dilakukan sama seperti nol dan satu. Jadi, Pasal 33 dilakukan, tetapi pada saat yang sama juga dilanggar!

Sekarang kita gunakan teori kemungkinan untuk paradoks orang Kreta tadi.
Misalnya kemungkinan si orang Kreta berdusta dan tidak berdusta sama, yaitu 50 persen. Persentase ini dihitung dari rasio berdusta terhadap total pernyataan yang dilontarkan. Ini berarti bahwa si orang Kreta setengah berdusta dan setengah tidak berdusta.

Permasalahan semakin kompleks jika tingkat kedustaan bervariasi atau abu-abu: sangat berdusta, berdusta, sedikit berdusta, dan tidak berdusta. Terlihat bahwa keberadaan paradoks bisa sangat melelahkan. Dan, teori kemungkinan pun tidak mudah untuk diselesaikan.

Sekarang kita lihat contoh berikut: “Jika PLTN dibangun, maka masyarakat akan melawan sampai mati!” Pertanyaan: apakah studi kelayakan lokasi PLTN boleh dilakukan? Perhatikan bahwa untuk membangun PLTN pasti perlu studi kelayakan, tetapi studi kelayakan saja tidak berarti membangun PLTN. Sedangkan mati dan hidup, sama seperti nol dan satu. Jadi, jawabannya pasti kontradiktif lagi. Namun, apakah membangun PLTN melawan konstitusi? Justru jika PLTN tidak dibangun, pemerintah melanggar konstitusi.

Membingungkan! Dari beberapa contoh di atas, jelas bahwa paradoks tidak konsisten dan kontradiktif. Jika setiap hari masyarakat mengkonsumsi paradoks energi, bukan mustahil persepsi mereka tentang pengelolaan energi nasional menjadi tidak benar. Itulah dampak buruk berparadoks energi.

Sesuatu yang diumpankan terus-menerus ke pancaindra manusia, utamanya melalui mata dan telinga, maka pada akhirnya “sesuatu” tersebut bisa diterima, dan bahkan dianggap benar! Manusia belajar dari pengalaman yang diperoleh setiap harinya. Pengalaman pada dasarnya data dan atau informasi yang diterima dan kemudian diproses oleh sel-sel saraf (neuron) pada otak, sedemikian hingga bobot koneksi (synapses) antarneuron dapat menerimanya.

Hakikat

Paradoks pengelolaan energi nasional sesungguhnya terletak pada pemahaman tentang apa yang diperlukan guna menjamin pasokan energi secara kontinu. Hal ini misalnya kebijakan harga energi yang dapat dijadikan acuan bagi harga setiap jenis energi, termasuk BBM.

Program strategis saat ini adalah memastikan adanya neraca energi yang terperinci, setidaknya sampai 10 tahun mendatang. Berapa kebutuhan dan dari mana kita memenuhi kebutuhan itu. Kemudian, jenis energi apa yang harus kita pilih dan apa yang akan diprioritaskan untuk setiap sektor pengguna.

Ketidakselarasan antara pemahaman dan tindakan telah mengakibatkan BBM harus tersedia berlimpah dan murah. Sementara itu, harga minyak dunia dan ongkos produksi terus meningkat.

Kita perlu gas, tetapi gas masih banyak diekspor, dan infrastruktur pun belum tersedia secara memadai. Sedangkan anggaran pembangunan habis untuk subsidi energi, dan untuk lainnya. Begitu pula dengan kilang. Kita tahu kebutuhan BBM pasti akan terus meningkat, tetapi membangun kilang sulitnya minta ampun. Ini tentu sangat menguntungkan negara-negara pengekspor BBM.

Negara-negara yang memiliki kepentingan dengan industri energi di dalam negerinya, barangkali, lebih senang Indonesia tidak membangun kilang, tidak membangun infrastruktur gas, tidak membangun monorel, dan lain-lain. Bahkan, bila perlu, tidak usah membangun pembangkit listrik, terlebih PLTN. Tetapi memakai genset dan terus membakar BBM saja! Genset lebih cepat dan lebih murah daripada pembangkit listrik, dan BBM impor pun lebih murah ketimbang produksi sendiri.

Boleh membangun PLTU dan atau PLTG, tetapi pelan-pelan saja. Atau, membangun pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan. Atau, barangkali “mereka” lebih senang jika kita terus berparadoks di semua aspek kehidupan bernegara? Dimulai dari pengelolaan energi, konstitusi, politik, hukum, hingga ekonomi, dan lain-lain.

Kurang-lebih itulah yang selama ini menjadi inti dari paradoks energi di negeri ini. Tentu kita tidak boleh membiarkan paradoks ini terlalu lama menggerogoti ketahanan energi nasional. Harus ada upaya segera, terstruktur, terkoordinasi, dan konsisten.

Untuk memastikan pasokan energi di masa mendatang, kita tidak bisa hanya berandai-andai bahwa 10 tahun mendatang, misalnya,  jenis energi X sudah ekonomis. Mengingat kontribusi suatu jenis energi secara optimal ke dalam bauran akan dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama keekonomian dan keberpihakan pemerintah.

Jika energi angin bisa menggantikan PLTU batu bara misal sebesar 2 persen dalam bauran, maka tetap PLTU batu bara harus menjadi baseline. Untuk itu, kepastian harga, kandungan lokal, dan lain-lain perlu dijelaskan kepada masyarakat, para pengusaha, dan importir di luar negeri, mengapa produksi dan ekspor batu bara terpaksa harus dikurangi. Hal yang sama juga berlaku untuk gas dan atau jenis sumber energi lainnya.

Sesungguhnya, ada dua indikator utama dalam soal keberhasilan pengelolaan energi di sebuah negara: “konsumsi energi per kapita” dan “bauran energi”. Konsumsi energi per kapita, utamanya listrik dan BBM, mencerminkan tingkat pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Rakyat pasti sejahtera secara ekonomi jika terbukti konsumsi energinya tinggi untuk kegiatan produktif.

Jaminan pasokan energi perlu terus diupayakan. Komposisi dari setiap jenis energi dalam bauran harus menuju ke peningkatan ketahanan energi nasional seiring dengan perjalanan waktu. Selama ini, paradoks tidak bisa memperbaiki kedua indikator di atas. Untuk mengatasi dampak lebih buruk dari paradoks, sudah saatnya kita stop berparadoks.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar