Senin, 25 Juli 2022

 

Menolak Warisan Pembelahan 2019

Fathorrahman Ghufron:   Wakil Katib PWNU Yogyakarta; Wakil Dekan Kemahasiswaan dan Kerja Sama Fakultas Saintek UIN Sunan Kalijaga

KOMPAS, 20 Juli 2022

 

                                                

 

 Dalam buku Democracies Divided: The Global Challenge of Political Polarization (2019), Warburton yang menyumbang tulisan tentang ”Polarization and Democratic Decline in Indonesia” menjelaskan terjadinya peningkatan praktik pembelahan (polarization) di Indonesia sejak tahun 2014, 2017, dan mencapai eskalasinya yang sangat mendalam di tahun 2019. Salah satu pemicu praktik pembelahan adalah penggunaan identitas agama oleh para kontestan yang berlaga dalam pemilihan umum (pemilu), baik di level nasional maupun daerah.

 

Masih segar dalam ingatan kita dua tagline ”kampret dan cebong” yang digunakan oleh para kontestan untuk mendiskreditkan antar-pendukung menjadi sebuah repertoar peyorifikasi yang kerap menghiasi berbagai dinding maya dan ruang publik. Meskipun secara normatif, narasi-narasi bercorak peyoratif lebih banyak diproduksi dan diprofilerasi oleh para tim suksesnya. Namun, disadari atau tidak, setiap kontestan menjadi bagian penting yang turut terlibat dalam memanasnya suhu persaingan yang nyaris mematikan akal sehat.

 

Bahkan, seusai pemilu yang sudah menetapkan salah satu pasangan sebagai kepala daerah dan presiden yang sah, repertoar peyorifikasi semakin berkembang biak menjadi narasi-narasi yang semakin lepas dari jangkar keadaban. Tagar ”turunkan presiden” dijadikan sebuah amunisi pragmatis oleh pihak-pihak yang tak puas dengan pembagian kue kekuasaan.

 

Tak terkecuali pandemi Covid-19 dikomodifikasi oleh pihak tak bertanggung jawab untuk menggalang kekuatan mosi tak percaya terhadap pemerintah. Dampaknya, ingar-bingar pembelahan terus berlangsung di sepanjang tahun dan diprediksi oleh sejumlah pengamat politik akan berpotensi lagi dalam Pemilu 2024.

 

Strategi depolarisasi

 

Menyikapi berbagai kemungkinan praktik pembelahan yang bisa terjadi di masa akan datang diperlukan langkah taktis dan strategis untuk meredam berbagai riak ketegangan yang bisa mengarah pada praktik pembelahan. Dalam kaitan ini, merujuk pada tulisan Abdul Rahman ”Tiga cara depolarisasi dalam ketegangan politik atau krisis pandemi”, setidaknya ada tiga cara yang bisa dilakukan oleh berbagai pihak, terutama masyarakat sipil, untuk mengantisipasi berbagai ceruk pembelahan yang oleh sebagian kontestan masih dianggap sebagai cara potensial untuk merebut suara rakyat.

 

Pertama, diperlukan jihad sosial antar-kalangan dalam melakukan dekonstruksi masa lalu, terutama berbagai aspek yang terkait dengan faktor-faktor penyulut yang selama ini dijadikan sebagai bandul kontroversi. Semisal politik identitas yang berbasis agama, etnis, ras, dan semacamnya yang mengarah kepada praktik pembelahan.

 

Bahkan, apabila memungkinkan, dalam membongkar masa lalu, diperlukan narasi tanding yang kreatif dan konstruktif tentang bahaya latennya praktik pembelahan sebagai warisan kaum penjajah. Dengan harapan, setiap kalangan masyarakat bisa diinjeksi dengan pemahaman baru tentang pentingnya kerukunan dan saling menghargai perbedaan dalam menyikapi pemilu.

 

Kedua, diperlukan penegasan pandangan antar-pihak tentang pentingnya mengedepankan cita-cita bersama dalam merawat dan menjaga akal sehat berbangsa dan bernegara. Kalaupun antar-pihak terlibat sebagai tim sukses maupun pendukung bagi masing-masing kontestan pemilu, harus disadarkan tentang pentingnya fokus pada masa depan perjalanan keindonesiaan.

 

Setidaknya, setiap perbedaan sikap dan pilihan yang terjadi antar-pendukung perlu diarahkan pada penguatan ideologi politik daripada identitas agama dan semacamnya. Dengan berbasis kepada ideologi politik, diharapkan setiap pendukung bisa mengkritisi kontestan lainnya lebih pada pencermatan serta mengkritisi kebijakan dan program yang akan dilaksanakan dalam roda pemerintahannya apabila berkuasa.

 

Ketiga, dibutuhkan ruang bersama antar-pendukung dalam menjelaskan berbagai kelebihan dan alasan ideologis mengapa kontestan tertentu yang lebih dijagokan dalam pemilu. Bahkan, agar ruang bersama tidak terkesan formal dan kaku, masing-masing pendukung bisa mendesain suasana obrolan dengan santai dan menghibur. Setidaknya, berbagai pandangan dan pilihan berbeda yang menjadi fitrah dalam sebuah persaingan, seperti pemilu, tidak hanya dikanalisasi dalam ruang-ruang kampanye sepihak yang sarat egosentrisme.

 

Akan tetapi, setiap perbedaan disikapi sebagai sarana untuk saling mengenali sekaligus memberikan masukan tentang langkah-langkah humanis dalam mengatasi berbagai riak kontrversi di ruang publik. Dengan cara ini, setiap pendukung bisa mengekspresikan perbedaan pilihan di zaman yang aman, nyaman, dan damai.

 

Peran masyarakat sipil

 

Dari ketiga langkah tersebut, tentu peran masyarakat sipil di berbagai lini, baik di lingkup keagamaan, sosial, budaya, pendidikan, maupun kelompok kekuatan moral lainnya, harus menjadi tulang punggung (backbone) dalam menguatkan pendidikan kewargaan (civic education). Sebab, ketika nalar pendukung hanya dikendalikan oleh para kontestan dan tim suksesnya, mereka hanya dijadikan sebagai pion yang asal serang dan membabi buta dalam melakukan pembelaan. Bahkan, dalam situasi tertentu, mereka hanya dijadikan sebagai tameng pengaman dan penangkal agar setiap kontestan bisa berkelit dari berbagai siasat konspirasinya.

 

Dengan catatan, masyarakat sipil yang terlibat dalam kekuatan moral selama berlangsungnya pemilu dan dipercaya sebagai garda terdepan dalam peneguhan spirit kebangsaan tak terjebak dalam mata rantai dukung mendukung terhadap kontestan pemilu. Sikap netralitas dan obyektivitas ini sangat penting agar masyarakat sipil yang menjadi salah satu modalitas sosial penting dalam peradaban bernegara bisa konsisten menjunjung tinggi etika kepublikan.

 

Setidaknya, ketika masyarakat sipil mampu memerankan dirinya sebagai pihak yang berdiri di atas semua kontestan dan golongan, dia akan menjadi pijar-pijar keindonesiaan yang bisa mencerahkan setiap jalan keluar yang dibutuhkan para kontestan. Selain itu, masyarakat sipil juga bisa memosisikan diri sebagai kekuatan penyeimbang ketika para kontestan dan tim suksesnya menggunakan cara-cara tak beradab untuk memenangi pemilu.

 

Oleh karena itu, menghadapi Pemilu 2024 yang jejak persaingannya sudah semakin terasa dan setiap kontestan sudah mulai ”pasang badan” agar mampu memperoleh perhatian rakyat, masyarakat sipil menjadi sebuah taruhan utama untuk bisa menyelamatkan Indonesia dari pandemi pembelahan yang di tahun-tahun sebelumnya sangat mencemari sendi-sendi kebangsaan dan roh kepublikan.

 

Semoga, taktik pembelahan yang kemungkinan besar dirancang oleh setiap kontestan sebagai strategi picisan untuk meraih kekuasaan bisa diendus sedini mungkin agar masyarakat tidak kecolongan lagi.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/18/menolak-warisan-pembelahan-2019

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar