Minggu, 24 Juli 2022

 

Akhir Getir sang Brigadir (2)

Penyaji Berita :  Tim Kumparan

KUMPARAN.COM, 18 Juli 2022

 

 

                                                           

“Iya Ma, nanti aku datang kalau ada waktu. Aku nyusul ke kampung mau ikut ziarah.”

– Ucapan terakhir Brigadir Yosua kepada ibunya, Rosti Simanjuntak

***

Yuni Hutabarat sedang asyik mengobrol bersama keluarga besarnya di Padang Sidempuan, Sumatera Utara, Jumat malam (8/7). Sekitar pukul 22.00, ponselnya berdering. Telepon itu dari adik bungsunya, Mahareza. Dari suaranya, ada sesuatu yang tak beres.

 

“Adik telepon, enggak jelas suaranya, nangis-nangis,” kata Yuni ke ayahnya, Samuel Hutabarat.

 

Demi mendapat sinyal yang lebih baik, Yuni bergeser dari ruang tamu ke teras rumah neneknya. Akhirnya, ia bisa mendengar ucapan Reza dengan cukup jelas. Namun, tak disangka, kabar buruklah yang keluar dari mulut Reza.

 

Yuni sontak menangis kencang, sampai Samuel menghampirinya untuk bertanya apa yang terjadi.

 

“Adik Frian meninggal,” kata Yuni terbata.

 

Frian merupakan panggilan keluarga untuk Nofriansyah Yosua Hutabarat, brigadir polisi yang tewas ditembak di rumah dinas Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat (8/7).

 

Frian atau Yosua tewas di usia 27 tahun.

 

Meninggal? Samuel tersentak mendengar ucapan Yuni.

Ia bertanya kepada putri sulungnya: apa penyebab Yosua, anak keduanya itu, meninggal dunia?

 

Yuni menggeleng bingung. “Enggak tahu, Pak. Ini adik [Reza] telepon dari Jakarta dalam keadaan nangis. Sekarang [Reza] di rumah sakit.”

 

Seperti Yosua, Reza merupakan anggota Polri yang bertugas di Jakarta. Ia pertama kali menerima kabar kematian kakaknya, lalu meneruskannya ke keluarga.

 

“Semua keluarga tersentak, menjerit. Saya sampai enggak bisa nangis,” kata Samuel kepada kumparan, Jumat (15/7).

 

Keluarga menerima kabar duka soal Yosua saat sedang berziarah ke kampung halaman mereka di Sumatera Utara. Keluarga itu mengawali ziarah dari tanah kelahiran istrinya di Balige, Kabupaten Toba; lanjut ke Paranginan di Kabupaten Humbang Hasundutan;  Tarutung dan Pahae di Kabupaten Tapanuli Utara; dan berakhir di Padangsidimpuan.

 

Yosua sedianya ingin ikut perjalanan ziarah itu. Namun ia masih bertugas mengawal atasannya, Irjen Ferdy Sambo, dan istrinya, Putri Candrawathi, ke Magelang. Rencananya, Yosua akan menyusul ke Sumut sepulangnya dari Magelang.

 

Selama perjalanan ziarah, keluarga Yosua kerap mengirimkan foto mereka ke grup WhatsApp keluarga. Salah satunya foto saat mereka berada di Pemandian Air Panas Sipoholon di Tarutung.

 

Foto itu dikirim ke grup WhatsApp keluarga pada Jumat pagi (8/7), dan ditanggapi gembira oleh Yosua karena ia memiliki kenangan masa kecil di sana.

 

Namun, sore harinya setelah pukul 17.00 WIB, Yosua yang biasa aktif di grup WhatsApp tiba-tiba tak bisa dihubungi. Ia memblokir nomor beberapa anggota keluarganya. Benar-benar ganjil.

 

Rencana Yosua pulang ke kampung halaman tinggallah rencana. Ia meregang nyawa hanya beberapa jam setelah mengucapkan keinginan itu kepada ibunya. Polri menyebut, ia tewas dalam baku tembak di rumah dinas atasannya di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, karena perkara memalukan.

 

“... Brigadir J masuk [ke kamar istri Kadiv Propam] dan melakukan pelecehan terhadap Ibu,” ucap Kapolres Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susiantono.

 

Ia bilang, istri Sambo, Putri Candrawathi, berteriak sehingga ajudan lain, Bharada E, berlari mendekat. Yosua yang disebut panik lalu melepas rentetan tembakan ke arah Bharada E, yang segera dibalas dengan sejumlah tembakan pula oleh Bharada E. Yosua pun tewas.

 

Setelah menerima kabar Yosua tewas, malam itu juga keluarganya langsung kembali ke rumah mereka di Sungai Bahar, Kabupaten Muaro Jambi, yang berjarak 20 jam lebih via jalur darat dari Padang Sidempuan, Sumatera Utara.

 

Sabtu siang (9/7), saat keluarganya masih dalam perjalanan pulang, jenazah Yosua diterbangkan dari Jakarta ke Jambi, dan tiba di rumah duka sekitar pukul 14.00 WIB.

 

Jenazah itu diterima oleh bibinya, Rohani Simanjuntak, mewakili pihak keluarga.

 

Orang tua dan kakak Yosua, setelah menempuh perjalanan sekitar 800 km selama hampir 24 jam, akhirnya tiba di kediaman mereka—yang sontak menjadi rumah duka—pada Sabtu malam, pukul 22.30 WIB.

 

Ayah dan ibu Yosua histeris melihat peti mati berisi jenazah Yosua. Dalam serah terima jenazah dari Polri ke keluarga, hadir antara lain Pemeriksa Utama Divisi Propam Polri Kombes Leonardo Simatupang dan Kabid Propam Polda Jambi Kombes Alfonso Doly Gilbert Sinaga.

 

Namun, sebelum menerima jenazah, orang tua Yosua meminta penjelasan dari perwakilan Polri mengenai kronologi tewasnya Yosua. Keluarga juga ingin melihat tubuh Yosua.

 

Kombes Leonardo lantas menjelaskan insiden baku tembak yang menewaskan Yosua.

 

“Di TKP (rumah Irjen Sambo) ada teriakan Ibu [Putri] memanggil [dari kamarnya di lantai satu], ‘Dicky, Richard, tolong!’” ujar Kombes Leonardo mengawali ceritanya.

 

“Yang pertama datang Richard. Dia turun [dari lantai dua] ke bawah, dan di tangga bertemu sama almarhum (Yosua) sedang membawa senjata. Dia bertanya ‘Ada apa, Bang?’ dan almarhum langsung mengacungkan senjata.”

 

“Kebetulan Richard juga memegang senjata api. Begitu ditembak [Yosua], dia langsung mengelak dan terjadilah tembak-menembak,” ujar Kombes Leonardo.

 

Richard yang ia maksud adalah Richard Eliezer atau Bharada E, ajudan Irjen Sambo yang paling junior.

 

Cerita Kombes Leo itu adalah keterangan pertama yang diterima keluarga mengenai penyebab tewasnya Yosua. Sementara mengenai permintaan keluarga untuk membuka peti jenazah, Leo menyebut hal itu tak diperlukan.

 

Menurut nya, tak ada gunanya melihat jenazah karena sudah diautopsi.

“Kalau diautopsi, sudah dicek satu per satu dan hasilnya ada di rumah sakit. Kalau ada keberatan dari keluarga, silakan ke Jakarta datangi rumah sakit.”

 

Ibu Yosua, Rosti Simanjuntak, berkukuh melihat jenazah putranya.

“Biarlah, Pak. Saya sanggup [melihat jenazah Yosua] karena yang melahirkannya. Saya akan dikuatkan Tuhan. Saya akan lihat dulu keadaan anak ini,” ucap Rosti.

 

Setelah berdiskusi panjang, akhirnya keluarga Yosua diizinkan membuka peti jenazah.

 

Saat serah terima jenazah, Kombes Leo bertanya kepada keluarga mengenai pemakaman Brigadir Yosua. Ibu Yosua berharap anaknya dimakamkan dengan upacara kepolisian.

 

Kombes Leo mengiyakan, namun dengan inspektur upacara dari Polres Muara Jambi, bukan Mabes Polri. Hal itu tak jadi soal bagi keluarga. Leo pun sepakat, “Yang penting kedinasan.”

 

Namun, saat hari pemakaman, Senin (11/7), Kombes Leo datang lagi ke rumah duka dan menginformasikan bahwa Brigadir Yosua tak bisa dimakamkan dengan upacara kepolisian.

 

Samuel pun bertanya, “Saya bisa berubah? Alasannya apa, Pak?”

Leonardo, seperti diceritakan Samuel, menjawab bahwa “Ada perintah dari Jakarta, dari Mabes, bahwa [pemakaman Yosua] ini tidak bisa dilakukan secara kedinasan lantaran ada syarat-syarat administrasi yang tidak terlengkapi.”

 

Namun, Kombes Leo tak menjelaskan syarat administrasi apa yang dimaksud. Alhasil, keluarga memakamkan Yosua secara adat, tanpa upacara dinas kepolisian.

 

Penembak Jitu yang Berakhir Ditembaki

 

Yosua mulai berkarier sebagai polisi, khususnya di Korps Brigade Mobil (Brimob), sejak 2012. Ia mengikuti pelatihan di Pusat Pendidikan Brimob Watukosek, Pasuruan, Jawa Timur, selama 7 bulan.

 

Setelahnya, Yosua ditugaskan di Mako Brimob Batalyon B Pelopor di Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin, Jambi, yang terhitung rawan. Di sana, menurut keluarganya, Yosua dipercaya sebagai penembak jitu atau sniper.

 

Tugas sebagai penembak jitu itu pula yang ia emban saat dikirim ke Papua. Itu sebabnya, Samuel sulit percaya bahwa 7 tembakan Yosua tak satu pun mengenai Bharada E, sedangkan 5 tembakan Bharada E seluruhnya mengenai Yosua.

 

Yosua bertugas sekitar 3 tahun di Mako Brimob Pamenang, lalu ditarik ke Mako Brimob Polda Jambi sebagai provos—suborganisasi dari Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) yang menegakkan kedisiplinan dan ketertiban di lingkungan Polri.

 

Bertugas 3,5 tahun di Mako Brimob Polda Jambi, pada akhir 2019 Yosua mengabari keluarganya akan pergi ke Jakarta untuk ikut seleksi calon ajudan perwira tinggi Polri.

 

Setelah 3 bulan di Jakarta, Yosua kembali ke Jambi untuk mengurus berkas mutasi dari Polda Jambi ke Mabes Polri. Ia membawa kabar gembira. Ia diterima menjadi ajudan Ferdy Sambo yang saat itu masih brigadir jenderal dan menjabat sebagai Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri.

 

Di mata keluarganya, Yosua adalah anak yang baik. Samuel berkata, “Dari 4 anak saya, dia inilah yang paling patuh. Sering saya minta dia pimpin doa waktu makan, dia enggak pernah menolak.”

 

Yosua tak pernah sekali pun bercerita punya masalah selama menjadi ajudan Sambo. Setahu keluarganya, Yosua senang dengan pekerjaannya sebagai ajudan.

 

“Dia cerita, di sana baik-baik. Ibu-bapak (Ferdy Sambo dan istri) sayang kepadanya selayaknya atasan kepada bawahan. Semua teman-temannya baik. Makanya waktu [Yosua] meninggal, kami terkejut, kok bisa terjadi begini?” kata Samuel.

 

Bukan hanya Samuel yang berpikir Yosua menjalani pekerjaan dan kehidupan yang baik di Jakarta. Bibinya, Rohani Simanjuntak, pun mendapat kesan positif dari cerita-cerita Yosua.

 

Ketika Yosua pulang ke Jambi pada libur Tahun Baru 2022, misalnya, Yosua bercerita bahwa Irjen Sambo memercayakan urusan keuangan dan pengeluaran harian keluarga kepadanya.

 

Kepada bibinya, Yosua berkata, “Bahkan urusan keuangan saja aku dipercaya Ibu [Putri] sama Bapak [Sambo] untuk berbelanja.”

 

Singkatnya, Yosua selalu menceritakan kebaikan Irjen Ferdy Sambo dan istrinya. Oleh sebab itu keluarganya heran, mengapa setelah 2,5 tahun bekerja sebagai ajudan Sambo, Yosua justru tewas di rumah dinas sang jenderal.

 

Tewasnya Yosua kemudian memunculkan rumor bahwa ia dan istri Sambo memiliki hubungan istimewa. Namun, keluarga menilai isu tersebut tak berdasar. Mereka yakin Yosua tak mungkin berani melakukan itu.

 

Polri pun menampik kabar perselingkuhan antara Brigadir Yosua dengan Putri Candrawathi. Meski demikian, hal tersebut turut diusut dalam proses penyidikan.

 

“Tidak ada alat bukti ataupun bukti yang mendukung hal tersebut,” kata Kapolres Jaksel Kombes Pol Budhi Herdi Susianto.

 

Keluarga Yosua juga tak percaya dengan cerita pelecehan Yosua terhadap Putri seperti yang disampaikan Polri.

 

“Apakah segampang itu masuk ke kamar Ibu Jenderal? Katanya Ibu istirahat di kamar. Apa pintunya tidak dikunci? Kita kalau di rumah, apalagi perempuan, saat di ruangan lain banyak orang, tentu kita kunci pintu.”

- Samuel Hutabarat, ayah Yosua

 

Menikah Tahun Depan

 

Keluarga begitu kehilangan sosok Yosua yang selama ini menjadi harapan besar mereka. Terlebih, tahun depan Yosua akan menikahi kekasih yang sudah ia pacari selama 8 tahun.

 

Yosua bertemu kekasihnya itu saat masih bertugas di Pamenang. Kini, rencana mereka berumah tangga pun kandas.

 

“Kemarin kami belum sampai rumah, pacarnya sudah di sini bersama mamanya, bapaknya, abangnya. Sampai menginap di sini dan ikut ke pemakaman,” kata Samuel.

 

Dalam sebuah unggahan di media sosial, Rohani mengatakan bahwa kekasih Yosua sempat mengucapkan salam perpisahan sebelum jenazah Yosua dibawa ke pemakaman.

 

“Delapan tahun kita bersama menjalin hubungan, tiga tahun Abang di Jakarta, kita enggak pernah jumpa. Sekalinya jumpa…”

 

”Cincin yang aku pakai—kado ulang tahun yang pernah Abang kasih sama aku, cincin ini ada namanya, akan aku simpan sebagai kenang-kenangan, tanda perpisahan. Doakanlah supaya aku bisa dapat jodoh seperti Abang.”   - Kekasih Yosua

 

Siksaan di Sekujur Tubuh

 

Hingga kini keluarga tak percaya Yosua tewas karena baku tembak. Apalagi setelah melihat jenazah Yosua, mereka menemukan luka-luka tanda penganiayaan di sekujur tubuh, dari kepala sampai kaki.

 

Tak hanya luka tembak, tapi juga luka sayat di bibir, hidung, bawah mata, leher, belakang kepala, perut, dan bawah betis. Selain itu, dua jari Yosua putus, giginya patah, rahangnya bergeser, dan bibir serta perutnya lebam-lebam.

 

“Ini bukan tembak-menembak. Ini penganiayaan,” kata Samuel.

 

Senada, Ketua Indonesia Police Watch Sugeng Teguh Santoso menduga luka-luka sayatan di jenazah Yosua disebabkan oleh penganiayaan. Setelahnya, barulah ia tewas karena tembakan.

 

“Mati karena tembakan. Tapi luka-luka [di tubuhnya] itu karena penganiayaan,” ucap Sugeng.

 

Namun, Polres Jaksel mengatakan bahwa berdasarkan hasil autopsi di RS Polri, luka sayat di jenazah Yosua berasal dari luka tembak.

 

Sementara kuasa hukum keluarga Yosua, Kamaruddin Simanjuntak, menyatakan bahwa surat hasil autopsi yang diterima keluarga saat serah terima jenazah dari Mabes Polri tidak merinci luka-luka Yosua.

 

“Apa saja bekas penyiksaannya tidak dirinci. [Surat itu] ditandatangani dalam keadaan kosong. Hanya disebut jenazah ditemukan pukul 17.00 WIB,” kata Kamaruddin.

 

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pun membentuk tim gabungan untuk mengusut kasus ini dengan metode scientific crime investigation. Dalam tim ini, Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono bertindak sebagai penanggung jawab, dan Irwasum Polri Komjen Agung Budi Maryoto sebagai ketua. Kompolnas dan Komnas HAM juga diajak bergabung.

 

“Polri akan melakukan semua proses ini secara objektif, transparan, dan akuntabel,” tegas Listyo Sigit.

 

Kompolnas menerima ajakan Polri untuk masuk dalam tim gabungan, sedangkan Komnas HAM memutuskan untuk melakukan penyelidikan sendiri secara independen. Hal ini disambut Polri dengan menyebut akan membuka akses seluas-luasnya kepada Komnas HAM.

 

“Komnas HAM akan menguji siapa yang benar. Semua informasi yang penting dalam struktur peristiwa ini akan kami ambil; semua aktor yang terkait di sini akan kami minta keterangannya.”

- Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam

 

Sumber :   https://kumparan.com/kumparannews/kematian-brigadir-yosua-bukan-baku-tembak-biasa-1-1yUD8MVGKJj/full

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar