Senin, 25 Juli 2022

 

Menggagas Pedoman Uji Kelayakan dan Kepatutan Pejabat Negara

Ibnu Syamsu Hidayat : Advokat Themis Indonesia Law Firm

KOMPAS, 20 Juli 2022

 

                                                

 

 Bertubi-tubi tidak kunjung selesai. Istilah yang mungkin layak disematkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi beberapa tahun ke belakang ini. Rentetan masalah panjang seakan terus menimpa, mulai dari masalah revisi UU KPK hingga masalah tes wawasan kebangsaan alih status pegawai, merosotkan kepercayaan masyarakat terhadap KPK.

 

Bahkan, komisioner yang dinilai memiliki integritas dan moral baik pun telah tercoreng. Dewan Pengawas KPK telah menyidangkan dua perkara etik yang pelakunya adalah komisioner KPK berkaitan dengan perilaku mewah dan berhubungan langsung dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani KPK.

 

Persoalan etik yang menimpa komisioner KPK tersebut sepertinya bukan soal permasalahan individu seorang komisioner. Di balik masalah etik tersebut, terdapat persoalan serius yang dibangun secara sistematis dan terstruktur.

 

Kilas balik

 

Sebelum terjadi revisi UU KPK, tercatat banyak sekali pihak yang melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan UU KPK dan UU Tindak Pidana Korupsi. Titik awal pelemahan KPK dimulai dari putusan MK yang inkonsisten. Hal ini dapat diketahui dari beberapa putusan MK yang antarputusan saling bertentangan tentang keberadaan atau kedudukan KPK dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.

 

Inkonsistensi ini dapat dilihat dari Putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 dan Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011, di mana MK menempatkan KPK sebagai lembaga kekuasaan kehakiman (yudikatif). Kemudian, hal itu berubah.

 

Putusan Nomor 133/PUU-VII/2009 dan Putusan Nomor 37-39/PUU-VIII/2010 MK menempatkan KPK sebagai lembaga negara yang bersifat independen tanpa menempatkan KPK sebagai bagian dari salah satu cabang kekuasaan negara. Dan tafsir terakhir, MK melalui Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 justru menempatkan KPK sebagai lembaga yang berada di ranah eksekutif.

 

Tafsir baru KPK sebagai lembaga negara yang berada di ranah eksekutif inilah yang kemudian digunakan pembentuk undang-undang sebagai alasan sinkronisasi atau integrasi putusan MK sehingga perlu merevisi UU KPK.

 

Tahun 2019 dapat digunakan sebagai tanda praktik legislasi yang ngeyel. Pembentuk undang-undang terus membahas dan mengesahkan revisi UU KPK walaupun mendapatkan penolakan besar-besaran dari publik.

 

Masalah uji kelayakan dan kepatutan

 

Kembali pada persoalan integritas komisioner KPK. Sebenarnya dalam syarat sebagai calon pemimpin KPK Nomor 07/PANSEL-KPK/05/2019 tentang Seleksi Calon Pimpinan KPK Masa Jabatan 2019-2023, persyaratan poin g mengatur bahwa seorang calon pemimpin KPK harus cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik.

 

Yang menjadi pertanyaan, mengapa setelah menjadi pemimpin KPK terdapat komisioner atau pemimpin yang melanggar integritas? Apa yang salah dari perekrutan komisioner KPK?

 

Pertama, perilaku tim hore, biasanya setiap calon pemimpin KPK memiliki tim hore masing-masing. Tim hore ini biasanya terdiri dari kawan, kolega organisasi saat di kampus atau di pekerjaan, atau orang kepercayaan calon.

 

Mereka bertugas menemui dan melobi tokoh-tokoh, seperti tokoh ormas keagamaan dan tokoh-tokoh di partai politik yang dinilai memiliki pengaruh dalam uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di Komisi III DPR nanti.

 

Kedua, selain tim hore yang melakukan praktik lobi guna pemenangan calon masing-masing, partai politik di Komisi III DPR juga tidak jauh dari praktik lobi ini. Partai politik memiliki jagoan masing-masing sehingga mereka harus melakukan lobi-lobi dengan partai lain sehingga dapat menyetujui satu paket mana yang akan mereka pilih sebagai komisioner KPK.

 

Fenomena saling lobi yang dilakukan oleh tim hore ataupun partai politik ini yang kemudian berpotensi mengabaikan integritas calon pemimpin KPK. Komisi III DPR berpotensi tidak lagi mempertimbangkan soal rekam jejak, tetapi berdasarkan pertimbangan politik, seperti karena loyalitas politik ataupun kedekatan tertentu saja.

 

Pedoman baku

 

Uji kelayakan dan kepatutan merupakan tahapan yang harus dilalui oleh calon pemimpin yang akan menduduki sebuah jabatan. Melalui fit and proper test inilah seorang calon dianggap layak dan patut untuk menjadi pemimpin di lembaga negara.

 

Dalam uji kelayakan dan kepatutan di DPR, perlu ada peraturan khusus yang mengatur tentang penyelenggaraan uji kelayakan dan kepatutan ini. Peraturan tersebut diharapkan mampu digunakan sebagai pedoman baku di setiap penyelenggaraan uji kelayakan dan kepatutan pemimpin lembaga negara, seperti persyaratan, tata cara, penyelenggaraan, substansi, standar hasil, dan konsep pelaksanaan. Kejelasan pengaturan tersebut dapat memperkecil intervensi dari kelompok kepentingan.

 

Selain itu, fit and proper test ke depan juga harus dilakukan dengan cara memperkuat peran dan keterlibatan masyarakat sehingga meneguhkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Dengan demikian, saat melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon pemimpin lembaga negara, anggota DPR telah memiliki bekal pertanyaan guna mendalami rekam jejak, pengetahuan, dan integritas calon pemimpin lembaga negara.

 

Sebagai penutup, dengan adanya peraturan perundang-undangan khusus penyelenggaraan uji kelayakan dan kepatutan, terdapat keseragaman dan kejelasan tentang substansi dan tata cara penyelenggaraan uji kelayakan dan kepatutan.

 

Hal itu juga menumbuhkan partisipasi masyarakat terlibat di dalam kegiatan uji kelayakan dan kepatutan sehingga pemimpin lembaga negara tidak ada yang cacat moral dan minim integritas.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/17/menggagas-pedoman-fit-and-proper-test-pejabat-negara

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar