Jalan Buntu
Reformasi Birokrasi
Adnan Topan Husodo ; Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch
SUMBER : KOMPAS, 14
Mei 2012
Beberapa waktu lalu, Sekretariat Nasional
Fitra telah melansir data mengenai 291 pemerintah daerah yang menghabiskan
kurang lebih 60 persen belanja daerahnya untuk membiayai pegawai. Menurut
Fitra, angka tersebut melonjak drastis hingga mencapai 135 persen dibandingkan
tahun sebelumnya yang menyentuh jumlah 124 daerah.
Lebih mencengangkan lagi, 11 daerah di
antaranya bahkan mengalokasikan belanja pegawai hingga 70 persen dari total
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sehingga jatah anggaran
pembangunan hanya sebesar 9-14 persen saja. (Seknas Fitra, 2012).
Tren anggaran yang demikian bukan hanya
monopoli daerah. Pemerintah pusat juga mengalami persoalan hampir sama,
meskipun pada angka yang relatif lebih baik. Struktur anggaran di atas tidak
pelak lagi tentu mengganggu rencana pembangunan nasional dan daerah di berbagai
sektor, termasuk sektor mendasar, yakni pendidikan dan kesehatan.
Orientasi anggaran yang menitikberatkan pada
pembiayaan pegawai mencerminkan tidak adanya prioritas pada peningkatan
kualitas kehidupan masyarakat. Tidak heran jika secara global, pada 2011,
Indeks Pembangunan Manusia Indonesia mengalami penurunan, yakni peringkat
ke-108 dari 169 negara yang disurvei pada 2010 menjadi peringkat ke-124 dari
187 negara pada 2011.
Indikator untuk mengukur kualitas pembangunan
manusia tersebut berhubungan kuat dengan tren alokasi anggaran yang semakin
menjauhi agenda pembangunan. Baik terkait upaya peningkatan angka melek huruf,
peningkatan angka harapan hidup, pengurangan tingkat pengangguran, maupun
peningkatan daya beli masyarakat.
Birokrasi
Gemuk Sarang Penyakit
Porsi anggaran yang sangat besar bagi belanja
pegawai sesungguhnya juga menunjukkan kecenderungan yang bertolak belakang
dengan agenda reformasi birokrasi. Secara teoretis, reformasi birokrasi
dimaksudkan untuk—salah satunya—menciptakan pemerintahan yang efektif dan
efisien.
Salah satu upaya untuk mendorong efisiensi
pemerintahan adalah dengan melakukan perampingan birokrasi. Dengan birokrasi
yang ramping, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan APBD akan dapat
dialokasikan dengan maksimal untuk belanja pembangunan.
Ibarat manusia, birokrasi yang gemuk adalah
sarang berbagai penyakit. Korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah salah satunya
yang paling merisaukan. Korupsi di birokrasi tampaknya sulit untuk dikendalikan
mengingat masifnya kejahatan itu terjadi, apalagi telah melibatkan berbagai
level pemerintahan, dari pusat hingga ke tingkat kelurahan.
Korupsi di birokrasi bukan hanya telah
melenyapkan sebagian besar anggaran publik, melainkan juga ikut memacetkan
pelayanan publik, baik pada sektor bisnis maupun pelayanan publik yang lebih
luas. Suap, pemerasan, upeti, manipulasi dokumen anggaran, perjalanan fiktif,
proyek fiktif, pemilihan kontraktor tanpa tender, dan berbagai bentuk korupsi
lainnya telah menjadi ritual sehari-hari aparatur birokrasi di Indonesia.
Modus korupsi birokrasi, baik sebelum
reformasi birokrasi maupun setelahnya, sepertinya tak banyak berubah. Data
audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada semester II tahun 2011, misalnya,
menjelaskan dengan sangat eksplisit adanya temuan senilai Rp 1,6 triliun
kerugian negara akibat dari 2.319 penyimpangan yang dilakukan aparat birokrasi
melalui berbagai macam cara. Mulai dari belanja fiktif, mark up anggaran,
kelebihan pembayaran terhadap kontraktor, pengabaian terhadap kekurangan volume
pekerjaan kontraktor, perjalanan dinas ganda dan fiktif, hingga penggunaan
anggaran negara untuk berbagai kepentingan pribadi.
Dan, yang lebih memprihatinkan, temuan BPK
terkait dengan penyimpangan birokrasi hampir tidak digubris secara serius oleh
pengambil keputusan, baik di pusat maupun di daerah. Padahal, temuan itu setiap
tahun selalu dilansir dan disampaikan kepada pemerintah maupun DPR. Pada titik
ini, sepertinya kita harus menerima kenyataan bahwa antara agenda reformasi
birokrasi dan masifnya praktik korupsi telah berjalan beriringan.
Patronase
Politik-Birokrasi
Pertanyaannya, dalam keadaan di mana
Indonesia telah memilih jalan demokrasi dan memulai cukup lama agenda reformasi
birokrasi, mengapa korupsi tetap menjadi hal jamak? Jawabannya adalah pada
praktik patronase politik-birokrasi.
Secara garis besar, logika patronase
politik-birokrasi terjadi adalah ketika politisi memanfaatkan lembaga
pemerintah untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan politik partisan
mereka. Hal itu bisa terjadi karena tidak ada halangan apa pun, baik dalam
bentuk larangan maupun aturan yang mengikat.
Bagi politisi, mengontrol lembaga pemerintah
berarti mengendalikan sumber daya birokrasi yang sangat besar. Baik dalam
bentuk anggaran, posisi atau jabatan, pengaruh terhadap kebijakan, pegawai dan
sebagainya, yang dapat digunakan untuk kepentingan politik, terutama dalam
pemilu. Politisasi birokrasi dalam konteks pemilu sering dimaksudkan untuk
mendapatkan dukungan suara, mobilisasi tenaga untuk kepentingan kampanye,
maupun pemanfaatan anggaran pemerintah untuk pembiayaan kampanye.
Oleh karena itu, dalam politik praktis yang
telah terkartelisasi seperti saat ini, jalinan patronase politik-birokrasi
justru kian menguat. Hampir tidak ada bedanya antara politisi dari partai A dan
partai B.
Tak heran jika di hampir sebagian besar
kegiatan pemilu (kepala daerah), temuan atas politisasi birokrasi lebih dominan
daripada bentuk penyimpangan yang lain. Karena model relasi antara politik dan
birokrasi adalah berbagi kepentingan, maka sulit agenda reformasi birokrasi
yang bertumpu pada rekayasa kelembagaan dapat diimplementasikan secara baik.
Praktik patronase politik-birokrasi hanya
akan melahirkan hubungan koruptif dan transaksional antar-politisi yang
biasanya duduk sebagai pemimpin, baik di departemen maupun pemerintah daerah,
dengan elite birokrasinya. Politisi tentu tak berminat untuk memperbaiki
birokrasi, sementara birokrasi sulit untuk diubah karena elite mereka adalah
loyalis politik alias partisan. Ukuran untuk menduduki jabatan tertentu di
birokrasi menjadi tidak penting karena orientasinya adalah pada loyalitas.
Jika hal ini yang menjadi masalah utama,
mengupayakan rekayasa kelembagaan untuk membangun efisiensi pada lembaga
birokrasi, bahkan dengan mengguyur uang pajak rakyat atas nama reformasi
birokrasi hanya akan menemui jalan buntu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar