Jumat, 29 Juli 2022

 

Membentengi Kebebasan Ekspresi

Herlambang P Wiratraman: Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

KOMPAS, 25 Juli 2022

 

                                                

 

Sistem hukum pidana haruslah beradaptasi dengan perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Peradaban kemanusiaan itu diupayakan progresif, melalui pengembangan jaminan kebebasan dan hak-hak dasar yang sifatnya asasi dan universal. Gagasan dan semangat reformasi hukum pidana seharusnya merefleksikan sekaligus menuntun kita menuju negara hukum demokratis.

 

Di sisi lain, dinamika pembentukan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) kita saat ini, perdebatan reflektif negara hukum demokratis justru absen. Sebaliknya, RKUHP terkesan mengingkari prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia (HAM), terutama jaminan kebebasan ekspresi. Hal ini tampak dari silang pendapat rumusan pasal penghinaan. Bagaimana membentuk hukum yang menjamin kebebasan ekspresi, khususnya berkaitan dengan masalah pasal penghinaan?

 

Di bawah standar

 

Ada sejumlah ”pasal penghinaan” yang dianggap mewakili karakter hukum represif dalam RKUHP, yakni Pasal 218 Ayat (1) dan (2) jis Pasal 219 jis Pasal 220. Pasal-pasal ini berkaitan dengan konsekuensi pemidanaan atas tindak penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.

 

Pengecualiannya, disebutkan dalam Pasal 218 Ayat (2), bahwa tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri. Selain itu, Pasal 351 Ayat (1), (2), dan (3) RKUHP, berkaitan dengan tindak pidana terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara.

 

Dalam tulisan di Kompas (7/7/2022) yang berjudul ”Penghinaan dan Hukum Pidana”, Eddy OS Hiariej sebagai Wamenkumham menyebut tiga alasan pasal penghinaan dipertahankan. Pertama, penghinaan berakibat pembunuhan karakter. Kedua, penghinaan dianggap tak sesuai tradisi masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi adat dan budaya Timur. Ketiga, penghinaan adalah salah satu bentuk malaperse atau rechtsdelicten, bukan malaprohibita atau wetdelicten. Pendekatan hukum pidana menjadi argumen utamanya.

 

Berbeda dengan bantahannya, Zainal Arifin Mochtar melalui rubrik yang sama (Kompas, 13/7/2022), dengan judul ”Pasal Penghinaan, Hukum, dan Demokrasi”, mengingatkan soal bahaya rumusan pasal-pasal penghinaan RKUHP tersebut dalam paradigma negara hukum dan demokrasi.

 

Satu hal yang paling mendasar dan patut dikhawatirkan dalam argumen hukum pendapat Hiariej adalah absennya pertimbangan HAM. Padahal, elemen hukum pidana begitu dekat terkait dengan begitu pesatnya perkembangan hukum HAM, sebagai instrumen standar internasional, doktrin, dan bahkan yurisprudensi yang begitu kuat mewarnai criminal justice system.

 

Jaminan kebebasan ekspresi dapat dibatasi (derogable rights). Perlu ingat bahwa Pemerintah Indonesia bersama DPR telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (KIHSP) melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Pasal 19 Ayat (1) menegaskan kebebasan berpendapat yang sama sekali tak boleh dibatasi (non-derogable rights). Sementara pembatasan dimungkinkan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 Ayat (2) dan (3) KIHSP, terutama berkaitan dengan menghormati hak atau nama baik orang lain dan melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum.

 

Pembatasan-pembatasan harus dinyatakan tegas dalam hukum, mencerminkan alasan yang terlegitimasi (legitimate aim) dan diperlukan secara proporsional (necessary and proportional). Sayangnya, alasan Wamenkumham mempertahankan pasal-pasal penghinaan jelas tak memiliki basis legitimasi ini. Sebaliknya, dalam praktik akan susah diterapkan secara proporsional mengingat karakter represif hukum pidana selama ini yang praktiknya kerap mengancam kebebasan sipil.

 

Sekalipun bisa dibedakan, ekspresi berupa kritik bisa dikonstruksi menghina apabila rumusan RKUHP demikian. Ekspresi politik yang berbeda, debat politik, dengan artikulasi seni, seharusnya bisa dilindungi berdasarkan Pasal 19 KIHSP.

 

Figur publik, orang-orang dalam jabatan publik, adalah subyek yang sah untuk dikritik sehingga hukum-hukum yang melarang kritik kepada pejabat publik, misalnya penghinaan dan lese majeste, atau hukum-hukum yang memidanakan ketidakhormatan pada simbol negara, seperti bendera, seharusnya diatur secara lebih rinci dan menegaskan substansi legitimasinya (Komentar Umum PBB Nomor 34, para 38). Pembatasan ”penghinaan” yang memiliki basis legitimasi misalnya tindakan yang mengarah pada penghasutan untuk melakukan kekerasan dan propaganda perang.

 

Prinsip 7 dalam Prinsip Johannesburg, terkait ekspresi yang dilindungi, menyatakan bahwa ekspresi damai tidak boleh dianggap sebagai ancaman pada keamanan nasional atau sebagai bahan pembatasan atau hukuman, yang termasuk di antaranya adalah kritik atau ”penghinaan” kepada negara atau simbol-simbol negara. Seseorang juga tidak dapat dihukum atas kritik dan penghinaan terhadap negara dan simbol-simbol negara, kecuali bahwa kritik dan penghinaan tersebut dimaksudkan untuk menghasut kekerasan yang nyata (imminent violence) (Article 19 Prinsip-prinsip Johannesburg, 1 Oktober 1995).

 

Untuk membenarkan pembatasan berdasarkan keperluan keamanan nasional, pemerintah harus membuktikan bahwa ancaman berat dapat ditimbulkan, tetapi tidak perlu membuktikan kemungkinan bahwa ancaman itu mendesak atau sangat mungkin (Sandra Coliver, 1993, Buku Pedoman Article 19 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat, Hukum dan Perbandingan Hukum, Standar dan Prosedur Internasional, hlm 116). Bahkan, sekalipun penggunaan ketentuan pidana masih dimungkinkan, harus dibatasi penggunaannya dengan syarat-syarat, antara lain penegak hukum, termasuk polisi dan jaksa, tidak boleh menjadi pihak yang melaporkan kasus pidana penghinaan (Article 19, Defining Defamation: Principles on Freedom of Expression and Protection of Reputation, 2017, hlm 6).

 

Dari sisi hukum HAM internasional, ketidaklengkapan rumusan pasal penghinaan di RKUHP masih jauh di bawah standar, bahkan sebaliknya, tak koheren terhadap KIHSP yang telah diratifikasi Indonesia sendiri.

 

Efek meluas

 

RKUHP perlu mempertimbangkan prioritas penggunaan sanksi di luar sanksi denda ataupun sanksi pidana dalam kasus penghinaan. Penggunaan sanksi denda ataupun sanksi pidana hanya bisa dilakukan apabila hak untuk mengoreksi atau hak untuk menjawab tidak cukup untuk memperbaiki kerusakan reputasi yang ditimbulkan.

 

Penerapan sanksi denda yang eksesif, bahkan pemenjaraan, sangat mungkin melahirkan efek meluas yang buruk (chilling effect) terhadap kebebasan berekspresi. Terlebih rumusan RKUHP dalam Pasal 598 dan 599 justru tegas memasukkan pers dan pencetak di dalamnya.

 

Kegiatan jurnalistik sepatutnya tak masuk dalam RKUHP, terlebih standar etika profesionalnya memberikan ”ruang kesalahan” (a breathing space for error). Pengecualian demikian telah menjadi doktrin dalam putusan pengadilan HAM Eropa, ketika kerja jurnalistik tak dianggap penghinaan atau tidak dapat dipersalahkan apabila tidak bisa menyampaikan pernyataan orang lain secara akurat (lihat: perkara Observer and Guardian v the United Kingdom, 1991, § 60).

 

Agar tak menjadi efek buruk yang meluas dan justru merusak elemen partisipasi publik dalam negara hukum demokratis, RKUHP perlu mempertimbangkan sejumlah hal.

 

Pertama, rumusan pasal perlu merujuk Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Komnas HAM Nomor 5 Tahun 2021 tentang Kebebasan Berpendapat dan Kebebasan Berekspresi. Kedua, pembatasan ekspresi dirumuskan lebih rinci nan terukur menyediakan landasan legitimasi atas tujuan dan proporsional sehingga sejalan dengan prinsip hukum HAM. Ketiga, RKUHP diupayakan mendorong keadilan dan progresivitas perlindungan kebebasan sipil.

 

Praktik peradilan yang memberikan landmark decisions, baik di lingkungan Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung, harus diperkuat.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/23/membentengi-kebebasan-ekspresi

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar