Koruptor
Sakit dan Bunuh Diri
Siti
Siamah ; Peneliti
Global Data Reform
SUMBER
: JAWA
POS, 23 Mei 2012
KORUPTOR maupun tersangka
korupsi yang jatuh sakit ketika dijebloskan ke dalam tahanan terasa makin akrab
dalam pemberitaan di media kita. Sehari dua hari sebelum memberitakan mereka
jatuh sakit, biasanya media memberitakan mereka sedang tersenyum-senyum ceria
saat hendak dijebloskan ke dalam tahanan.
Merujuk data empiris, semua koruptor maupun tersangka korupsi memang jatuh sakit atau dirajam berbagai penyakit sejak menjalani masa tahanan. Bahkan, jika akhirnya dibebaskan pun, mereka tetap sakit-sakitan. Jika mereka tersenyum ceria di depan wartawan ketika hendak dijebloskan ke dalam tahanan, pasti itu hanya sandiwara.
Juga, entah disadari atau tidak, sandiwara mereka sebenarnya justru sangat negatif. Intinya, banyak yang sangat sinis melihat senyum ceria mereka karena menduga mereka tidak lagi punya rasa malu. Bukankah biasanya orang malu akan menundukkan wajah dengan tersipu-sipu atau membisu dan tidak mungkin tersenyum-senyum ceria?
Karena itu, tak salah ada yang menduga mereka sedang mengidap gangguan mental sebelum jatuh sakit. Bahkan, layak diduga, jangan-jangan mereka mengidap gangguan mental sejak niat korupsi muncul dan tidak ada upaya menepis niat tersebut atau malah mengembangkannya menjadi perilaku korupsi yang menjadi-jadi?
Dugaan tersebut logis karena mereka bukan orang-orang miskin dan kepepet sehingga terpaksa melakukan korupsi. Dalam hal ini, mereka memiliki posisi aman dan nyaman secara sosial ekonomi sehingga seharusnya tidak melakukan perbuatan nista seperti korupsi. Juga, publik bisa saja mengutuk koruptor. Sebab, para koruptor memang layak dikutuk.
Dengan kata lain, publik sering bisa mengerti jika ada orang miskin terpaksa mencuri untuk mempertahankan hidup. Tapi, publik mustahil mengerti kenapa orang-orang yang sudah bergaji tinggi dan mendapat berbagai fasilitas yang membuat hidupnya serbanyaman dan terhormat ternyata malah melakukan korupsi.
Pintu Siksaan
Korupsi harus dianggap sebagai perbuatan sangat riskan karena bisa menimbulkan berbagai penyakit yang menyiksa pelakunya. Jika risiko hukum bisa dihindari dengan uang, misalnya, risiko tertimpa penyakit bagi koruptor tampaknya sangat sulit dihindari. Bahkan, penyakit koruptor bisa saja mustahil untuk disembuhkan sehingga akan menyiksanya sampai akhir hayat.
Selain itu, risiko sosial perbuatan korupsi juga sangat sulit dihindari. Misalnya, publik, termasuk tetangga dan masyarakat sekampungnya, akan membencinya atau minimal bersikap sinis. Sebab, sebagai rakyat yang notabene ikut memiliki kekayaan negara, mereka merasa dirugikan oleh perbuatan korupsi.
Lebih konkretnya, korupsi uang negara sama dengan mencuri uang milik rakyat karena rakyatlah yang memiliki negara. Juga, karena koruptor adalah makhluk sosial, mereka akan dianggap penjahat bagi masyarakat sekitarnya.
Risiko sosial perbuatan korupsi bisa jadi risiko paling berat yang harus ditanggung koruptor. Buktinya, banyak koruptor yang sudah dibebaskan dari hukuman penjara kemudian mengurung diri di rumahnya yang berpagar tinggi menyerupai penjara.
Memang, banyak koruptor yang dihukum beberapa tahun justru malah menghukum diri sendiri seumur hidup. Hal itu bisa dimengerti karena mereka sebagai makhluk sosial tidak bisa begitu saja menepis risiko atau hukuman sosial dari perbuatan korupsinya. Pendek kata: sekali korupsi, sesudah itu pasti akan sakit sampai mati.
Pilihan Bunuh Diri
Karena itu, bisa dimengerti jika di Jepang, Korea, atau negara yang penghargaan etiknya tinggi, tidak sedikit tersangka korupsi yang tiba-tiba bunuh diri karena tidak tahan menanggung risiko berat perbuatan korupsinya. Bahkan, ada yang bunuh diri sebelum kasus korupsinya disidang di pengadilan atau sebelum dirinya dijebloskan ke dalam tahanan.
Dalam hal ini, bunuh diri dianggap sebagai jalan pintas satu-satunya untuk mengakhiri penderitaan hidup. Daripada malu dan sakit-sakitan seumur hidup, lebih baik mati saja secepatnya. Atau, daripada merepotkan banyak pihak dan menghabiskan banyak biaya, termasuk menyita perhatian publik dalam proses hukum, lebih baik mati saja.
Dalam perspektif pemberantasan korupsi dan penegakan moral, tindakan bunuh diri yang dilakukan koruptor mungkin layak diapresiasi. Sebab, efeknya bisa positif atau bisa mencegah korupsi berikutnya. Dengan kata lain, makin banyak koruptor bunuh diri, generasi berikutnya mungkin akan berpikir seribu kali jika hendak melakukan korupsi.
Namun, di Indonesia, sejauh ini belum ada koruptor yang bunuh diri meskipun jatuh sakit atau sakit-sakitan hingga akhir hayatnya. Hal itu tampaknya berkaitan dengan faktor iman dan agama yang melarang bunuh diri. Padahal, iman dan agama juga melarang korupsi!
Bahkan, korupsi termasuk perbuatan dosa yang sulit ditobati karena dosanya bukan hanya kepada Tuhan, namun juga kepada bangsa dan negara. Juga, jika hasil korupsi telanjur dinikmati, misalnya telanjur menjadi darah dan daging secara regeneratif, tentu akan makin sulit ditobati. Misalnya, bila hasil korupsi untuk menghidupi anak cucu, darah dan daging anak cucu berasal dari sesuatu yang haram.
Memang sungguh sangat riskan perbuatan korupsi. Karena itu, bisa dimengerti jika koruptor atau tersangka korupsi jatuh sakit atau dirajam berbagai penyakit sampai akhir hayat. ●
Merujuk data empiris, semua koruptor maupun tersangka korupsi memang jatuh sakit atau dirajam berbagai penyakit sejak menjalani masa tahanan. Bahkan, jika akhirnya dibebaskan pun, mereka tetap sakit-sakitan. Jika mereka tersenyum ceria di depan wartawan ketika hendak dijebloskan ke dalam tahanan, pasti itu hanya sandiwara.
Juga, entah disadari atau tidak, sandiwara mereka sebenarnya justru sangat negatif. Intinya, banyak yang sangat sinis melihat senyum ceria mereka karena menduga mereka tidak lagi punya rasa malu. Bukankah biasanya orang malu akan menundukkan wajah dengan tersipu-sipu atau membisu dan tidak mungkin tersenyum-senyum ceria?
Karena itu, tak salah ada yang menduga mereka sedang mengidap gangguan mental sebelum jatuh sakit. Bahkan, layak diduga, jangan-jangan mereka mengidap gangguan mental sejak niat korupsi muncul dan tidak ada upaya menepis niat tersebut atau malah mengembangkannya menjadi perilaku korupsi yang menjadi-jadi?
Dugaan tersebut logis karena mereka bukan orang-orang miskin dan kepepet sehingga terpaksa melakukan korupsi. Dalam hal ini, mereka memiliki posisi aman dan nyaman secara sosial ekonomi sehingga seharusnya tidak melakukan perbuatan nista seperti korupsi. Juga, publik bisa saja mengutuk koruptor. Sebab, para koruptor memang layak dikutuk.
Dengan kata lain, publik sering bisa mengerti jika ada orang miskin terpaksa mencuri untuk mempertahankan hidup. Tapi, publik mustahil mengerti kenapa orang-orang yang sudah bergaji tinggi dan mendapat berbagai fasilitas yang membuat hidupnya serbanyaman dan terhormat ternyata malah melakukan korupsi.
Pintu Siksaan
Korupsi harus dianggap sebagai perbuatan sangat riskan karena bisa menimbulkan berbagai penyakit yang menyiksa pelakunya. Jika risiko hukum bisa dihindari dengan uang, misalnya, risiko tertimpa penyakit bagi koruptor tampaknya sangat sulit dihindari. Bahkan, penyakit koruptor bisa saja mustahil untuk disembuhkan sehingga akan menyiksanya sampai akhir hayat.
Selain itu, risiko sosial perbuatan korupsi juga sangat sulit dihindari. Misalnya, publik, termasuk tetangga dan masyarakat sekampungnya, akan membencinya atau minimal bersikap sinis. Sebab, sebagai rakyat yang notabene ikut memiliki kekayaan negara, mereka merasa dirugikan oleh perbuatan korupsi.
Lebih konkretnya, korupsi uang negara sama dengan mencuri uang milik rakyat karena rakyatlah yang memiliki negara. Juga, karena koruptor adalah makhluk sosial, mereka akan dianggap penjahat bagi masyarakat sekitarnya.
Risiko sosial perbuatan korupsi bisa jadi risiko paling berat yang harus ditanggung koruptor. Buktinya, banyak koruptor yang sudah dibebaskan dari hukuman penjara kemudian mengurung diri di rumahnya yang berpagar tinggi menyerupai penjara.
Memang, banyak koruptor yang dihukum beberapa tahun justru malah menghukum diri sendiri seumur hidup. Hal itu bisa dimengerti karena mereka sebagai makhluk sosial tidak bisa begitu saja menepis risiko atau hukuman sosial dari perbuatan korupsinya. Pendek kata: sekali korupsi, sesudah itu pasti akan sakit sampai mati.
Pilihan Bunuh Diri
Karena itu, bisa dimengerti jika di Jepang, Korea, atau negara yang penghargaan etiknya tinggi, tidak sedikit tersangka korupsi yang tiba-tiba bunuh diri karena tidak tahan menanggung risiko berat perbuatan korupsinya. Bahkan, ada yang bunuh diri sebelum kasus korupsinya disidang di pengadilan atau sebelum dirinya dijebloskan ke dalam tahanan.
Dalam hal ini, bunuh diri dianggap sebagai jalan pintas satu-satunya untuk mengakhiri penderitaan hidup. Daripada malu dan sakit-sakitan seumur hidup, lebih baik mati saja secepatnya. Atau, daripada merepotkan banyak pihak dan menghabiskan banyak biaya, termasuk menyita perhatian publik dalam proses hukum, lebih baik mati saja.
Dalam perspektif pemberantasan korupsi dan penegakan moral, tindakan bunuh diri yang dilakukan koruptor mungkin layak diapresiasi. Sebab, efeknya bisa positif atau bisa mencegah korupsi berikutnya. Dengan kata lain, makin banyak koruptor bunuh diri, generasi berikutnya mungkin akan berpikir seribu kali jika hendak melakukan korupsi.
Namun, di Indonesia, sejauh ini belum ada koruptor yang bunuh diri meskipun jatuh sakit atau sakit-sakitan hingga akhir hayatnya. Hal itu tampaknya berkaitan dengan faktor iman dan agama yang melarang bunuh diri. Padahal, iman dan agama juga melarang korupsi!
Bahkan, korupsi termasuk perbuatan dosa yang sulit ditobati karena dosanya bukan hanya kepada Tuhan, namun juga kepada bangsa dan negara. Juga, jika hasil korupsi telanjur dinikmati, misalnya telanjur menjadi darah dan daging secara regeneratif, tentu akan makin sulit ditobati. Misalnya, bila hasil korupsi untuk menghidupi anak cucu, darah dan daging anak cucu berasal dari sesuatu yang haram.
Memang sungguh sangat riskan perbuatan korupsi. Karena itu, bisa dimengerti jika koruptor atau tersangka korupsi jatuh sakit atau dirajam berbagai penyakit sampai akhir hayat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar