Senin, 25 Juli 2022

 

Diplomasi Jokowi dan G20

Trias Kuncahyono : Wartawan Senior

KOMPAS, 20 Juli 2022

 

                                                

 

 Ketika Indonesia secara resmi memegang presidensi (keketuaan) Group Twenty (G20), per 1 Desember 2021, tidak terbayangkan muncul persoalan sangat berat dan rumit, yakni ”operasi militer khusus” (istilah yang digunakan Moskwa; yang oleh masyarakat internasional disebut invasi militer) Rusia ke wilayah Ukraina.

 

Aksi Rusia tersebut—apa pun istilahnya—telah ”memecah” dunia menjadi empat blok, seperti tecermin dari voting resolusi PBB tentang Ukraina, beberapa waktu lalu. Keempat blok itu ialah blok negara-negara yang mendukung resolusi (141), yang menentang (against) (5), yang abstain (35), dan yang tidak memberikan suara (12).

 

Tidak berhenti sampai di sini. Akibat aksi militer itu, Amerika Serikat (AS) dan sekutunya mengancam akan memboikot KTT G20 di Bali, November 2022, jika Rusia datang.

 

AS bahkan mengancam akan memboikot sejumlah pertemuan G20 jika Rusia tidak dikeluarkan dari kelompok itu meskipun sesungguhnya G20 adalah forum kerja sama multilateral bidang ekonomi, bukan forum politik atau forum keamanan. Urusan menjaga keamanan dan ketertiban dunia, itu lebih merupakan tanggung jawab PBB.

 

Sementara itu, Indonesia sebagai presidensi G20 berkewajiban mengundang negara anggota, terlepas dari apa yang terjadi saat ini. Namun, aksi militer Rusia ke Ukraina menyebabkan semuanya tidak bisa berjalan sebagaimana diharapkan.

 

Sampai di titik ini, bayang-bayang ”kegagalan” rangkaian KTT G20 terlihat. Akan tetapi, bagi Indonesia, the show must go on. Kata Presiden Jokowi, presidensi adalah sebuah kepercayaan dan kehormatan bagi Indonesia (presidenri.go.id dan Youtube Sekretariat Presiden, 1 Desember 2021).

 

”Kepercayaan ini adalah kesempatan bagi Indonesia untuk berkontribusi lebih besar bagi pemulihan ekonomi dunia, untuk membangun tata kelola dunia yang lebih sehat, lebih adil, dan lebih berkelanjutan berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial,” kata Presiden.

 

Diplomasi ”soft power”

 

Apa yang terjadi, setelah aksi militer Rusia ke Ukraina, mengharuskan Indonesia bekerja lebih keras lagi demi suksesnya rangkaian perhelatan KTT G20 lewat jalur diplomasi.

 

Secara sederhana, diplomasi negara dapat didefinisikan sebagai seni dan kemampuan memersuasi pihak lain. Itulah yang dilakukan Presiden Jokowi dan juga Menlu Retno Marsudi. Mereka mengontak, menemui, dan berbicara dengan pemimpin-pemimpin penting dunia untuk memperlancar semua rangkaian KTT G20.

 

Kehadiran Presiden Jokowi ke KTT Khusus ASEAN-AS di Washington sekaligus dimanfaatkan untuk meyakinkan Presiden Joe Biden bahwa kehadiran AS di KTT G20 sangat penting. Sebuah langkah diplomasi yang hebat dilakukan Presiden Jokowi saat menuliskan pesan pada buku tamu pada jamuan santap malam antarpemimpin negara-negara ASEAN dan Presiden Joe Biden.

 

Presiden Jokowi menulis: ”Menantikan kemitraan ASEAN-AS yang lebih kuat. Sampai jumpa di Bali untuk G20”. Kalimat, ”Sampai jumpa di Bali untuk G20” sepertinya biasa saja. Akan tetapi, pada situasi saat ini, sangat sarat makna. Itu adalah undangan khusus sekaligus sebuah ungkapan hati bahwa Joe Biden sangat diharapkan kehadirannya.

 

Demikian juga kehadiran Presiden Jokowi ke KTT G7 di Jerman, juga bagian dari upaya Indonesia untuk mengundang dan mengajak negara-negara anggota G20 hadir. Presiden Jokowi menegaskan bahwa diperlukan upaya dan tanggung jawab bersama, untuk recover together, recover stronger, pulih bersama dengan lebih kuat pascapandemi Covid-19 yang melanda dunia.

 

Menlu Retno Marsudi juga terus membangun konsultasi presidensi G20 kepada negara-negara anggota di Eropa, terutama mengenai tanggapan dan posisi mereka terhadap situasi di Ukraina. April lalu, Menlu mengunjungi empat negara, yaitu Inggris, Perancis, Belanda, dan Turki.

 

Menlu juga mengadakan pertemuan bilateral dengan Menlu Kanada Mélanie Joly, April lalu. Kepada Menlu Mélanie Joly, Menlu Retno menyatakan, masyarakat dunia saat ini tengah menunggu hasil nyata dari kinerja G20. Indonesia juga melakukan komunikasi langsung kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), berbagai organisasi internasional, pihak swasta, hingga filantropi.

 

Apa yang dilakukan Presiden Jokowi di AS dan di Jerman, hadir pada KTT G7, lalu ke Ukraina dan Rusia, adalah langkah diplomasi yang oleh Joseph S Nye Jr (2008) disebut sebagai pendekatan soft power.

 

Pendekatan soft power lebih berkarakter inspirasional, yaitu kekuatan menarik orang lain dengan kekuatan kecerdasan emosional, seperti membangun hubungan atau ikatan yang erat melalui karisma, komunikasi yang persuasif, daya tarik ideologi visioner, serta pengaruh budaya, sehingga membuat orang lain terpengaruh.

 

Hal itu bisa dilihat dari keakraban Presiden Jokowi dengan Presiden Biden, PM Kanada Justin Trudeau, PM Inggris Boris Johnson, PM India Narendra Modi, Presiden Perancis Emmanuel Macron, Kanselir Jerman Olaf Scholz, dan para pemimpin negara lain yang hadir di KTT G7.

 

Pendekatan soft power berbeda dengan pendekatan hard power. Pada prinsipnya pendekatan hard power memiliki karakter yang transaksional dan perpaduan antara kemampuan organisatoris (manajemen kekuatan dan informasi) serta Machiavelis (kemampuan untuk mengancam serta membangun koalisi kemenangan).

 

Kata Amitav Acharya (Indonesia Matters: Asia’s Emerging Democratic Power, 2014), di antara calon negara-negara kuat baru (emerging power), Indonesia paling lemah dalam hal militer dan ekonomi.

 

Namun, Indonesia justru paling dipercaya oleh komunitas internasional untuk diajak bekerja sama. Indonesia tidak memiliki kekuatan ekonomi dan militer sebesar China, tetapi tetap menjadi rujukan penting negara-negara lain karena memiliki soft power bernama demokrasi.

 

FMM di Bali

 

Buah dari segala upaya dan usaha itu kini terlihat. Semua menteri luar negeri negara anggota G20 hadir pada G20 Foreign Ministers’ Meeting/FMM (Pertemuan Menteri Luar Negeri G20) yang dilaksanakan di Nusa Dua, Badung, Bali, 7-8 Juli lalu.

 

Yang tidak hadir secara fisik hanyalah Menlu Ukraina Dmytro Kuleba karena alasan kesehatan dan situasi di dalam negeri Ukraina yang belum memungkinkan ditinggal. Demikian juga Menlu Suriname karena ada urusan di dalam negeri.

 

Anggota-anggota G20 terdiri atas 19 negara dan satu kawasan, yaitu Argentina, Australia, Brasil, Kanada, China, Perancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Turki, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.

 

Sebagai tuan rumah FMM tahun ini, Indonesia mengundang 10 negara di luar G20, yakni Ukraina, Spanyol, Belanda, Singapura, Kamboja, Senegal, Suriname, Fiji, Rwanda, dan Uni Emirat Arab.

 

Untuk pertama kalinya, G20 dapat mendudukkan para menlu G20, in person, dalam satu ruangan tanpa insiden. Di ruangan itu ada Menlu AS Antony Blinken dan Menlu Rusia Sergei Lavrov, misalnya, yang sekarang sedang ”bermusuhan” dalam kasus Ukraina. Ada juga Menlu Inggris Elizabeth Truss yang negaranya sangat vokal menentang Rusia dan menyerukan sanksi ekonomi.

 

Bukan keputusan yang mudah, para menlu hadir in person dalam situasi sekarang ini. Hal itu terutama berkait dengan sikap, posisi negara mereka terhadap perang Ukraina.

 

Negara-negara Barat sangat jelas mendukung Ukraina. Ini berarti berhadapan dengan Rusia. Sementara ada yang katakanlah ”berada di sisi” Rusia (meski tidak terang-terangan), seperti China dan India, atas dasar kepentingan nasional mereka.

 

Namun, kunjungan Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia dengan membawa misi perdamaian (setelah menghadiri KTT G7) telah pula meyakinkan negara-negara anggota G20 bahwa Indonesia yang sekarang memegang presidensi sungguh-sungguh mengupayakan perdamaian lewat berbagai forum, termasuk KTT G20.

 

Dengan menemui para pemimpin negara dan para menlu (meski sudah ada undangan resmi) untuk meyakinkan betapa pentingnya KTT G20 untuk pemulihan ekonomi dan perdamaian dunia, mereka merasa tidak hanya dihormati, tetapi juga dibutuhkan.

 

Indonesia selalu berusaha membuat semua negara merasa nyaman untuk berpartisipasi dalam pertemuan apa pun, dengan begitu mereka bisa mendiskusikan berbagai isu yang menjadi perhatian bersama. Ada dua isu utama yang dibahas dalam pertemuan itu, yaitu penguatan multilateralisme serta ketahanan pangan dan energi.

 

Inilah salah satu bukti kepemimpinan (leadership) Indonesia di panggung internasional yang pantas dan layak diapresiasi. Tidak mudah meyakinkan para pemimpin negara untuk menugaskan para menlunya untuk hadir in person. Namun, itu terjadi karena diplomasi cerdas Indonesia.

 

Kita berharap, semoga hal yang sama juga akan terjadi pada puncak KTT G20, 15-16 November mendatang, di Bali.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/19/diplomasi-jokowi-dan-g20

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar