Jumat, 29 Juli 2022

 

KKB dan Pembangunanisme Papua

Laode Ida: Wakil Ketua DPD RI 2004-2014, Komisioner Ombudsman 2016-2021

KOMPAS, 25 Juli 2022

 

                                                

 

Kekerasan bersenjata yang dilakukan kelompok kriminal bersenjata di Papua kian memprihatinkan. Korban jiwa manusia terus saja berjatuhan, baik dari kalangan aparat TNI dan Polri maupun warga sipil.

 

Dalam rentang 4,5 tahun terakhir (2017-2022), menurut data yang dilansir dari berbagai pemberitaan media, peristiwa penembakan yang dilakukan kelompok kriminal bersenjata (KKB) sudah lebih dari 200 kali dengan korban meninggal tak kurang dari 144 orang, termasuk 11 orang pada peristiwa 16 Juli lalu di Kabupaten Nduga. Itu belum termasuk ratusan korban yang jiwanya masih selamat.

 

Tindakan brutal tanpa perikemanusiaan oleh kelompok warga Papua yang dilabeli sebagai KKB tentu saja tak boleh lagi diremehkan atau dianggap sebagai kelompok warga yang sekadar melakukan tindakan kriminal, melainkan harus diposisikan sebagai gerakan separatis yang masih terus eksis berjuang melanjutkan misi Gerakan Operasi Papua Merdeka (OPM). Mereka memberi isyarat kuat atas stok personel yang sulit diberantas, sebuah gerakan pembangkangan atau perlawanan terhadap eksistensi pemerintahan Indonesia di Tanah Papua.

 

Efektivitas pembangunanisme

 

Pertanyaan kritis yang perlu jadi renungan: mengapa gerakan separatis (yang tindakannya dilabeli sebagai KKB itu) masih saja eksis, padahal masyarakat Papua (dulu: Irian Barat) sudah berada di pangkuan bumi pertiwi selama 59 tahun (1963-2022)?

 

Sementara komitmen Jakarta terhadap bumi cenderawasih begitu kuat. Papua selama ini telah dan terus diperlakukan secara afirmatif. Wujudnya, antara lain, berupa kucuran dana pembangunan yang begitu besar dibandingkan porsi daerah-daerah di luar Jawa pada umumnya. Demikian juga para kepala daerahnya dari orang-orang asli Papua (semuanya diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (UU Otsus) Papua. Selama 21 tahun berlakunya UU Otsus, dana yang digelontorkan di Papua berkisar Rp 150 triliun. Nilai yang lumayan fantastis.

 

Selain itu, pemerintah tahun ini telah membuat langkah progresif dengan kembali membentuk tiga provinsi (daerah otonom baru/DOB) di Papua, yaitu Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan. Begitu istimewanya Papua di tengah usulan DOB dari daerah lain bertumpuk di kantor Menteri Dalam Negeri dan Komisi II DPR yang belum berkepastian hingga sekarang.

 

Kebijakan pembentukan DOB itu tentu saja bertujuan untuk lebih mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat Papua dengan memperbanyak pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan memperpendek rentang kendali yang pada ujungnya adalah peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat lokal Papua.

 

Namun, tampaknya pendekatan strategi pembangunan (melalui kebijakan khusus) yang berorientasi kesejahteraan itu belum bisa secara efektif menjadikan semua warganya puas, ”senang dan mengakui” berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); setidaknya, mereka yang berada di ”barisan perlawanan” yang disebut KKB itu. Dan karena para aktor KKB itu juga bagian dari warga lokal, niscaya keberadaan mereka juga bagian dari keluarga besar warga (orang-orang) asli Papua yang sudah saling mengenal satu sama lain, bahkan hidup dalam sistem kekerabatan yang kental.

 

Jika kontestasi seperti dijelaskan di atas bisa diterima sebagai bagian dari kebenaran faktual relasi kultural-emosional antara para aktor KKB dan para warga (tokoh lokal), setidaknya mengandung tiga fenomena utama.

 

Pertama, para tokoh Papua (baik tokoh adat, tokoh agama, kepala suku, maupun para pejabat pemerintah daerah) tak memiliki agenda untuk memengaruhi atau menggiring para aktor KKB agar patuh pada kebijakan atau aturan pemerintah, seraya kemudian bersama menikmati berbagai program dan hasil pembangunan yang ada. Bahkan, mungkin saja proses pengaderan ”kelompok perlawanan” itu tidak diatensi secara khusus atau dilakukan upaya persuasif ke arah pencegahan dan lalu bergabung sebagai kekuatan bersama sebagai warga NKRI.

 

Barangkali terlalu larut dengan agenda menjalankan serta menikmati berbagai program dan atau kue-kue pembangunan, termasuk menikmati jabatan-jabatan politik yang ada, sehingga mengabaikan tugas substansial sebagai integrator sosial politik lokal.

 

Rupanya para tokoh dan pejabat lokal itu menganggap penanganan ”gerakan separatis” merupakan tanggung jawab eksklusif aparat TNI dan Polri. Padahal, seharusnya jika diakui bahwa kelompok pembangkang itu adalah bagian dari warga lokal, para pemangku kepentingan lokallah yang bisa lebih efektif mem-persuasinya, bukan kekuatan dari luar daerah.

 

Kedua, terkait dengan pertama, relasi pemerintah pusat dan daerah di Papua hanya sebatas pada agenda atau strategi pembangunanisme yang ukuran keberhasilannya ditentukan oleh realisasi penggunaan anggaran yang dikucurkan wujud fisik pembangunannya. Akibatnya, pemangku kepentingan daerah di tanah Papua hanya sibuk menyelesaikan kewajiban administrasi pemerintahan dan pembangunan, tanpa ada kewajiban khusus untuk kian meniadakan gerakan perlawanan yang aksinya disebut KKB.

 

Seandainya ukuran keberhasilan pembangunan di setiap daerah di Papua juga ditentukan oleh semakin hilangnya barisan aktor-aktor KKB, barangkali para kepala daerah dan seluruh jajarannya akan bergerak terus mendeteksi, menemukan, sekaligus mengajak para aktor KKB bergabung dengan saudara-saudaranya dalam rumah Indonesia. Dan strategi inklusif seperti inilah sebenarnya yang harus dilakukan dalam menggalakkan kebijakan berparadigma pembangunanisme di tanah Papua.

 

Tak berdiri sendiri

 

Ketiga, Pemerintah Indonesia akan selalu kesulitan menghentikan barisan aktor-aktor KKB selama mengaburkan substansi posisi atau sikap politik KKB.

 

Para aktor KKB harus terlebih dahulu diakui sebagai ”kelompok perlawanan rakyat Papua” (baca: sempalan) di mana selama ini mereka terus diabaikan aspirasinya atau bahkan mungkin hanya seolah-olah kelompok kriminal biasa saja. Padahal, KKB tak berdiri sendiri, tetapi memiliki basis di tingkat lokal dan memiliki jaringan atau dukungan dari pihak luar (termasuk orang-orang Papua asli yang berada atau memperjuangkan aspirasi mereka di luar negeri).

 

Problemnya, pihak penguasa atau yang berwenang hingga saat ini sama sekali menutup diri untuk dialog dengan aktor-aktor utama (sempalan) perlawanan atau pembangkang terhadap hukum NKRI itu, baik yang berada di bumi cenderawasih maupun di luar negeri.

 

Berbeda dengan proses penyelesaian damai di Aceh yang secara langsung melibatkan Gerakan Aceh Merdeka hingga sampai pada penandatanganan kesepakatan dalam pertemuan Helsinki tahun 2005. Dengan demikian, bukan mustahil kelompok pembangkang di Papua merasa ”dibedakan” dengan proses penciptaan damai di Aceh.

 

Sekarang, yang harus lebih disadari bahwa kalau menyelesaikan masalah kelompok perlawanan (KKB) di Papua mengedepankan pendekatan keamanan atau menggunakan kekuatan militer dengan semangat ”penegakan hukum pidana”, akan berpotensi memunculkan isu sensitif, yaitu pembantaian etnik (ethnic cleansing). Dan kalau hal itu terjadi, kita harus bersiap menghadapi solidaritas kolektif yang berbasis ras (Melanesia) secara internasional. Karena itu, sekali lagi, pendekatan dialogis merupakan cara yang harus dipertimbangkan oleh Pemerintah Indonesia.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/23/kkb-dan-pembangunanisme-papua

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar