Sabtu, 05 Mei 2012

Kerajaan Lembaga Pemasyarakatan


Kerajaan Lembaga Pemasyarakatan
Ahmad Taufik; Advokat pada Lembaga Bela Keadilan,
Penulis Buku Bisnis Seks di Balik Jeruji
SUMBER : KORAN TEMPO, 05 Mei 2012


Lembaga pemasyarakatan atau lapas (LP) bagaikan kerajaan. Bahkan sang raja bisa bukan kepala LP, melainkan orang pada tingkat lebih rendah, dari kepala keamanan (KPLP), komandan paste (petugas tetap), penjaga blok, sampai pemegang kunci pintu gerbang. Bukan itu saja, seorang tahanan atau narapidana pun bisa berkuasa. Mantan Kepala Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Didin Sudirman, saat menjabat Kepala Lapas Pemuda Tangerang, pernah berhadapan dengan narapidana yang berkuasa di penjara yang baru dipimpinnya.
Karakter narapidana itu, menurut Didin dalam pengantar buku Menyingkap Dunia Gelap Penjara (David J. Cooke etall, Gramedia, 2008), memiliki sifat: pemberani, kaya secara finansial (sehingga apa pun, termasuk kekuasaan/aturan, bisa ia peroleh dengan jalan “membeli“), punya beking, bahkan pernah sesumbar bisa memindahkan pejabat lapas karena kenal dekat dengan pejabat tinggi. Untung saja Didin, yang dipaksa mengundurkan diri (istilah lebih halus dari dipecat), dapat mengatasinya tanpa menimbulkan kericuhan dan korban.
Selama tinggal hampir tiga tahun di lima tempat (Rutan Polda Metro Jaya, Rutan Salemba, serta LP Cipinang, Cirebon, dan Kuningan), saya merasakan aroma betapa berkuasanya sipir penjara. Mereka bisa berbuat apa saja (waktu itu menyiksa dengan buntut ikan pari) atau memeras keluarga warga binaannya. Tentu saja kekuasaan (kewenangan) itu “berguna“ untuk “pembinaan“ dengan cara menimbulkan rasa takut . Walaupun hal ini bertentangan dengan konsep pemasyarakatan yang dicetuskan Menteri Kehakiman Saharjo dan prinsip The Implementation of Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoner.
Dalam aturan standar minimum itu disebutkan syarat yang harus dimiliki petugas pemasyarakatan adalah integritas moral, profesionalisme, rasa kemanusiaan, dan kecocokan pekerjaan sesuai dengan hati nuraninya. Karena itu, upaya yang harus ditempuh manajemen pemasyarakatan adalah menciptakan kondisi kondusif bagi terbentuknya petugas yang memenuhi persyaratan tersebut (David J. Cooke).
Pada sebuah curhat dengan seorang sipir penjara Salemba, waktu itu (tahun 1995) dia pernah bilang berani melepaskan seorang tahanan asalkan dibayar Rp 25 juta. “Kalaupun ketahuan dan saya dinyatakan bersalah, tak ada masalah. Sepanjang hidup, saya sudah tinggal di penjara, kok,“ katanya. Mungkin itu bercanda, tapi lepasnya Edi Tanzil dari LP Cipinang, Jakarta Timur, pada saat saya pindah ke sana, bukti bahwa curhatan itu ada benarnya.
Kekuasaan kepala lapas bahkan bisa lebih besar dari Dirjen Pemasyarakatan sendiri. Pengalaman tak enak pernah menimpa saya.
Saat tinggal di LP Kesambi Cirebon (1996), ayah saya meninggal dunia. Ada aturan yang mengizinkan seorang anak keluar sebentar dari penjara untuk melayat orang tuanya. Seperti halnya Antasari Azhar diizinkan keluar sebentar untuk menghadiri pernikahan anaknya.
Di Jakarta, Dirjen Baharuddin Lopa memberikan izin tertulis agar saya bisa keluar dari penjara itu dengan kawalan petugas untuk melayat ayah. Tapi kepala LP tak mengizinkan, dengan alasan saya tahanan politik. Padahal kondisi saya waktu itu sudah asimilasi (bekerja di luar LP saat pagi sampai siang), artinya saya bukan lagi orang yang berbahaya. Dirjen sekelas almarhum Lopa pun (berani) ditentang oleh kepala lapas. Itu menunjukkan betapa berkuasanya sipir sampai kepala di LP.
Saat tinggal di Salemba, berbagai perbuatan dan bisnis haram bisa bebas dilakukan. Dari berjudi, prostitusi, sampai jual-beli narkoba.
Nah, dengan semakin meningkatnya jumlah tahanan narkoba, bisnis itu pun dikendalikan dengan aman dari dalam. Pelindungnya, sipir dari bawah sampai atas (tentu tidak semua terdampak), tapi tertangkapnya Kepala LP Nusakambangan beberapa waktu lalu membuktikan hal itu. Bahkan sang kepala LP menjadikan rekening bank cucunya sebagai tempat aliran dana transaksi bisnis itu.
Seorang sipir Salemba, beberapa waktu lalu, menyiksa dua orang tahanan karena keduanya membantu “merekam” transaksi bisnis kamar kencan dan prostitusi—untuk sebuah media televisi. Sipir itu (kini sudah dipindahkan ke luar Jawa) bahkan berani mengadakan konferensi pers dan mengancam wartawan yang memuat berita penyiksaan itu.
Di dalam rekaman yang saya sempat lihat, bukan hanya bisnis esek-esek yang terjadi, tapi juga transaksi dan lapak isap sabu di dalam sel. Sayangnya, stasiun televisi yang mendapat rekaman itu tak berani menyiarkan hasil rekaman soal narkoba di penjara itu, setelah berkonflik dengan menteri. “Wah, kalau menyiarkan narkoba, lebih berisiko, kebanyakan musuhnya,” ujar salah seorang pejabat dari stasiun televisi swasta itu.
Tak mengherankan jika kedatangan Wakil Menteri Denny Indrayana sempat jeda, sebelum peristiwa “gampar sipir” baru-baru ini. Jeda itu ada kemungkinan untuk “bersih-bersih”, karena di dalam lapas di mana kekuasaan sipir sampai kepala LP begitu kuat, sidak seperti itu mengganggu pendaringan para raja di lapas. Bahkan mereka “berani” bersatu untuk mengenyahkan Denny sang “pengganggu”.
Tentu Menteri Hukum dan HAM dan juga Kepolisian (Badan Narkotika Nasional) tak boleh menyerah dengan “riuh-rendah” itu.
Selain perpindahan para narapidana, rolling (mutasi) para sipir perlu sering dilakukan, agar mereka tak sempat mencengkeramkan kuku di satu lapas dan menjadi “raja” di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar