Jumat, 04 Mei 2012

Akrobat Penyelamatan APBN


Akrobat Penyelamatan APBN
Ahmad Erani Yustika; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
SUMBER : KOMPAS, 04 Mei 2012


Pemerintah kembali mengayunkan langkah akrobatik setelah pemunculan Ayat 6A pada Pasal 7 UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN-P.

Mengacu pada UU APBN-P tersebut, semestinya pemerintah baru merancang kebijakan subsidi BBM pada awal Juli 2012 sesuai dengan mandat Ayat 6a. Namun, sesudah mengamati perkembangan harga BBM di pasar internasional dan pola konsumsi BBM bersubsidi yang kian deras, pemerintah merasa perlu menghemat konsumsi BBM bersubsidi sejak dini. Pilihan itulah yang dikemukakan.

Meskipun pemerintah belum menyatakan pilihan itu secara resmi dan di dalam kabinet pun tersua perbedaan sikap, misalnya antara Menko Perekonomian dan Menteri ESDM, gelagat ke arah sana terlihat cukup kuat.

Tulisan ini tidak akan mempersoalkan substansi kebijakan yang akan diambil pemerintah, yakni mengurangi subsidi BBM, tetapi menyumbangkan refleksi atas kegagalan pemerintah dalam mendesakkan kebijakan itu.

Pilihan Argumentasi

Sejak awal pemerintah memilih dua argumen untuk menyokong kebijakan penghematan konsumsi atau pengurangan subsidi BBM: menyelamatkan APBN dan ketidakadilan ekonomi. Penyelamatan APBN dipandang punya dasar yang kokoh: tanpa kenaikan harga atau tanpa menghemat BBM bersubsidi, defisit anggaran membengkak. Padahal, salah satu prestasi yang diandalkan pemerintah selama ini dalam mengelola perekonomian adalah disiplin fiskal: defisit anggaran rendah.

Berikutnya, ketidakadilan ekonomi merupakan penjelasan atas sangkaan bahwa subsidi BBM lebih banyak dinikmati golongan kaya sehingga kenaikan harga BBM atau pengurangan subsidi justru menjadi instrumen yang lebih adil bagi golongan ekonomi menengah dan bawah. Pertanyaannya, mengapa alasan yang tampak begitu rasional dan laik itu tak berjalan di lapangan politik sesuai dengan harapan pemerintah?

Ada dua pendekatan untuk melihat bagaimana sebuah kebijakan ekonomi diformulasikan (Dixit, 2000): pendekatan normatif dan pendekatan positif ekonomi politik.

Pendekatan normatif memandang proses pembuatan dan implementasi kebijakan sepenuhnya merupakan soal teknis. Pemerintah diandaikan bisa mengontrol seluruh proses ini dan seandainya ada halangan politik, pemerintah dapat mencegahnya dengan pengelolaan yang baik lewat pemberian mandat kepada kaum profesional/ekonom untuk melaksanakan kebijakan tersebut.

Pendekatan positif ekonomi politik melihat proses pembuatan kebijakan merupakan permainan politik yang mempertemukan banyak pemain—termasuk agen—dalam proses politik.

Tampaknya dalam kasus subsidi BBM ini pemerintah menempatkan pendekatan normatif sebagai pijakan untuk meloloskan kebijakan yang ia inginkan.

Argumen penyelamatan APBN dan keadilan ekonomi memperlihatkan secara gamblang pandangan masalah teknis di atas. Pemerintah beranggapan bahwa respons terhadap kenaikan harga minyak internasional dengan mudah dapat disikapi via kebijakan teknis yang dapat dimufakati pemegang saham pembuat kebijakan lainnya (baca: badan legislatif). Hasilnya, pemerintah salah tebak.

Seperti halnya di Amerika Serikat, isu defisit anggaran tidak pernah bisa menjadi isu penting karena—baik birokrat maupun politisi—mempunyai kepentingan yang sama terhadap anggaran: sebagai instrumen merawat konstituen. Aspirasi parlemen dan pemerintah selalu sama: pembesaran pengeluaran, pengurangan pajak, dan anggaran berimbang. Semua paham bahwa ketiganya tidaklah kompatibel dalam kebijakan fiskal.

Hal yang sama menyangkut keadilan ekonomi. Bagi para politisi, masih hidup pandangan bahwa subsidi, termasuk BBM, merupakan bagian dari perangkat untuk menjaga konstituen—di luar soal pilihan ideologis—sehingga pengurangan subsidi akan menyulitkan posisi politik mereka.

Pengadilan Politik

Jawaban di atas masih menyisakan pertanyaan yang tak terjawab: mengapa pada 2005 dan 2008 kebijakan serupa bisa dieksekusi relatif lancar?

Pertama, dalam kurun waktu itu kekompakan partai dalam koalisi cukup kentara, sekurang-kurangnya wakil presiden merupakan representasi dari salah satu parpol besar yang siap pasang badan mengamankan kebijakan pemerintah. Kemewahan itu tidak dimiliki saat ini ketika ikatan koalisi sangat rapuh sehingga sumber masalah justru bukan berasal dari partai oposisi.

Kedua, kredibilitas dan konsistensi pemerintah saat itu relatif terjaga daripada sekarang sehingga legislatif ataupun rakyat ”mudah” menerima kebijakan itu. Pemerintah relatif dapat dipercaya karena setiap kebijakan diperjuangkan sepenuh keyakinan. Demikian pula, pemerintah dianggap konsisten karena kebijakan strategis dirancang lebih matang sehingga tak berubah-ubah setiap saat.

Narasi tersebut memberi hikmah bahwa proses pembuatan kebijakan tidak pernah sepi dari kepentingan politik. Pendapat yang mengutuk DPR hanya peduli pada kepentingan politik merupakan pikiran lugu karena hal yang sama juga diniati pemerintah (termasuk isu pengamanan APBN dan keadilan ekonomi).

Pada akhirnya, di luar pilihan argumen yang kuat yang manfaatnya bakal dira- sakan rakyat (alasan penyelamatan APBN dan keadilan ekonomi terlalu abstrak bagi politisi ataupun rakyat), pemerintah perlu memusatkan perhatian mengubah prosedur pembuatan kebijakan yang dianggap strategis. Perjuangan pemerintah ke depan adalah merebut ruang yang lebih besar untuk merancang kebijakan tanpa melewati lorong parlemen, seperti dalam kasus BBM ini. Jika nanti kebijakan pemerintah dianggap salah atau gagal, biarlah pengadilan politik (baca: pemilu) yang akan menghukum. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar