Jumat, 04 Mei 2012

Melikuidasi Daerah Bangkrut


Melikuidasi Daerah Bangkrut
Achmad Maulani; Staf Ahli DPR
SUMBER : KOMPAS, 04 Mei 2012


Kementerian Dalam Negeri siap bertindak untuk melikuidasi daerah-daerah yang terancam bangkrut.Kemendagri memang telah mengumumkan daerah-daerah yang dianggap kolaps. Paradoksnya, DPR justru menyodorkan 19 RUU tentang pembentukan daerah baru, padahal pemerintah menyatakan moratorium pemekaran baru hingga akhir 2012.

Menurut Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, terdapat 291 kabupaten/kota dengan porsi belanja pegawai dalam APBD lebih dari 50 persen. Jumlah ini meningkat 135 persen dibandingkan dengan tahun 2011 yang mencapai 124 daerah. Lebih ironis lagi, 11 di antaranya menghabiskan belanja pegawai lebih dari 70 persen (Kompas, 11/4). Akibatnya, sejumlah daerah krisis keuangan dan beberapa lainnya terancam kolaps karena tak memiliki anggaran.

Sebelumnya, evaluasi yang dilakukan pemerintah terhadap daerah otonomi baru (DOB) juga menunjukkan: 80 persen berkinerja buruk dan tidak mampu menghimpun pendapatan asli daerah. Beberapa DOB bahkan dinilai gagal. Daerah-daerah itu hanya sibuk membentuk pemerintahan dan belanja peralatan, tetapi mengabaikan peningkatan pelayanan masyarakat.

Sasaran Tak Tercapai

Tampak jelas bahwa sasaran final otonomi daerah berupa peningkatan layanan masyarakat tak terpenuhi. Makna penting di balik itu telah terjadi defisit dalam memaknai otonomi daerah. Desentralisasi telah salah arah. Otonomi diartikan sebagai pemekaran semata tanpa mempertimbangkan kelayakan ekonomi ataupun kewilayahan.

Demokrasi memang harus berkaitan dengan alokasi dan distribusi sumber-sumber ekonomi secara adil. Ia harus pula berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi, pemerataan, dan kesejahteraan karena demokrasi bukan sekadar pemberian kesempatan yang sama (equal opportunities). Dalam konteks otonomi, demokrasi bukan sekadar memekarkan daerah.

Parameter paling sederhana untuk mengukur keberhasilan DOB adalah tingkat kesejahteraan masyarakat dan pemenuhan pelayanan dasar, seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur jalan, air bersih, listrik, dan meningkatnya daya saing ekonomi.
Karena itu, adalah terlalu sederhana melihat keberhasilan otonomi daerah dengan parameter sebatas tertib prosedural. Apalagi, hanya artifisial dari elemen-elemen kriteria desentralisasi berdasar sisi konsep, kebijakan, ataupun implementasi.

Adanya keyakinan seperti dikemukakan Brian C Smith (1998) bahwa demokrasi di tingkat lokal merupakan fondasi penting dan prasyarat bagi bangunan di tingkat nasional, tentu sepenuhnya kita sepakati. Seperti pernah dikatakan Larry Diamond (1999), pemerintah daerah memang berperan penting mempercepat vitalitas demokrasi.

Namun, sudahkah perjalanan otonomi menyeimbangkan bobot neraca pemenuhan prosedur otonomi dengan terciptanya kesejahteraan, keadilan, dan pelayanan publik yang lebih baik sebagai tujuan akhir? Ataukah sekadar penyerahan wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah?

Otonomi daerah selama lebih dari 10 tahun ternyata sering mengalami defisit serta penuh paradoks dan anomali dalam kebijakan ataupun implementasi. Sebutlah nihilnya aspek kesejahteraan sebagai parameter dan keluaran final otonomi, maraknya kasus korupsi setelah otonomi daerah diberlakukan, serta banyaknya perda yang tidak kondusif. Juga kecenderungan pemerintah daerah menggunakan ”segala cara” untuk menggenjot pendapatan asli daerah.

Sebaliknya, perubahan pelayanan publik tak signifikan, oligarki elite politik di tingkat lokal tumbuh subur, dan komitmen elite daerah dalam mewujudkan kesejahteraan rendah. Inilah bukti melencengnya arah desentralisasi dan defisitnya makna otonomi daerah.

Dalam 10 tahun pelaksanaan otonomi daerah, banyak kelemahan dari sisi kebijakan ataupun implemetasi yang harus dikoreksi secara saksama, antara lain aspek kelembagaan dan akuntabilitas DPRD. Minimnya ruang partisipasi publik dalam mengontrol kebijakan dan sedikitnya kebijakan yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat juga harus dikoreksi.

Berbagai paradoks, anomali, dan defisitnya pelaksanaan otonomi daerah seperti itu jelas menunjukkan telah terjadinya sebuah diskoneksi demokrasi (disconnected democracy) dan desentralisasi dalam kerangka otonomi daerah. Diskoneksi terjadi ketika kesejahteraan masyarakat di satu sisi dan di sisi lain hiruk-pikuk politik beserta elite-elite yang menjadi aktor dalam era otonomi daerah berjalan sendiri-sendiri.

Muara Kemakmuran

Karena itu, penting ditegaskan keluaran dari semua kebijakan otonomi daerah adalah bermuara pada kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Regulasi apa pun yang diproduksi—terkait dengan kebijakan dan implementasi— harus mampu melahirkan format terbaik pada masa depan.

Kebijakan pemekaran ketika tidak memberikan manfaat nyata terhadap masyarakat dan hanya mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu harus dihentikan. Di sinilah pentingnya meluruskan kembali arah desentralisasi. Pemerintah harus mengambil sikap terhadap daerah-daerah yang mengalami krisis keuangan daerah. Pada saat bersamaan, DPR juga harus mendukung kebijakan moratorium sebagaimana yang telah disepakati bersama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar