Selasa, 26 Juli 2022

 

Kekerasan terhadap Anak di Keluarga yang Menikah di Usia Anak

Bagong Suyanto : Guru Besar Sosiologi FISIP Universitas Airlangga

KOMPAS, 23 Juli 2022

 

                                                

 

 Kasus pernikahan usia anak di Indonesia masih mencemaskan. Indonesia menduduki peringkat ke-2 di ASEAN dan peringkat ke-8 di dunia untuk kasus perkawinan usia anak. Sekitar 22 dari 34 provinsi di Tanah Air memiliki angka perkawinan usia anak yang lebih tinggi dari rata-rata nasional.

 

Koalisi Perempuan Indonesia (2019) dalam studinya, ”Girls Not Brides”, menemukan bahwa 1 dari 8 remaja putri Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. Berdasarkan data Bappenas (2021), perkawinan usia anak dapat membawa dampak ekonomi yang menyebabkan kerugian ekonomi negara sekitar 1,7 persen dari pendapatan kotor negara (PDB).

 

Dalam berbagai kasus pernikahan usia anak, sering terjadi anak perempuan tiba-tiba harus beradaptasi dengan situasi baru tatkala mereka hamil dan memiliki anak. Tentu hal ini bukan tanpa risiko.

 

Tidak sedikit kasus memperlihatkan, keluarga-keluarga muda yang belum siap secara psikologis untuk menikah dan memiliki anak akhirnya kesulitan ketika harus mengasuh anak dalam usia muda. Anak yang dilahirkan, yang seharusnya disayangi, bukan tidak mungkin justru dianggap sebagai perintang dan beban tersendiri (Lo Camilla et al, 2017).

 

Beban baru

 

Studi yang dilakukan penulis di Provinsi Jawa Timur (2021) menemukan, kalangan ibu muda mengakui, mengasuh anak bukanlah hal yang mudah. Pada saat mereka masih tergolong kanak-kanak dan belum sepenuhnya puas menghabiskan waktu bermain bersama teman-teman, tiba-tiba mereka harus menanggung beban baru sebagai ibu muda yang bertanggung jawab mengasuh anaknya.

 

Daripada bersabar dan mendidik anaknya dengan kasih sayang tanpa kekerasan, tidak jarang sebagian responden memilih jalan pintas. Dari 300 responden yang diteliti, sebanyak 38 persen mengaku terkadang harus membentak anak yang dinilai nakal, dan bahkan 6,7 persen responden mengaku sering membentak anak mereka yang dinilai nakal.

 

Ketika ulah anak sudah dinilai kelewatan, sebanyak 45 persen responden mengaku terkadang mencubit anaknya, dan bahkan sebanyak 16,7 persen responden mengaku sering mencubit anaknya jika dinilai nakal.

 

Studi ini menemukan, sebanyak 21 persen responden mengaku terkadang memukul anaknya kalau dinilai nakal. Sebanyak 5,7 persen responden bahkan mengaku sering terpaksa memukul anaknya kalau mereka sudah kehilangan kesabarannya.

 

Sebagian responden mengaku mereka melakukan tindak kekerasan karena mencontoh cara orangtua mereka dahulu mendidik anak-anaknya. Ketika anak-anak responden melakukan hal yang dinilai baik, sebagian besar responden (49,3 persen) mengaku mereka sering kali memuji anaknya. Sebanyak 16,3 persen responden bahkan mengaku memberi hadiah kepada anak-anaknya yang telah berbuat baik dengan tujuan agar anaknya senang.

 

Ketika anak berulah, tidak jarang orangtua atau mertua responden ikut turun tangan membantu menangani anak responden yang dinilai nakal. Meski sebanyak 48,7 persen responden mengaku orangtua atau mertuanya tidak pernah ikut campur mendisiplinkan anaknya, sebanyak 26,3 persen responden mengaku terkadang orangtua atau mertuanya ikut turun tangan. Bahkan dari 300 responden yang diteliti, 25 persen responden mengaku orangtua atau mertuanya ikut turun tangan mendisiplinkan anaknya jika dinilai anak sudah kelewat batas.

 

Sebagian responden yang memilih jalan pintas, seperti melakukan kekerasan dengan mencubit atau bahkan memukul anaknya yang dinilai nakal, tampaknya berkaitan dengan pola sosialisasi yang dialami responden dari orangtuanya. Menurut pengakuan sebagian besar responden, ketika kecil, mereka juga terbiasa menerima berbagai bentuk abuse dari orangtuanya jika dinilai nakal.

 

Sebanyak 42,3 persen responden mengaku, mereka saat kecil sering mendapatkan cubitan dari orangtuanya ketika dinilai nakal. Sebanyak 11,7 persen responden mengaku sering ditampar orangtuanya jika dirasa kelewat batas. Sebanyak 5 persen bahkan mengaku sering dipukul dengan alat, seperti sapu atau benda lain.

 

Bagi responden yang masih di usia anak, menikah dan kemudian memiliki anak sebetulnya bukan hal yang dicita-citakan. Menikah di usia anak dan kemudian memiliki anak membutuhkan banyak pengorbanan. Sebagian besar responden merasa bahwa memiliki anak membuat mereka kehilangan waktu bermain bersama teman, tidak bisa bekerja di sektor publik, tidak bebas menonton televisi, waktu istirahat berkurang, dan alokasi penghasilan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri juga berkurang.

 

Sebanyak 28,7 persen responden mengaku, sangat terasa bahwa setelah memiliki anak, mereka tidak lagi memiliki waktu untuk bermain bersama teman-temannya. Sebanyak 30 persen responden mengaku terasa waktunya bermain bersama teman berkurang.

 

Sebanyak 19,7 persen responden mengaku sangat terasa bahwa mereka tidak lagi bebas menonton televisi kegemarannya. Sebanyak 17,7 persen responden juga sangat merasa bahwa kini mereka tidak lagi bebas membeli berbagai barang karena harus memikirkan kebutuhan anaknya.

 

Tekanan psikologis

 

Pernikahan yang terjadi dan dialami anak-anak perempuan bukan hanya merupakan pengesahan perkawinan yang menjadi penyebab munculnya berbagai bentuk tindak kekerasan terhadap anak (Durgut & Kisa, 2018), tetapi juga melahirkan rentetan masalah baru berkaitan dengan pola pengasuhan anak-anak mereka. Anak-anak yang menikah umumnya rawan diperlakukan salah dan rawan pula memperlakukan salah anak-anak mereka karena ketidaksiapan sosial-psikologis anak yang tiba-tiba harus menjadi orangtua.

 

Leeson & Suarez (2017) menemukan, di India, anak perempuan kerap kali dipaksa menikah karena kelahiran mereka cenderung tidak dikehendaki, dan karena itu dianggap sebagai beban yang perlu segera dilepaskan kepada orang lain. Sementara itu, studi yang dilakukan penulis menemukan, anak yang dilahirkan dari perkawinan usia anak juga kerap menjadi beban bagi orangtuanya yang masih belia sehingga dalam beberapa kasus memicu tindak kekerasan yang seharusnya tidak dilakukan.

 

Studi yang dilakukan Dworsky & Meehan (2012) menemukan, anak perempuan yang menikah di usia anak merasa tumbuh terlalu cepat dan kehilangan masa remaja. Ibu-ibu remaja ini mengakui bahwa mengasuh anak membuat mereka sangat stres (Dworsky & Meehan, 2012). Stres yang dialami orangtua usia muda ini terjadi umumnya karena kurangnya dukungan sosial dari keluarga, yang ujung-ujungnya akan berdampak negatif terhadap perkembangan anak (Huang, Costeines, Kaufman, & Ayala, 2013).

 

Pelaku tindak kekerasan terhadap anak di kalangan keluarga muda umumnya adalah ibu–ibu muda yang secara sosial-psikologi belum siap mengasuh anak. Meski tidak semua orangtua remaja menganiaya anak mereka, usia ibu muda umumnya dianggap sebagai faktor risiko pada penganiayaan anak (Scannapieco & Connell-Carrick, 2015).

 

Anak yang lahir dari ibu yang belia memiliki risiko substansial untuk ditelantarkan. Di sini latar belakang orangtua yang mendapatkan kekerasan merupakan salah satu faktor yang menentukan bagaimana mereka mengembangkan pola pengasuhan anak ketika menjadi orangtua (Bartlett & Easterbrooks, 2012).

 

Ibu berusia remaja berisiko mengulangi kekerasan yang pernah dialaminya yang dapat memungkinkan terjadinya penelantaran anak, dan deskripsi latar belakang masa kecil sangat esensial untuk memahami berulangnya kekerasan (Bartlett & Easterbrooks, 2012).

 

Menurut studi Valentino, Nuttall, Comas, Borkowski, & Akai (2012), tindak kekerasan kepada anak yang terjadi di kalangan keluarga muda bersifat kontinu dan diwariskan dari generasi sebelumnya. Pengaruh tindak kekerasan yang terjadi di masyarakat (community violence) dan pola pengasuhan yang otoriter dievaluasi sebagai prediktor dari kekerasan atau penganiayaan terhadap anak. Ibu-ibu yang memiliki riwayat pelecehan anak, paparan terhadap kekerasan masyarakat yang tinggi, dan pola pengasuhan yang otoriter berkaitan dengan peningkatan risiko pelecehan atau penganiayaan anak antargenerasi.

 

Anak yang menikah di usia anak dalam beberapa hal rawan mengalami tekanan psikologis. Berbagai masalah yang dialami anak perempuan yang terpaksa menikah di usia anak sering diperburuk oleh kerentanan sosial dan kondisi ekonomi anak-anak yang ujung-ujungnya membuat opsi pilihan kehidupan anak menjadi terbatas (Mikhail, 2002).

 

Bagi anak perempuan yang beruntung, meski menikah di usia anak, mereka mungkin tidak harus menghadapi banyak masalah dalam pernikahan karena dibantu orangtua atau mertuanya dalam pengasuhan anak-anaknya. Tetapi, bagi pasangan keluarga inti, ketika mereka harus hidup mandiri, bukan tidak mungkin mereka menanggung beban yang berat ketika harus mengasuh anak-anaknya sendirian.

 

Selain berisiko terjerumus melakukan tindak kekerasan pada anak-anaknya, orangtua muda yang memiliki anak juga berisiko menghadapi kemungkinan perilaku deviant anak-anaknya sendiri ketika tumbuh menjadi remaja. Tidak hanya mengalami depresi dan kecemasan, anak yang dibesarkan dalam keluarga muda yang sarat dengan tindak kekerasan umumnya lebih berisiko bersikap agresi, antisosial, dan perilaku yang mengganggu lainnya (Dhayanandhan, Bohr, & Connolly, 2014).

 

Pelampiasan

 

Pernikahan usia anak tidak hanya melahirkan berbagai masalah bagi anak perempuan dan keluarganya, tetapi juga memunculkan persoalan baru menyangkut pola pengasuhan anak-anak yang dilahirkan di lingkungan keluarga belia. Keluarga yang menikah di usia anak tidak hanya rentan secara ekonomi, tetapi juga mengidap masalah tentang kesiapan sosial-psikologis ibu-ibu belia dalam mengasuh anaknya dengan benar.

 

Kajian penulis di Jawa Timur menemukan, anak-anak yang lahir di kalangan keluarga belia terkadang menjadi korban penelantaran dan kekerasan orangtuanya. Peran suami cenderung masih terpengaruh oleh ideologi patriarkis, dengan pembagian kerja dalam keluarga masih menempatkan perempuan sebagai sosok yang bertanggung jawab melaksanakan berbagai pekerjaan domestik rumah tangga. Akibatnya, ibu-ibu muda yang tak kuat menanggung beban tugas-tugas domestik pengasuhan anak pun terjerumus melakukan tindak kekerasan untuk mendisiplinkan sekaligus sebagai bentuk pelampiasan atas beban yang ditanggungnya.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/21/kekerasan-terhadap-anak-di-keluarga-yang-menikah-di-usia-anak

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar