Senin, 25 Juli 2022

 

Antara Brotoseno, Sambo, dan Plato

Ade Alawi: Dewan Redaksi Media Group

MEDIA NDONESIA 19 Juli 2022

 

                                                

 

SOSOKNYA tenang bin kalem. Tidak grasah-grusuh. Tidak pula penuh drama. Guru seni rupanya saat di SMAN 8 Yogyakarta, Suhardi, mengatakan sosoknya tak pernah banyak tingkah. Tak pernah pula terpancing provokasi teman-temannya dalam pergaulan ala remaja di Kota Gudeg. Prestasinya saat di sekolah membanggakan, selalu masuk lima besar siswa berprestasi. Itulah sosok Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

 

Harapan mengubah potret buram Polri berada di pundaknya. Saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR, Rabu, 20 Januari 2021, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri ini menawarkan 16 program prioritas dan 8 komitmen jika terpilih menjadi Kapolri. Listyo mengajukan konsep ‘Presisi’ kepolisian masa depan. Presisi ialah singkatan dari prediktif, responsibilitas, transparansi, berkeadilan. Semua program dan komitmen sang jenderal tertuang dalam makalahnya berjudul Transpormasi Polri yang Presisi. Dia juga bertekad menghapus anggapan publik bahwa hukum tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Para wakil rakyat yang mengujinya pun puas. Semua tepuk tangan. Keren!

 

Listyo layak diacungi jempol. Mantan ajudan Presiden Joko Widodo ini ialah Kapolri termuda di Indonesia. Lulusan Akademi Kepolisian tahun 1991 ini menjabat posisi puncak di Bhayangkara dalam usia 51 tahun. Lebih muda dari pendahulunya, Jenderal Tito Karnavian.

 

Saat menjabat Kabareskrim, Listyo menorehkan keberhasilan, seperti menangkap terpidana kasus Bank Bali Djoko Tjandra yang buron selama 11 tahun. Tak hanya itu, jenderal kelahiran Ambon, Maluku, 5 Mei 1969 ini juga membongkar praktik suap terkait pelarian Djoko Tjandra yang melibatkan Kadiv Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan Karo Korwas PPNS Bareskrim Polri Prasetijo Utomo.

 

Tak lama setelah menjabat Kapolri, Listyo juga melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo untuk merekrut 56 pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai aparatur sipil negara (ASN) di Komisi Pemberantasan Korupsi, sebagai ASN di lingkungan Polri. Mantan Kapolda Banten ini akhirnya melantik 44 orang eks pegawai KPK sebagai ASN di Polri. Pelantikan Novel Baswedan Dkk ini dilakukan bertepatan dengan momentum Hari Antikorupsi Se-Dunia.

 

Kini, Polri Presisi terus mengalami ujian. Setelah kasus AKB Raden Brotoseno, terpidana kasus suap sebesar Rp1,9 miliar dalam perkara korupsi cetak sawah di Ketapang, Kalimantan Barat, pada 2016. Ia dijatuhi hukuman 5 tahun penjara dan dinyatakan bebas bersyarat pada Februari 2020.

 

Semula sidang komisi etik yang dilakukan Oktober 2020 tidak memecat Brotoseno, tetapi malah melindunginya dengan alasan mantan penyidik KPK ini berprestasi. Sebuah alasan yang melecehkan akal sehat publik. Keruan saja publik berang. Polri jadi bulan-bulanan. Jurus no viral no justice (tak ada keadilan jika belum viral) menjadi senjata warganet untuk melancarkan protes. Akhirnya, Kapolri menerbitkan regulasi peninjauan kembali keputusan komisi etik. Hasilnya, Brotoseno dipecat dengan tidak hormat. Inilah pertama kali Polri menganulir hasil sidang Komisi Etik.

 

Kali ini Polri Presisi mengalami ujian yang tak kalah hebatnya dalam kasus tembak-menembak sesama anggota Polri, yakni Brigadir J dan Bharada E, di rumah Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Irjen Ferdy Sambo. Peristiwa itu tepatnya terjadi di rumah singgah Ferdy Sambo yang berada di Kompleks Polri daerah Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Barat, Jumat (8/7) pukul 17.00 WIB. Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat selaku pramudi dan orang yang ditugaskan mengamankan istri Kadiv Propam tewas dalam peristiwa itu. Brigadir J diduga melakukan pelecehan kepada istri Kadiv Propam sehingga memicu kontak senjata dengan Bharada E yang mengetahui pelecehan tersebut.

 

Sejumlah kejanggalan menyeruak dalam peristiwa yang menyedot perhatian publik tersebut, misalnya saja, kenapa ada jeda tiga hari rilis oleh polisi ke publik sejak kejadian. Keanehan lainnya warga yang tinggal di kompleks perumahan tersebut, termasuk Ketua RT setempat tidak mengetahui atau mendengar ada kontak senjata dengan jumlah peluru yang dimuntahkan sebanyak 12 peluru. Dari jumlah itu, 5 peluru menembus tubuh Brigadir J. Belum lagi keterangan antara keluarga korban dan polisi tentang luka-luka dalam tubuh korban saling bertentangan.

 

Tak hanya kalangan civil society yang mencium seabrek kejanggalan. Menko Polhukam Mahfud MD juga mengendus kejanggalan tersebut. Presiden Jokowi meminta kasus itu dibuka seterang-terangnya ke publik. “Tuntaskan! Jangan ditutupi, terbuka. Jangan sampai ada keraguan dari masyarakat,” kata Jokowi saat bertemu pemimpin redaksi nasional di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (13/7). Alhasil, Kapolri membentuk Tim Gabungan yang dipimpin oleh Wakil Kepala Kepolisian Negara Repubik Indonesia (Waka Polri) Komjen Gatot Eddy Pramono dengan melibatkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

 

Kasus penembakan Brigadir J tentu pertaruhan besar bagi Polri, termasuk ujian bagi Polri Presisi, mengingat atensi yang sangat besar bagi publik. Hukum tidak semata mengejar kepastian hukum (rechmatigkeit), tetapi keadilan yang merupakan tujuan paling luhur dari penegakan hukum. Plato mendefinisikan keadilan sebagai the supreme virtue of the good state (kebajikan tertinggi dari negara yang baik). Jika keadilan dipermainkan oleh segelintir orang, bisakah kita menilai bahwa negara ini baik-baik saja? Tabik!

 

Sumber :   https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/2506-antara-brotoseno-sambo-dan-plato

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar