Jumat, 29 Juli 2022

 

Citayam Fashion Week

Aku Viral maka Aku Ada

Riana A Ibrahim dan Elsa Emiria Leba :  Wartawan Kompas

KOMPAS, 24 Juli 2022

 

                                                

 

Mata publik tertuju erat pada fenomena Citayam Fashion Week belakangan. Anak muda tetangga Ibu Kota pergi ke kawasan berorientasi transit Dukuh Atas, Jakarta Pusat, memamerkan penampilan kece mereka di dunia nyata dan maya. ”Aku viral maka aku ada”, mungkin begitu batin yang tersirat.

 

Suara rel berdecit berhenti di Stasiun Sudirman, Minggu (17/7/2022) sore itu. Dari pintu keluar stasiun yang berada di ujung persimpangan Jalan Blora dan Jalan Kendal tersebut, para muda-mudi keluar dengan aneka gaya silih berganti menuju suatu titik di antara hutan beton Jakarta yang tengah menjadi buah bibir, Citayam Fashion Week.

 

Titik itu berpusat di penyeberangan pejalan di dekat stasiun MRT Dukuh Atas yang berada dalam kawasan berorientasi transit pertama di Jakarta itu. Manusia dari segala asal, kebanyakan Jabodetabek, menikmati ”pergelaran mode” dadakan para pengunjung yang datang dengan niat tampil. Ramai dari siang hingga malam.

 

Keriuhan ini terjadi sejak sebutan Citayam Fashion Week viral di media sosial sejak Juni 2022. Dalam dunia mode, istilah pekan mode mengacu pada perhelatan acara mode selama sepekan yang biasa digelar di New York, London, Milan, dan Paris.

 

Pada fenomena Citayam Fashion Week, istilah itu tercetus bukan untuk mendompleng kegiatan perhelatan pekan mode tingkat dunia itu, melainkan lantaran frasa fashion week telanjur akrab di telinga awam sebagai sesuatu yang berkaitan dengan mode.

 

Di Dukuh Atas, beragam cara berpakaian tampil di sana layaknya sebuah etalase. Seperti Echa (15) yang berasal dari Tigaraksa, Tangerang, bersama dengan empat temannya. Ia menggunakan kaus kuning kedodoran yang dilipat-lipat bagian bawahnya kemudian diikat sehingga menyerupai crop top lalu dipadu dengan celana cargo hitam putih.

 

Tak ada rasa ragu atau takut salah kostum seperti anak remaja pada umumnya. Meski sedikit malu-malu, mereka merasa apa yang dipilih untuk dikenakannya adalah identitas diri mereka. ”Iya, mikirin besok mau kayak apa. Lihat-lihat juga orang-orang lagi ramai pake apa, tapi tetep pilih yang aku suka juga gayanya,” ungkap Echa.

 

Kesadaran untuk melek gaya juga terjadi pada Reza Ramadhan (15) dan dua teman yang tengah duduk santai di depan Stasiun Sudirman. Tiga pemuda dari Bojonggede ini sebenarnya sudah lama main ke Dukuh Atas, bahkan sebelum Citayam Fashion Week viral, untuk nongkrong dan berburu spot foto.

 

Namun, beberapa hal sedikit berubah setelah tempat itu heboh di jagat maya. Selain bertambah ramai, mereka juga mulai memperhatikan pakaian yang dikenakan. Padahal, sebelumnya memakai kaus dan celana jins saja sudah cukup ”Dulu enggak tahu soal outfit-outfit gitu, ini baru tahu sebulan terakhir,” tutur Reza tersenyum.

 

Upaya untuk terlihat keren itu terlihat. Mengambil tema gaya jalanan ala Jepang, Reza mengenakan jaket varsity satin berwarna biru, kaus hitam, dan celana gombroh hitam. Ia mengaku harus memutar otak soal paduan pakaian setiap akan ke Dukuh Atas pada akhir pekan. ”Aku pengin ada yang notice outfit-ku terus viral, tapi tengsin juga, sih,” ujar Reza malu-malu.

 

Psikolog anak dan keluarga, Roslina Verauli, mengatakan, pada dasarnya berkumpul dengan teman sebaya merupakan bentuk pencarian identitas diri. Interaksi membuat mereka merasa diterima dan disukai.

 

Saat berkumpul, anak-anak muda yang berkumpul di Dukuh Atas menampilkan penampilan versi terbaik diri mereka terlepas dari latar belakang. ”Ini adalah eskapisme yang produktif. Ketika mereka mampu membuat dirinya terlihat, mereka jadi sadar punya nilai,” ujarnya.

 

Barter baju

 

Seperti dua sisi mata uang, kemunculan fenomena Citayam Fashion Week mengundang puji sekaligus cemooh. Beberapa mengapresiasi kreativitas mereka, tetapi beberapa mengganjar mereka dengan sebutan ”kampungan”.

 

Olok-olok itu tak menghentikan mereka berkarya. Meskipun pakaian yang mereka kenakan ada yang hanya berkisar Rp 30.000 atau Rp 150.000, mereka berani mengekspresikan diri. Malah ada juga yang melakukan padu padan unik yang membuat salut.

 

Tidak perlu neko-neko, cukup berburu di toko daring dengan metode pembayaran langsung di rumah atau pergi ke pasar, membuat mereka bisa berganti gaya yang mereka mau. Anak-anak muda ini juga menerapkan prinsip ekonomi sirkular agar hemat, tetapi tetap dengan gaya terkini. Barter pakaian menjadi solusinya.

 

Sama seperti yang dilakukan Perdiansyah (16) yang berdomisili di Jalan Kampung Lio, Citayam. Pemuda ini kadang membeli baju di platform e-dagang dan Facebook, tetapi lebih sering melakukan barter lewat unggahan di Facebook.

 

”Kalau ada yang suka, ya barter. Habis barter itu udah jadi punya kita sendiri,” kata Perdiansyah saat ditemui di sebuah warung di Jalan Kampung Lio bersama empat temannya.

 

Kalau pintar melakukan barter, Perdiansyah menjelaskan, mereka bisa mendapatkan barang yang lebih bagus dengan nilai yang lebih tinggi. Saat ini, pakaian yang tengah menjadi tren di antara mereka adalah celana Yasik dengan motif naga.

 

Barter baju membantu Perdiansyah bisa tetap bergaya dengan ongkos minim. ”Setelan itu, kan, enggak tentang diri kita sendiri, tapi dilihat dan dinilai orang lain juga. Kalau menurut diri sendiri udah keren, di mata orang belum tentu. tapi prinsip saya, sih, be yourself,” kata Perdiansyah.

 

Reza juga mempunyai trik agar bisa bervariasi, tetapi selalu berada dalam budget di kisaran harga maksimal Rp 200.000. Agar punya uang untuk bergaya dan nongkrong, Reza bekerja membantu ayahnya mengurus ayam. Dia bisa memperoleh Rp 30.000 sampai Rp 60.000. Selain membeli, kadang dia juga memakai barang yang diberikan teman dan saudara.

 

Ingin viral

 

Selain gaya padu padan kreasi sendiri, mereka juga sibuk berburu foto yang instagramable demi dipajang di laman media sosial. ”Seneng banget kalau tetiba yang nge-like banyak. Apalagi biasanya kalau udah pernah gitu nongkrong di Jakarta, jadi makin keren aja di tongkrongan,” tutur Siti (15) yang berasal dari Depok, Jawa Barat.

 

Tak sedikit juga yang berharap bisa ikut viral atau diajak membuat konten oleh para kreator konten yang wara-wiri juga di sana. ”Enak kayaknya bisa terkenal. Duitnya banyak. Mau ke mana-mana gampang,” ucap Nia dari Tigaraksa, Tangerang, yang sempat diwawancara oleh sebuah program televisi.

 

Sedikit berbeda, Ali Uroihdi (15) sekarang pikir-pikir lagi jika ingin terkenal. Pemuda asal Citayam ini pernah viral di akun Tiktok milik salah satu kreator konten bersama teman perempuannya. Namun, dia sempat diejek warganet.

 

”Viral itu seru, tapi pas dicoba gimana gitu. Agak rada nyesel karena banyak yang ngatain nama panggilan saya,” kata Ali saat ditemui di rumahnya di pinggir Situ Citayam.

 

Secara terpisah, pakar komunikasi digital dari Universitas Indonesia, Firman Kurniawan, menyampaikan kecenderungan anak-anak yang masuk kategori sebagai gen Z ini memang lekat dengan penggunaan perangkat digital yang memiliki fasilitas media sosial.

 

”Mereka mewujudkan gagasannya itu dalam bentuk konten media digital. Mereka pun akan dipandang eksis dari kontennya, jumlah likes, dan lain-lain. Dari situ, bisa jadi mereka akan mendapatkan posisi sosial tertentu, setidaknya dalam peer group-nya. Ini yang menggerakkan mereka untuk adu konten,” jelas Firman.

 

Pembingkaian tema mode melalui Citayam Fashion Week dalam pembuatan konten di media sosial oleh para remaja ini dianggap menarik. ”Ini bisa menggeser dari yang tadinya temanya pergaulan bebas, pacaran anak usia segitu, sekarang jadi berbicara tentang gaya. Kontennya membaik,” ujar Firman.

 

Di Citayam Fashion Week, anak-anak muda pinggiran Jakarta ini menemukan diri. Segala cemooh, ocehan, dan celaan hanyalah sandungan sesaat. Mereka cukup fokus membangun diri menjadi versi terbaik diri masing-masing dengan cara positif.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/gaya-hidup/2022/07/23/aku-viral-maka-aku-ada

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar