Selasa, 26 Juli 2022

 

Dari Drama ke Drama

Budiman Tanuredjo :  Wartawan Senior Kompas

KOMPAS, 23 Juli 2022

 

                                                

 

 Dunia hukum Jakarta terasa begitu pengap. Misteri tewasnya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, Jumat 8 Juli 2022, belum terungkap. Padahal, sudah dua minggu kasus itu jadi perbincangan publik. Presiden Joko Widodo dua kali mengingatkan Polri agar kasus itu dibuka apa adanya. ”Tak perlu ditutup-tutupi,” tegas Presiden Jokowi.

 

Cerita bervariasi. Variasi cerita berkembang di media sosial. Tak bisa dibedakan lagi mana fakta, makna fiksi, mana halusinasi. Siapa korban, siapa saksi. Semuanya kabur atau sengaja dikaburkan. Kisah Bhayangkara Dua (Bharada) E, yang dikonstruksikan Polri terlibat tembak-menembak dengan Brigadir J, sosoknya tidak pernah muncul ke publik.

 

Entah sampai kapan drama ”Duren Tiga” akan berakhir. Apakah akan berseri-seri seperti sinetron di televisi? Langkah cepat kepolisian meningkatkan kasus tewasnya Brigadir J ke penyidikan merupakan sinyal positif, meski publik belum tahu kasus apa dan kasus mana yang ditingkatkan ke penyidikan. Tinggal menunggu siapa yang bakal jadi tersangka.

 

Drama Duren Tiga seperti menggantikan drama gratifikasi Mandalika dengan aktor Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar. Lili menulis surat pengunduran diri sebagai Wakil Ketua KPK kepada Presiden Jokowi ketika Dewan Pengawas KPK akan menyidangkannya dalam dugaan pelanggaran etik. Presiden mengabulkan pengunduran diri. Dewan Pengawas KPK menggugurkan persidangan etik. Alasannya, Lili sudah bukan lagi insan KPK. Namun, apakah benar Lili menerima gratifikasi berupa tiket dan akomodasi untuk menonton MotoGP di Mandalika, belum terkonfirmasi karena Dewas menggugurkan kasus itu. Ibarat sebuah serial sinetron, kisah ini belum the end.

 

Semuanya dibiarkan menggantung!

 

Drama di republik ini terus berganti-ganti. Ada pula kisah di Mahkamah Konstitusi yang memunculkan rivalitas sunyi di kalangan hakim konstitusi untuk memperebutkan posisi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Hakim MK saling bersaing untuk menjadi Ketua MK. Ini dampak dari revisi UU MK dan putusan uji materi UU MK oleh MK sendiri. MK memutuskan pemilihan Ketua MK akan dilakukan paling lambat sembilan bulan setelah putusan.

 

Seorang budayawan Yogya mengirim pesan kepada saya. ”Kok ketulo-tulo terus negara ini,” tulisnya. Ia prihatin dengan keadaan negeri ini. Ketulo-tulo istilah dalam bahasa Jawa bisa dimaknai bangsa ini terus saja dirundung masalah. Dalam kepengapan situasi seperti saat ini, saya teringat pada slogan politik ”Lebih Cepat Lebih Baik”. Slogan itu digunakan Jusuf Kalla dalam kampanye presiden tahun 2009.

 

Masalah yang muncul ke permukaan memang harus dihadapi dan diselesaikan. Semakin lama drama Duren Tiga tak kunjung berakhir, semakin liar pula spekulasi berkembang. Semakin lama pengungkapan kasus itu tak diselesaikan, semakin kencang pula proses delegitimasi terhadap lembaga kepolisian.

 

Perasaan bercampur aduk ketika membaca berita, pengacara keluarga korban Brigadir J meminta otopsi ulang terhadap jenazah brigadir dengan melibatkan dokter independen dan dokter dari matra TNI. Apakah ini indikasi ketidakpercayaan pada dokter yang sebelumnya menangani?

 

Langkah cepat guna menjawab misteri tewasnya Brigadir J dibutuhkan untuk menghentikan delegitimasi dan dekonstruksi berkelanjutan pada lembaga kepolisian. Setelah proses delegitimasi bisa dihentikan dengan keterbukaan dan kejujuran, rekonstruksi kelembagaan bisa dilakukan. Sebagaimana dikatakan Presiden Jokowi, kepercayaan rakyat terhadap polisi harus dijaga!

 

Penataan kembali juga perlu dilakukan di KPK. Kekosongan posisi Wakil Ketua KPK perlu diisi dengan sosok yang bisa memulihkan kepercayaan publik terhadap KPK. Namun, duduk soal kasus Lili Siregar juga harus diperjelas. Begitu juga di Mahkamah Konstitusi. Mengagendakan pemilihan Ketua MK sembilan bulan sejak putusan diucapkan terasa terlalu lama. Belum lagi Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi juga belum terbentuk.

 

Hakim konstitusi Wahiduddin Adams dalam pertimbangannya menulis, langkah MK menguji perpanjangan masa jabatan hakim MK menjadi 15 tahun atau hingga usia 70 tahun telah membuat situasi tidak nyaman di MK. Terjadi suasana yang sangat kalkulatif sehingga di antara sesama hakim konstitusi, baik diakui secara eksplisit maupun tidak, cenderung mengambil sikap saling menunggu (wait and see) serta penuh harap dan pamrih (full of stake) terhadap pilihan sikap dari hakim konstitusi lainnya.

 

Mengutip pandangan Richard A Posner pada buku How Judges Think, Wahiduddin Adams menulis, tendensi semacam ini secara proporsional memang dinilai manusiawi karena hakim yang notabene juga manusia biasa secara alamiah merupakan homo economicus (makhluk yang senantiasa berhitung/kalkulatif), tetapi dalam lanjutan narasinya,

 

Richard A Posner mengemukakan bahwa tendensi semacam ini sangat berbahaya bagi keberlangsungan jaminan supremasi hukum dan konstitusi, sebab independensi dan imparsialitas hakim seharusnya juga senantiasa terjaga, termasuk dari pengaruh koleganya, dalam semangat dan prinsip kolegialitas.

 

Gejala pengeroposan atau ”pembusukan” institusi di dalam lembaga penegak hukum perlu dihentikan dan ditata ulang. Keprihatinan budayawan di Yogyakarta bahwa negara ini kok ketulo-ketulo perlu dijawab dengan slogan yang pernah digunakan Jusuf Kalla: lebih cepat lebih baik, agar bangsa ini tidak terus tersandera dengan berbagai drama, sementara bayangan kesulitan ekonomi di depan mata. Berbagai drama terjadi menyampaikan sebuah pesan hilangnya nilai kejujuran di negeri ini!

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/22/dari-drama-ke-drama

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar