Kerajaan Lembaga Pemasyarakatan
Ahmad Taufik; Advokat pada Lembaga Bela Keadilan,
Penulis Buku Bisnis Seks di Balik
Jeruji
SUMBER : KORAN TEMPO, 05 Mei 2012
Lembaga
pemasyarakatan atau lapas (LP) bagaikan kerajaan. Bahkan sang raja bisa bukan
kepala LP, melainkan orang pada tingkat lebih rendah, dari kepala keamanan
(KPLP), komandan paste (petugas tetap), penjaga blok, sampai pemegang kunci
pintu gerbang. Bukan itu saja, seorang tahanan atau narapidana pun bisa berkuasa.
Mantan Kepala Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Didin Sudirman,
saat menjabat Kepala Lapas Pemuda Tangerang, pernah berhadapan dengan
narapidana yang berkuasa di penjara yang baru dipimpinnya.
Karakter
narapidana itu, menurut Didin dalam pengantar buku Menyingkap Dunia Gelap
Penjara (David J. Cooke etall, Gramedia, 2008), memiliki sifat: pemberani, kaya
secara finansial (sehingga apa pun, termasuk kekuasaan/aturan, bisa ia peroleh
dengan jalan “membeli“), punya beking, bahkan pernah sesumbar bisa memindahkan
pejabat lapas karena kenal dekat dengan pejabat tinggi. Untung saja Didin, yang
dipaksa mengundurkan diri (istilah lebih halus dari dipecat), dapat
mengatasinya tanpa menimbulkan kericuhan dan korban.
Selama
tinggal hampir tiga tahun di lima tempat (Rutan Polda Metro Jaya, Rutan
Salemba, serta LP Cipinang, Cirebon, dan Kuningan), saya merasakan aroma betapa
berkuasanya sipir penjara. Mereka bisa berbuat apa saja (waktu itu menyiksa
dengan buntut ikan pari) atau memeras keluarga warga binaannya. Tentu saja
kekuasaan (kewenangan) itu “berguna“ untuk “pembinaan“ dengan cara menimbulkan
rasa takut . Walaupun hal ini bertentangan dengan konsep pemasyarakatan yang
dicetuskan Menteri Kehakiman Saharjo dan prinsip The Implementation of Standard Minimum Rules for the Treatment of
Prisoner.
Dalam
aturan standar minimum itu disebutkan syarat yang harus dimiliki petugas
pemasyarakatan adalah integritas moral, profesionalisme, rasa kemanusiaan, dan
kecocokan pekerjaan sesuai dengan hati nuraninya. Karena itu, upaya yang harus
ditempuh manajemen pemasyarakatan adalah menciptakan kondisi kondusif bagi
terbentuknya petugas yang memenuhi persyaratan tersebut (David J. Cooke).
Pada
sebuah curhat dengan seorang sipir penjara Salemba, waktu itu (tahun 1995) dia
pernah bilang berani melepaskan seorang tahanan asalkan dibayar Rp 25 juta. “Kalaupun
ketahuan dan saya dinyatakan bersalah, tak ada masalah. Sepanjang hidup, saya
sudah tinggal di penjara, kok,“ katanya. Mungkin itu bercanda, tapi lepasnya
Edi Tanzil dari LP Cipinang, Jakarta Timur, pada saat saya pindah ke sana,
bukti bahwa curhatan itu ada benarnya.
Kekuasaan
kepala lapas bahkan bisa lebih besar dari Dirjen Pemasyarakatan sendiri.
Pengalaman tak enak pernah menimpa saya.
Saat
tinggal di LP Kesambi Cirebon (1996), ayah saya meninggal dunia. Ada aturan
yang mengizinkan seorang anak keluar sebentar dari penjara untuk melayat orang
tuanya. Seperti halnya Antasari Azhar diizinkan keluar sebentar untuk
menghadiri pernikahan anaknya.
Di
Jakarta, Dirjen Baharuddin Lopa memberikan izin tertulis agar saya bisa keluar
dari penjara itu dengan kawalan petugas untuk melayat ayah. Tapi kepala LP tak
mengizinkan, dengan alasan saya tahanan politik. Padahal kondisi saya waktu itu
sudah asimilasi (bekerja di luar LP saat pagi sampai siang), artinya saya bukan
lagi orang yang berbahaya. Dirjen sekelas almarhum Lopa pun (berani) ditentang
oleh kepala lapas. Itu menunjukkan betapa berkuasanya sipir sampai kepala di
LP.
Saat
tinggal di Salemba, berbagai perbuatan dan bisnis haram bisa bebas dilakukan.
Dari berjudi, prostitusi, sampai jual-beli narkoba.
Nah,
dengan semakin meningkatnya jumlah tahanan narkoba, bisnis itu pun dikendalikan
dengan aman dari dalam. Pelindungnya, sipir dari bawah sampai atas (tentu tidak
semua terdampak), tapi tertangkapnya Kepala LP Nusakambangan beberapa waktu
lalu membuktikan hal itu. Bahkan sang kepala LP menjadikan rekening bank
cucunya sebagai tempat aliran dana transaksi bisnis itu.
Seorang
sipir Salemba, beberapa waktu lalu, menyiksa dua orang tahanan karena keduanya
membantu “merekam” transaksi bisnis kamar kencan dan prostitusi—untuk sebuah
media televisi. Sipir itu (kini sudah dipindahkan ke luar Jawa) bahkan berani
mengadakan konferensi pers dan mengancam wartawan yang memuat berita penyiksaan
itu.
Di
dalam rekaman yang saya sempat lihat, bukan hanya bisnis esek-esek yang
terjadi, tapi juga transaksi dan lapak isap sabu di dalam sel. Sayangnya,
stasiun televisi yang mendapat rekaman itu tak berani menyiarkan hasil rekaman
soal narkoba di penjara itu, setelah berkonflik dengan menteri. “Wah, kalau
menyiarkan narkoba, lebih berisiko, kebanyakan musuhnya,” ujar salah seorang
pejabat dari stasiun televisi swasta itu.
Tak
mengherankan jika kedatangan Wakil Menteri Denny Indrayana sempat jeda, sebelum
peristiwa “gampar sipir” baru-baru ini. Jeda itu ada kemungkinan untuk “bersih-bersih”,
karena di dalam lapas di mana kekuasaan sipir sampai kepala LP begitu kuat,
sidak seperti itu mengganggu pendaringan para raja di lapas. Bahkan mereka
“berani” bersatu untuk mengenyahkan Denny sang “pengganggu”.
Tentu
Menteri Hukum dan HAM dan juga Kepolisian (Badan Narkotika Nasional) tak boleh
menyerah dengan “riuh-rendah” itu.
Selain
perpindahan para narapidana, rolling
(mutasi) para sipir perlu sering dilakukan, agar mereka tak sempat
mencengkeramkan kuku di satu lapas dan menjadi “raja” di sana. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar