Akrobat Penyelamatan APBN
Ahmad Erani Yustika; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
SUMBER
: KOMPAS, 04 Mei 2012
Pemerintah kembali mengayunkan langkah
akrobatik setelah pemunculan Ayat 6A pada Pasal 7 UU Nomor 22 Tahun 2011
tentang APBN-P.
Mengacu pada UU APBN-P tersebut, semestinya
pemerintah baru merancang kebijakan subsidi BBM pada awal Juli 2012 sesuai
dengan mandat Ayat 6a. Namun, sesudah mengamati perkembangan harga BBM di pasar
internasional dan pola konsumsi BBM bersubsidi yang kian deras, pemerintah
merasa perlu menghemat konsumsi BBM bersubsidi sejak dini. Pilihan itulah yang
dikemukakan.
Meskipun pemerintah belum menyatakan pilihan
itu secara resmi dan di dalam kabinet pun tersua perbedaan sikap, misalnya
antara Menko Perekonomian dan Menteri ESDM, gelagat ke arah sana terlihat cukup
kuat.
Tulisan ini tidak akan mempersoalkan
substansi kebijakan yang akan diambil pemerintah, yakni mengurangi subsidi BBM,
tetapi menyumbangkan refleksi atas kegagalan pemerintah dalam mendesakkan
kebijakan itu.
Pilihan Argumentasi
Sejak awal pemerintah memilih dua argumen
untuk menyokong kebijakan penghematan konsumsi atau pengurangan subsidi BBM:
menyelamatkan APBN dan ketidakadilan ekonomi. Penyelamatan APBN dipandang punya
dasar yang kokoh: tanpa kenaikan harga atau tanpa menghemat BBM bersubsidi,
defisit anggaran membengkak. Padahal, salah satu prestasi yang diandalkan
pemerintah selama ini dalam mengelola perekonomian adalah disiplin fiskal:
defisit anggaran rendah.
Berikutnya, ketidakadilan ekonomi merupakan
penjelasan atas sangkaan bahwa subsidi BBM lebih banyak dinikmati golongan kaya
sehingga kenaikan harga BBM atau pengurangan subsidi justru menjadi instrumen
yang lebih adil bagi golongan ekonomi menengah dan bawah. Pertanyaannya,
mengapa alasan yang tampak begitu rasional dan laik itu tak berjalan di
lapangan politik sesuai dengan harapan pemerintah?
Ada dua pendekatan untuk melihat bagaimana
sebuah kebijakan ekonomi diformulasikan (Dixit, 2000): pendekatan normatif dan
pendekatan positif ekonomi politik.
Pendekatan normatif memandang proses
pembuatan dan implementasi kebijakan sepenuhnya merupakan soal teknis.
Pemerintah diandaikan bisa mengontrol seluruh proses ini dan seandainya ada
halangan politik, pemerintah dapat mencegahnya dengan pengelolaan yang baik
lewat pemberian mandat kepada kaum profesional/ekonom untuk melaksanakan
kebijakan tersebut.
Pendekatan positif ekonomi politik melihat
proses pembuatan kebijakan merupakan permainan politik yang mempertemukan
banyak pemain—termasuk agen—dalam proses politik.
Tampaknya dalam kasus subsidi BBM ini
pemerintah menempatkan pendekatan normatif sebagai pijakan untuk meloloskan
kebijakan yang ia inginkan.
Argumen penyelamatan APBN dan keadilan
ekonomi memperlihatkan secara gamblang pandangan masalah teknis di atas.
Pemerintah beranggapan bahwa respons terhadap kenaikan harga minyak
internasional dengan mudah dapat disikapi via kebijakan teknis yang dapat
dimufakati pemegang saham pembuat kebijakan lainnya (baca: badan legislatif).
Hasilnya, pemerintah salah tebak.
Seperti halnya di Amerika Serikat, isu
defisit anggaran tidak pernah bisa menjadi isu penting karena—baik birokrat
maupun politisi—mempunyai kepentingan yang sama terhadap anggaran: sebagai
instrumen merawat konstituen. Aspirasi parlemen dan pemerintah selalu sama:
pembesaran pengeluaran, pengurangan pajak, dan anggaran berimbang. Semua paham
bahwa ketiganya tidaklah kompatibel dalam kebijakan fiskal.
Hal yang sama menyangkut keadilan ekonomi.
Bagi para politisi, masih hidup pandangan bahwa subsidi, termasuk BBM,
merupakan bagian dari perangkat untuk menjaga konstituen—di luar soal pilihan
ideologis—sehingga pengurangan subsidi akan menyulitkan posisi politik mereka.
Pengadilan Politik
Jawaban di atas masih menyisakan pertanyaan
yang tak terjawab: mengapa pada 2005 dan 2008 kebijakan serupa bisa dieksekusi
relatif lancar?
Pertama, dalam kurun waktu itu kekompakan
partai dalam koalisi cukup kentara, sekurang-kurangnya wakil presiden merupakan
representasi dari salah satu parpol besar yang siap pasang badan mengamankan
kebijakan pemerintah. Kemewahan itu tidak dimiliki saat ini ketika ikatan
koalisi sangat rapuh sehingga sumber masalah justru bukan berasal dari partai
oposisi.
Kedua, kredibilitas dan konsistensi
pemerintah saat itu relatif terjaga daripada sekarang sehingga legislatif
ataupun rakyat ”mudah” menerima kebijakan itu. Pemerintah relatif dapat
dipercaya karena setiap kebijakan diperjuangkan sepenuh keyakinan. Demikian
pula, pemerintah dianggap konsisten karena kebijakan strategis dirancang lebih
matang sehingga tak berubah-ubah setiap saat.
Narasi tersebut memberi hikmah bahwa proses
pembuatan kebijakan tidak pernah sepi dari kepentingan politik. Pendapat yang
mengutuk DPR hanya peduli pada kepentingan politik merupakan pikiran lugu
karena hal yang sama juga diniati pemerintah (termasuk isu pengamanan APBN dan
keadilan ekonomi).
Pada akhirnya, di luar pilihan argumen yang
kuat yang manfaatnya bakal dira- sakan rakyat (alasan penyelamatan APBN dan
keadilan ekonomi terlalu abstrak bagi politisi ataupun rakyat), pemerintah
perlu memusatkan perhatian mengubah prosedur pembuatan kebijakan yang dianggap
strategis. Perjuangan pemerintah ke depan adalah merebut ruang yang lebih besar
untuk merancang kebijakan tanpa melewati lorong parlemen, seperti dalam kasus
BBM ini. Jika nanti kebijakan pemerintah dianggap salah atau gagal, biarlah
pengadilan politik (baca: pemilu) yang akan menghukum. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar