Selasa, 26 Juli 2022

 

Pendekatan Humanistis dalam Penegakan Hukum di Indonesia

St Burhanuddin :  Jaksa Agung Republik Indonesia

JAWA POS, 22 Juli 2022

 

 

                                                           

TOLOK ukur keberhasilan suatu negara dengan konsepsi negara hukum adalah keberhasilan dalam penegakan hukumnya. Dikatakan berhasil apabila hukum ditegakkan sesuai aturannya, begitu pun sebaliknya. Kurang optimalnya kepatuhan terhadap regulasi akan berimplikasi terhadap kredibilitas para pembentuk dan pelaksana aturan serta semua subjek norm adressat pemberlakuan aturan tersebut.

 

Presiden Joko Widodo dalam arahannya pernah menyampaikan bahwa kejaksaan adalah institusi terdepan dalam penegakan hukum dan pengawal kesuksesan pembangunan nasional. Kiprah kejaksaan adalah wajah pemerintah dalam kepastian hukum baik di mata rakyat dan internasional. Penegakan hukum pada prinsipnya memberikan keadilan untuk seluruh lapisan masyarakat.

 

Namun, tidak dapat dimungkiri, penegakan hukum di Indonesia masih belum optimal dalam memberikan perlindungan hukum dan akses keadilan bagi rakyat kecil. Oleh karena itu, kejaksaan merespons realitas tersebut dengan menerbitkan kebijakan yang concern atau berpihak kepada rakyat kecil yang berhadapan dengan hukum utamanya untuk kasus-kasus ringan.

 

Dalam kurun satu dekade terakhir, ada sejumlah kasus ringan yang menyita perhatian publik. Sebut saja pencurian tiga biji kakao, getah karet, dan sandal jepit yang nilai kerugiannya hanya belasan ribu rupiah. Jika ditilik dari perspektif kepastian hukum, para pelaku telah memenuhi unsur-unsur pencurian Pasal 362 KUHP. Sehingga secara legal formal terhadap pelaku ”harus” dimintakan pertanggungjawaban pidananya. Namun, saat itu masyarakat berpendapat lain. Mereka menginginkan adanya diskresi agar hukum dapat diterapkan secara fleksibel, tidak kaku. Sebab, pada dasarnya tujuan hukum selain keadilan dan kepastian hukum adalah kemanfaatan hukum. Kondisi penegakan hukum tersebut diperparah dengan rendahnya hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor sehingga masyarakat tergerak, sepakat untuk melabeli penegakan hukum di Indonesia: ”tumpul ke atas, tajam ke bawah”.

 

Sebagaimana negara yang pernah menerapkan asas konkordansi, aturan-aturan kolonial pada masa lalu sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat modern. Corak penghukuman atau retributif di berbagai belahan negara sudah mulai ditinggalkan karena dianggap telah usang dan tidak mengakomodasi kebutuhan hukum masyarakat. Karena selain tidak mengurangi jumlah pelaku tindak pidana, juga menambah keruwetan dalam sistem pemasyarakatan, termasuk overload di semua lembaga pemasyarakatan.

 

Bertolak dari permasalahan yang timbul, dalam Kongres PBB Ke-9 Tahun 1995 ”The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders” (dokumen A/CONF.169/16) diungkapkan perlunya semua negara untuk mempertimbangkan ”privatizing some law enforcement and justice functions” dan ”alternative dispute resolution” berupa mediasi, konsiliasi, restitusi, dan kompensasi dalam tahapan penegakan hukum untuk menjawab masalah yang ditimbulkan dari keadilan retributif.

 

Berdasar hal tersebut, diperlukan ”solusi lain” yang lebih membumi dan humanistis dalam mengentaskan persoalan penegakan hukum. Yakni dengan memberikan kesempatan kepada korban tindak pidana untuk tidak hanya menerima putusan hakim, tapi juga memperjuangkan nasibnya untuk mencapai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum. Caranya, dengan mendudukkan pihak yang beperkara dalam satu forum pemecahan masalah dengan dimediatori aparat penegak hukum. Untuk itu, merupakan tugas aparat penegak hukum, termasuk Kejaksaan Republik Indonesia (RI) bersama-sama dengan stakeholders lainnya, mencari suatu (solusi) alternatif terbaik dalam penegakan hukum di Indonesia dengan tetap memperhatikan kebijakan yang telah dicanangkan oleh pemerintah dalam RPJMN 2020–2024.

 

Pendekatan Humanisme dalam Hukum

 

Hukum dan humanisme bagai dua sisi mata uang. Keduanya terikat satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Meminjam pendapat Satjipto Rahardjo yang mencetuskan teori hukum progresif, menyatakan bahwa ”hukum itu diciptakan untuk manusia, bukan sebaliknya”. Dari pendapat tersebut dapat digarisbawahi, hukum diciptakan adalah dalam rangka menjaga tatanan hidup manusia dalam semua lini kehidupannya yang pada akhirnya demi mewujudkan masyarakat madani.

 

Secara terminologis, humanisme merupakan paham yang memosisikan manusia sebagai pusat dari kehidupan. Sedangkan dalam arti filsafat, humanisme memandang manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang bermartabat luhur, mampu menentukan nasib sendiri, dan dengan kekuatan sendiri mampu mengembangkan diri. Filsafat humanisme ini bukan barang baru. Ia sudah lahir sejak zaman renaisans di Italia pada pertengahan abad ke-14. Pada masa itu, filsafat humanisme merupakan penggerak perkembangan kebudayaan modern di Eropa.

 

Dari perspektif ideologis, humanisme memiliki nilai penting karena menjadi paham yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan martabat manusia. Manusia dipandang menempati posisi yang sangat tinggi, sentral, dan penting, baik dalam perenungan teoretis-filsafati maupun dalam praktis kehidupan sehari-hari.

 

Dalam konteks Indonesia, humanisme memiliki tiga landasan fundamental. Sebab, pada dasarnya humanisme tersebut ditarik dari fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan. Yaitu: pertama, manusia merupakan tujuan akhir dari penciptaan. Kedua, manusia sebagai mikrokosmos yang dalam istilah Jawa disebut ”jagat cilik”. Dan ketiga, manusia sebagai cermin Tuhan di muka bumi. Pendapat beliau seolah menegaskan paham humanisme yang berkembang di masa lalu, tidak lekang dan masih sesuai untuk diterapkan di masa kini, khususnya dalam penegakan hukum yang lebih ”memanusiakan manusia”.

 

Perlu dipahami, hukum yang humanistis adalah hukum yang berlandasan pada nilai-nilai kemanusiaan, moral, dan etika yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Hal itu selaras dengan pendapat Von Savigny sebagaimana dikutip oleh Moeljatno yaitu ”das recht ist und wird mit dem volke”. Hukum itu hidup dan tumbuh bersama-sama dengan rakyat (Moeljatno, 1985:2). Sehingga idealnya, hukum ditegakkan untuk kepentingan manusia, tidak menjadikan manusia sebagai objek hukum.

 

Penegakan hukum di Indonesia memiliki beberapa kelemahan. Salah satunya adalah dengan menempatkan hukum sebagai subjek, sedangkan manusia adalah sebagai objek dalam penegakan hukum. Hal itu mengakibatkan hukum yang ditegakkan adalah sesuai dengan apa yang diatur (as-is) tanpa memandang apa yang manusia butuhkan seperti yang diajarkan dalam humanisme yang menjadikan manusia sebagai subjek. Sehingga manusia dapat menentukan apa yang benar-benar mereka butuhkan dalam penegakan hukum.

 

Pilihan Pendekatan Humanistis dalam Keadilan Restoratif

 

Nilai luhur bangsa Indonesia adalah menghargai nilai yang hidup dalam masyarakat, salah satunya ialah memanusiakan manusia, nguwongke wong (Jawa), ngamanusakeun manusa (Sunda), ngeuwongke uwong (Palembang), atau sipakalebbi (Bugis). Nilai tersebut merupakan cerminan humanis yang seharusnya dijadikan acuan dalam penegakan hukum sehingga tujuan hukum dapat terwujud. Pendekatan hukum humanistis pada prinsipnya memperhatikan keadilan dari dua aspek, yaitu dari sisi pelaku kejahatan serta perlindungan terhadap hak-hak korban (ganti rugi, restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi) yang selama ini kiranya kurang diperhatikan dalam proses penegakan hukum, khususnya hukum pidana.

 

Manusia sebagai animal educandum sekaligus animal educandus akan terus belajar dalam mencari jawaban atas permasalahan yang dihadapi, termasuk dalam penegakan hukum. Setelah menjalani trial and error, penegakan hukum yang humanistis saat ini menjadi primadona dalam penegakan hukum di Indonesia.

 

Keadilan restoratif menjadi solusi dalam penegakan hukum yang humanistis dianggap lebih pas diterapkan dalam penegakan hukum di Indonesia. Karena memberikan ruang bagi para pihak yang beperkara dalam melaksanakan musyawarah untuk mufakat dalam penyelesaian perkara pidana dengan menempatkan aparat penegak hukum dalam tahapan mediasinya. Untuk keperluan itu, mufakat yang dicapai dianggap lebih sesuai dengan keinginan korban tindak pidana yang selama ini sebagian hak atau kepentingannya diambil oleh negara dan diwakilkan kepada penuntut umum. Sehingga korban harus menerima apa pun putusan hakim dari tahapan tersebut. Begitu pula terdakwa yang pada akhirnya akan menjalani pidana karena hukum ditegakkan secara legal formal.

 

Pendekatan keadilan restoratif yang digaungkan pada 1977 oleh Albert Eglash tersebut menitikberatkan pada prinsip restitutif dengan cara melibatkan korban dan pelaku dalam proses yang bertujuan untuk mengamankan reparasi bagi korban dan rehabilitasi pelaku. Pendekatan hukum dengan pendekatan keadilan restoratif dianggap paling membumi dan humanistis dibandingkan dengan pendekatan retributif dan distributif yang dijelaskan Eglash.

 

Dalam hukum Indonesia, konsep restorative justice sudah dikenal dalam hukum adat. Pranata adat yang digunakan adalah community reparation boards (tetua adat) and citizen’s panel (perwakilan masyarakat). Konsep mediasi ini diadopsi menjadi falsafah bangsa dalam sila ke-4: ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.

 

Sebagai jawaban atas keresahan masyarakat yang mendambakan hukum yang humanistis, pada peringatan Hari Bhakti Adhyaksa Ke-60 tahun 2020, kejaksaan menerbitkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Melalui aturan ini, diharapkan kejaksaan dapat menyeimbangkan antara aturan yang berlaku (rechtmatigheid) dan interpretasi yang bertumpu pada tujuan atau asas kemanfaatan (doelmatigheid). Ketika suatu perkara dihentikan penuntutannya atau dilanjutkan ke pengadilan, diharapkan akan memiliki dampak yang dapat menghadirkan keadilan secara lebih dekat dan memberikan kemanfaatan kepada seluruh pihak.

 

Meski demikian, tidak semua tindak pidana dapat diselesaikan dengan mekanisme restoratif, dalam beleid ini, ditentukan pelaksanaannya. Yaitu: pertama, tersangka baru kali pertama melakukan tindak pidana. Kedua, tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun. Dan ketiga, tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Perlu dipahami, keadilan restoratif merupakan bentuk diskresi penuntutan (prosecutorial discretion) oleh penuntut umum yang merupakan pengejawantahan asas dominus litis.

 

Berkaitan dengan pelaksanaan penghentian penuntutan keadilan restoratif oleh Kejaksaan RI, sejak tahun 2020 hingga Juli 2022 terdapat 1.361 perkara yang diselesaikan melalui keadilan restoratif di seluruh Indonesia dengan perincian 192 perkara pada tahun 2020, 388 pada tahun 2021, dan 781 hingga Juli tahun 2022. Sebagai kelanjutan dari perwujudan keadilan restoratif, kejaksaan juga telah meluncurkan Rumah Restorative Justice (RJ) pada 16 Maret 2022. Pembentukan Rumah RJ menjadi sarana penyelesaian perkara di luar persidangan (afdoening buiten process) sebagai alternatif solusi memecahkan permasalahan penegakan hukum dalam perkara tertentu. Yakni yang belum dapat memulihkan kedamaian dan harmoni dalam masyarakat seperti sebelum terjadinya tindak pidana.

 

Sampai dengan 7 Juli 2022 sudah terbentuk 848 Rumah RJ di seluruh Indonesia. Hal itu diapresiasi positif oleh masyarakat, yang mana di dalam hasil survei yang dirilis oleh Indikator Politik Indonesia (IPI) bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap kejaksaan mencapai 74,5 persen.

 

Akhirnya, pendekatan humanistis ini selaras dengan cita-cita hukum yang mengutamakan kepentingan masyarakat serta tidak sekadar melihat keadilan secara positivistik, tetapi lebih mengedepankan asas kemanfaatan. Mengingat, hadirnya hukum untuk menyeimbangkan kehidupan masyarakat. Hal demikian sesuai dengan asas yang dikenal ”restitutio in integrum” yang artinya hukum hadir untuk mengembalikan masyarakat pada keadaan semula yang tenteram demi tercapainya keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum yang humanistis. Serta mengedepankan rasa kemanusiaan guna mengejawantahkan ”hukum yang tegas ke atas dan humanistis ke bawah”.

 

Sumber :   https://www.jawapos.com/opini/22/07/2022/pendekatan-humanistis-dalam-penegakan-hukum-di-indonesia/

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar