Rabu, 13 Juli 2022

 

Merancang Strategi Kebudayaan di Panggung Presidensi G-20 Indonesia

Wahyu Seto Aji :  Alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Pamong Budaya Ahli Pertama Kabupaten Semarang

JAWA POS, 12 Juli 2022

 

 

                                                           

UNTUK pertama kalinya, Indonesia memegang peranan penting dalam forum kerja sama multilateral 20 negara dengan perekonomian terbesar di dunia, yaitu G-20. Indonesia menjadi tuan rumah pada November mendatang. Presidensi tahun ini menjadi istimewa. Ini karena G-20 tidak hanya dipahami sebagai forum mengenai keuangan, bisnis, dan ekonomi, tetapi untuk pertama kali kebudayaan akan dibicarakan sebagai salah satu fokus isu yang signifikan, bersanding isu-isu utama lainnya.

 

Presidensi Indonesia ini bisa dikatakan tidak mudah. Ini karena sempat mendapat tekanan berupa wacana pemboikotan oleh Amerika Serikat dan sejumlah negara barat, apabila Indonesia mengundang Rusia dalam gelaran G-20 nanti. Hal itu terjadi akibat ketidakstabilan politik kawasan, yaitu konflik Rusia-Ukraina yang juga melibatkan kekuatan sejumlah negara anggota G-20.

 

Oleh karena itu, momentum presidensi yang hanya terjadi 20 tahun sekali bagi negara anggota ini, harus dimanfaatkan sebaik mungkin oleh Indonesia. Terutama dalam rangka penanganan sejumlah isu global, dengan tujuan untuk memberi nilai tambah bagi pemulihan Indonesia di segala lini di tengah pandemi Covid-19 yang belum mereda. Dengan demikian, Indonesia harus menunjukkan kepemimpinan dalam bidang diplomasi internasional dan ekonomi di kawasan, mengingat Indonesia merupakan satu-satunya negara di ASEAN yang menjadi anggota G-20.

 

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI, Nadiem Anwar Makarim, dalam acara “Kick Off G-20 on Education and Culture” pada Mei 2022 lalu, mengatakan bahwa kita harus memikirkan jalan keluar untuk mewujudkan kehidupan berkelanjutan dengan kembali ke akar budaya, sehingga generasi di masa depan masih dapat hidup berdampingan dengan alam.

 

Apa yang diungkapkan Mendikbudristek dengan tajuk “Jalan Kebudayaan untuk Kehidupan Berkelanjutan” itu sangat relevan. Ini lantaran tatanan dunia mengalami guncangan hebat akibat badai pandemi. Di sisi lain, kita semua masih belum siap menghadapi perubahan masif dalam aspek sosial, budaya, industri, dan teknologi.

Merancang Strategi Kebudayaan

 

Dalam rangka ikhtiar mewujudkan strategi kebudayaan untuk hidup berkelanjutan, maka ada sejumlah kebijakan yang perlu dilakukan. Pertama, meminjam pendapat Escobar (2011) yang menyatakan, bahwa kebudayaan dalam hubungannya dengan hidup berkelanjutan berperan dalam merancang pluriverse, yaitu bumi sebagai satu kesatuan hidup yang muncul dari berbagai unsur biofisik, manusia, dan spiritual yang menyusunnya. Maka kebudayaan harus dikonstruksikan sebagai aksi untuk bersikap adaptif dalam rangka pemenuhan kebutuhan manusia yang bersendikan lingkungan dan alam.

 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2022), kebudayaan yang selama ini dimaknai sebagai hasil kegiatan dan penciptaan harus dimutakhirkan bukan lagi sebagai ‘produk’. Akan tetapi, maknanya diperluas sebagai ‘cara’, sehingga kita sebagai bagian dari warga dunia turut berperan aktif dalam aktivitas inovasi dan invensi sebagai respon untuk menjawab persoalan menyangkut kebutuhan dasar manusia. Pemaknaan kembali terhadap istilah kebudayaan merupakan penguatan konteks sebagai antitesis produk budaya yang selama ini kita pahami sebagai kebudayaan dalam arti sempit, misalnya kesenian, adat-istiadat, warisan budaya benda/takbenda, maupun bahasa. Upaya itu dilakukan semata-mata agar aktivitas budaya tidak bersifat pasif atau hanya terbatas dalam konteks pelestarian saja. Akan tetapi, persepsi serta kreativitas kita untuk menciptakan sesuatu tetap tumbuh dalam DNA bangsa Indonesia dan tidak berhenti pada romansa peninggalan masa lalu yang senantiasa dibanggakan tanpa berbuat apa-apa.

 

Seturut itu, keberadaan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) merupakan contoh nyata pemutakhiran lembaga riset dalam negeri untuk meningkatkan produktivitas penemuan dan pembaruan daya saing yang holistik dan berkelanjutan. Sementara itu, praktik baik kebudayaan yang dilakukan perseorangan, kelompok, ataupun lembaga seperti promosi gaya hidup berkelanjutan dalam menanggapi krisis lingkungan dan ketidakadilan sosial, patut didukung secara penuh sebagai kampanye pembiasaan normal baru pascapandemi.

 

Kedua, kita perlu lebih banyak lagi kebijakan publik berbasis sosial budaya. Relasi kebudayaan dalam kebijakan publik dikonsepkan sebagai gambaran ideal, desain hidup, dan cetak biru suatu masyarakat yang menghasilkan nilai budaya dalam norma sosial dan norma sosial itu tercermin dalam peraturan hukum, serta pelindungan terhadap norma itu juga terjadi melalui proses hukum (Ihromi, 1984). Berpijak pada pandangan itu, maka perlu dibentuk lebih banyak lagi kebijakan publik dan regulasi negara yang menitik-beratkan lingkungan serta sesuai perkembangan kepentingan/situasi sosial yang ada.

 

Sehubungan itu, perspektif kebudayaan sebagai ‘cara’ perlu diimplementasikan agar relasi atau hubungan manusia sebagai pembuat kebijakan dengan lingkungan, dimana manusia tinggal dapat menjamin kelangsungan kehidupan yang harmonis. Pendekatan ke ruangan seperti ini diharapkan mampu mencegah konflik dan menjawab dinamika yang sering terjadi di daerah.

 

Bank Dunia (2014) mengungkapkan bahwa masalah kelangsungan hidup di daerah terjadi akibat kurangnya kesadaran masyarakat dalam upaya mengatasi masalah lingkungan, eksploitasi, konflik vertikal/kebijakan desentralisasi yang salah, dan bencana alam. Penyusunan kebijakan berbasis sosial budaya amat penting dilakukan, mengingat daerah memiliki kearifan dan pengetahuan lokal yang perlu digali untuk dapat mempersepsikan pemenuhan kebutuhan dasar manusia, yaitu sandang, pangan, dan papan berdasarkan ketersediaan sumber daya yang dimiliki.

 

Dalam praktiknya, dunia perlu menjamin eksistensi masyarakat adat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan ekosistem lingkungan dan alam. Akibatnya, kebijakan industrialisasi yang mengatasnamakan pembangunan tidak boleh menggusur keberadaan tanah adat beserta kesatuan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Mengingat kebanyakan konflik terjadi karena perebutan/pengalihfungsian lahan antara penguasa dan masyarakat.

 

Ketiga, Indonesia perlu menegaskan langkah konkret dengan memobilisasi negara-negara G-20 untuk menjadikan kebudayaan sebagai panglima. Perspektif tersebut diperlukan untuk mengajak warga dunia menggali dan memanfaatkan nilai budaya sebagai pendekatan kolektif, guna mewujudkan perasaan senasib-sepenanggungan dan kesadaran komunal. Jadi, presidensi Indonesia juga diharapkan tidak melupakan keberadaan negara-negara dunia ketiga sebab negara-negara itu masih berkutat dengan persoalan lingkungan. Permasalahan yang dihadapi negara dunia ketiga salah satunya disebabkan oleh era liberasi perdagangan yang dilakukan negara maju, sehingga menyebabkan gap ekonomi tajam terhadap negara berkembang (Hartati, 2007).

 

Negara dunia ketiga perlu mendapat perhatian karena faktanya bertindak sebagai ujung tombak dari pada kelangsungan kehidupan global yang tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian, forum G-20 juga harus memberikan dukungan nyata berbentuk dana abadi (bukan hutang) dan transfer teknologi kepada negara kurang berkembang, untuk menghadapi tereduksinya potensi sumber daya mereka akibat terjangan Covid-19 selama dua tahun terakhir.

 

Sudah saatnya G-20 menjadi momentum yang memantik kepekaan untuk bangkit bersama tanpa memandang sekat. Perbedaan ras, ekonomi, dan garis batas politik memang keniscayaan. Namun, atas nama nilai budaya universal—gotong-royong dan kemanusiaan—semua negara bisa memilih untuk beraksi dari pada hanya berhenti pada resolusi hitam di atas putih. Rahayu.

 

Sumber :   https://www.jawapos.com/opini/12/07/2022/merancang-strategi-kebudayaan-di-panggung-presidensi-g-20-indonesia/?page=all

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar