Selasa, 26 Juli 2022

 

Quo Vadis Bahasa Indonesia?

Nuim Khaiyath :  Kepala Siaran Bahasa Indonesia di Radio Australia

CEKNRICEK.COM, 22 Juli 2022

 

 

                                                           

Kita patut sedih bahwa kelarisan Bahasa Indonesia di kalangan para siswa-siswi di Australia sudah sangat menurun. Sebagaimana halnya juga dengan bahasa-bahasa asing lainnya, terutama bahasa-bahasia Asia, seperti Mandarin, Bahasa Jepang dan Bahasa Korea.

 

Namun, akan halnya Bahasa Indonesia herankah kita? Rasanya tidak, mengingat di Indonesia sendiri Bahasa Indonesia sudah begitu dianak-tirikan oleh para pemakainya, terutama di kalangan kelas menak, seperti para pejabat dan wakil rakyat. Termasuk juga para pengamat. Mungkin karena banyak di antara mereka pernah belajar di luar negeri, hingga salah satu cara untuk membuktikan kenyataan itu adalah dengan menggunakan kata-kata asing dalam banyak kesempatan, biarpun ada padanannya dalam Bahasa Indonesia.

 

Secara umum dan keseluruhannya, pemakaian Bahasa Indonesia di Indonesia sendiri memang sudah sangat sembrono, seolah para pemakai bahasa pemersatu Republik Indonesia ini tidak pernah mempelajarinya ketika di sekolah. Saya sendiri kurang paham bagaimana tata cara pengajaran Bahasa Indonesia sekarang ini di sekolah-sekolah.

 

Sejumlah dosen dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia pernah mengeluhkan dalam suatu seminar di Australia bahwa banyak sekali dari para mahasiswa/i yang kurang mampu menulis skripsi dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

 

Dan sekarang dengan begitu menjamurnya sarana pengiriman pesan-pesan singkat, seperti lewat telepon genggam dan sejenisnya, maka bahasa Indonesia yang baik dan benar kian tercabik-cabik dan centang perenang.

 

Di mana Dewan Bahasa Indonesia?

 

Salah satu perkataan asing yang terserap ke dalam Bahasa Indonesia dan langsung menjadi laris adalah "apresiasi" - yang artinya menghargai. Pada hal, perkataan mengapresiasi lebih mubazir dibanding menghargai - mengapresiasi terdiri atas 4 suku kata, menghargai hanya 3 suku kata. Aneh 'kan?

 

Orang suka heran kenapa kota di pesisir barat Amerika Serikat, Los Angeles, lebih sering disingkat menjadi LA, sedangkan kota tenar Amerika Serikat di pesisir timur, New York, disebut New York, bukan NY. Ini karena Los Angeles terdiri atas 4 suku kata, sedangkan New York hanya 2 suku kata, hingga tidak lagi perlu dipersingkat. Di Indonesia, banyak orang meninggalkan perkataan yang lebih hemat dan memungut/meminjam perkataan yang lebih boros. Demi apa?

 

Tidak jarang perkataan asing yang di "Indonesia-kan" itu menyalahi makna aslinya. Seperti "prerogatif" - yang dalam bahasa Inggris (dieja prerogative) berarti "hak khusus". Di Indonesia tanpa malu-malu banyak pejabat dan politisi yang menggunakan perkataan itu dengan didahului perkataan "hak" hingga menjadi "hak prerogatif presiden". Seharusnya cukup prerogatif presiden atau kenapa tidak sekadar hak kepresidenan?

 

Pernah seorang pimpinan sebuah partai politik yang sangat terkemuka di Indonesia, mungkin saking geramnya mendengar banyak tokoh Muslim mengingatkan umat tentang akhirat, menggunakan ungkapan asing (Inggris) "self fulfilling prophecy". Ungkapan itu memang bagus, cuma penggunaannya sama sekali tidak tepat dalam kaitan dengan soal akhirat itu. Namun tidak ada yang berani menggugat. Maklum beliau adalah pimpinan parpol yang sangat terkenal.

 

Banyak surat kabar di Indonesia yang tidak lagi menggunakan nama hari dalam bahasa Indonesia, melainkan Bahasa Inggris. Mungkin saja memang ada kalangan yang kurang berkenan dengan kenyataan bahwa Bahasa Indonesia menyerap banyak perkataan Arab yang kemudian disamakan dengan Islam, khusus dalam istilah-istilah peradilan, dan hari, seperti Senin (itsnin -kedua, selasa - salasa- ketiga dan seterusnya.).

 

Jelas kita menghendaki agar Bahasa Indonesia menjadi bahasa yang hidup dan berkembang, namun bukan dengan cara melupakan perkataan yang sudah ada dan menggantikannya dengan perkataan baru yang dipungut dari bahasa asing.

 

Adakah kenyataan ini merupakan pencerminan dari kerendahan diri kita sebagai bangsa? Mungkinkah kita sudah tidak lagi bangga dengan warisan nenek moyang kita? Mungkinkah kita sudah terlanjur memandang remeh segala yang asli dari kita dan memandang penuh ketakjuban segala yang asing, terutama dari Barat?

 

Ketika berada di Korea Selatan, saya sangat kagum pada kebanggaan bahkan nenek-nenek di negara itu. Setiap kali saya ke pasar-pasar rakyat di ibukota Seoul, misalnya, saya melihat bagaimana nenek-nenek yang menggelar dagangan celana jinsnya di pinggir jalan, dengan bangga menunjuk dengan jempol ke dagangannya itu seraya mengucapkan "Hankook, Hankook" - yang artinya celana-celana tersebut adalah buatan Korea (Selatan), karenanya bagus.

 

Kalau di Indonesia, seorang pedagang lebih mungkin akan meyakinkan kepada kita bahwa dagangannya itu adalah kelas satu karena "buatan luar negeri".

 

Sebelum digugat, saya mohon ma'af karena judul tulisan ini meminjam bahasa Latin Quo vadis (kasarnya 'mau ke mana bahasa Indonesia'?).  Wallahu A'lam.

 

Sumber :   https://ceknricek.com/a/quo-vadis-bahasa-indonesia/32438

Tidak ada komentar:

Posting Komentar