Minggu, 24 Juli 2022

 

Imajinasi Negara atas Rakyatnya

Rendy Pahrun Wadipalapa: Peneliti Politik; School of Politics and International Studies, University of Leeds, Inggris

KOMPAS, 18 Juli 2022

 

                                                

 

Indonesia tak bisa lepas dari tren bahwa sebagian besar negara dikepung oleh resesi global dan destabilisasi politik pascapandemi. Hanya dalam beberapa minggu terakhir, dua faktor ini berkelindan dengan derajatnya masing-masing: ambruknya ekonomi Amerika Serikat, jatuhnya Perdana Menteri Boris Johnson di Inggris, kepergian tragis Shinzo Abe di Jepang, atau didudukinya istana kepresidenan Sri Lanka oleh massa rakyat yang protes. Frustrasi global dengan jelas melanda semua belahan bumi.

 

Indonesia seharusnya berjaga dalam garis batas resesi ekonomi agar tak mengarah pada khaotik protes. Kolaborasi antara pemerintah dan rakyat diperlukan untuk menyiapkan jangkar di hadapan krisis. Tetapi, paradoks mengemuka di titik ini. Yang terjadi adalah antagonisme sia-sia yang makin tajam antara elite dan rakyat.

 

Pada waktu-waktu genting saat aspirasi rakyat sebaik-baiknya diserap, elite justru membentengi dirinya dengan wacana RUU KHUP yang mensyaratkan sebuah ”kritik harus disertai solusi”. Saat antrean mengular untuk minyak goreng yang mendadak langka, elite justru menasihati rakyat agar mengganti metode masak dan gaya hidupnya agar lebih sederhana.

 

Dua contoh dari deretan peristiwa sejenis memperlihatkan resep yang sama sekali keliru. Sebaliknya, antagonisme yang menajam hanya akan memperburuk kemarahan moral atas gagalnya negara di ambang krisis ekonomi dunia.

 

Tiga titik periksa

 

Jantung masalahnya bukanlah pertama-tama ada pada kebijakan, melainkan pada imajinasi visioner negara atas rakyatnya: apa yang sesungguhnya dibayangkan sekaligus dicita-citakan dari sebuah kumpulan kolektif manusia politik bernama rakyat?

 

Pertanyaan eksistensial ini berupaya menarik keluar mimpi, obsesi, dan harapan dari tubuh politik negara terhadap rakyat. Jawaban normatif tentang ini telah lama ditulis dalam undang-undang dasar, tetapi jawaban paling terus terang harus dilacak sungguh-sungguh melalui tiga titik periksa.

 

Pertama, penting untuk membaca bagaimana negara memandang genesis dirinya sendiri, bagaimana ia terbentuk atau ”diciptakan”. Sejarah heroik telah ditulis dengan manis menggambarkan perjuangan rakyat atas kolonialisme, beserta pemikir-pemikir kebangsaan yang menyiapkan desain negara hingga menjalankannya setelah merdeka.

 

Narasi tersebut, jika dilihat secara berimbang, adalah sebuah bentuk kehati-hatian agar tidak meletakkan yang satu lebih rendah atau lebih tinggi ketimbang yang lain: bahwa baik rakyat jelata maupun elite intelektual bangsa adalah dua garda depan yang saling mengisi perjuangan eksistensial sebuah Indonesia. Semata-mata mengecilkan nilai dan jumlah perjuangan jelata di hadapan gagahnya jargon dan pidato monumental elite bangsa dapat menjebak kita pada glorifikasi.

 

Risiko besar dari ini adalah terciptanya lingkaran eksklusif atas suatu kategori orang terhadap lainnya, menginspirasi terbentuk kuatnya dinasti politik dan oligarki kekuasaan. Imajinasi atas para rakyat yang tak terlalu bernilai perjuangannya pada pembentukan bangsa, atau lebih buruk lagi adalah ”berutang budi” kepada elite, telah melahirkan hierarki permanen antara elite dan rakyat.

 

Kedua, terhadap pilihan jalan politik dan bagaimana rakyat dilibatkan. Jika demokrasi didaku sebagai pilihan utama dan satu-satunya, maka berlaku syarat mutlak dalam menjaga pilar-pilarnya. Kebebasan berekspresi dijamin, ruang publik berjalan tanpa intervensi, kompetisi dan transisi kekuasaan yang sehat, serta keseimbangan postur organisasi politik demi pemerintah yang terkontrol.

 

Yang terjadi adalah sebaliknya: pendapat oposisi dikecam dan direpresi, ruang publik dipenuhi oleh pendengung yang memolarisasi pendapat, pemilu dibakar oleh sentimen primordial dan disinformasi, dan timpangnya postur politik di parlemen karena kooptasi besar-besaran dalam satu aliansi politik pro-pemerintah. Deviasi ini memperlihatkan sempitnya ruang yang tersedia bagi rakyat dalam demokrasi yang seharusnya menyervis dirinya sebagai prioritas tertinggi.

 

Ketiga, diperlukan pemeriksaan atas apa yang dipersepsi sebagai ”ancaman”. Urgensi dalam pendefinisian ini adalah jalan untuk memahami mengapa, kapan, dan bagaimana sebuah perlindungan diberikan kepada rakyat dalam berhadapan dengan ancaman. Dalam negara berdaulat, ancaman dibaca sebagai degradasi atas dua fondasi vital, yakni kedaulatan atas teritori beserta nilai-nilainya serta kesejahteraan bangsa. Yang terjadi adalah paradoks. Ancaman utama hampir selalu ditafsirkan sebagai ”alien”, yang berasal dari luar pagar, mereka yang ”bukan kita” dan menerobos masuk.

 

Terorisme dan radikalisme masuk dalam kategori utama ancaman, terutama karena skala kekerasan sekaligus potensi destruksi yang besar. Tetapi, pada saat yang sama, ketika dua ancaman ini diterjemahkan ke dalam jargon dan lebih jauh lagi dibawa masuk ke dalam vocabulary kampanye politik, orang dimanipulasi untuk percaya bahwa mereka yang tak sepaham dan sejenis (bukan hanya dalam hal cara berpakaian, tetapi lebih-lebih dalam hal pilihan politik!) adalah radikal dan klan teroris.

 

Radikalisme telah menjadi ladang baru polarisasi sosial dan labelisasi, menguasai diskursus publik demikian lama dan intens, menyemburkan prasangka berat dan menggusur isu-isu tentang kemiskinan, penggusuran, penyerobotan tanah, atau apa pun yang mewakili ancaman genting atas kesejahteraan penghuni bangsa. Di sini, rakyat bukanlah elemen yang terlindungi dari apa yang disebut sebagai ”ancaman”, melainkan diletakkan sebagai bahan bakar mobilisasi dukungan atas satu kelompok dan dikorbankan atas nama fanatisme elite politik.

 

Lewat tiga sudut pemeriksaan ini, tulisan ini sejak semula tidak bermaksud menawarkan sebuah diagnosis pesimistis. Namun, barangkali melalui kritik yang menyasar pada visi mendasar Indonesia sebagai negara, kita dapat melihat lebih jernih atas sumber sengkarut dari masalah-masalah bersama. Suasana yang mencekam dan khaotik di negara-negara lain semestinya mendorong kita semua untuk mendamaikan jarak, prasangka, dan konflik semu yang diorkestrasi demi kepentingan suara pada peristiwa-peristiwa politik sebelumnya.

 

Bahkan, jika tulisan semacam ini dibaca sebagai narasi pesimistik dan ”kritik tanpa solusi”, satu pertanyaan lain harus dijawab: berapa negara harus menyiapkan anggaran beserta tunjangan profesional untuk saran dan solusi yang lahir dari keluhan dua ratus tujuh puluh juta kepala rakyat?

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/16/imajinasi-negara-atas-rakyatnya

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar