Senin, 25 Juli 2022

 

Rapor Merah Partai Politik Era Reformasi

Ridho Al-Hamdi: Wakil Dekan Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Wakil Ketua LHKP Pimpinan Pusat Muhammadiyah

MEDIA NDONESIA 20 Juli 2022

 

                                                

 

SEJAK runtuhnya rezim Orde Baru pada 1998, partai politik mulai menjadi aktor utama di panggung demokrasi elektoral selama hampir dua setengah dekade. Sejak 1999 hingga 2019, Indonesia sudah lima kali mengadakan hajatan besar demokrasi bernama pemilu dengan dinamika dan manajemen yang berbeda dari waktu ke waktu. Tak sedikit partai yang menjadi peserta pemilu datang silih berganti, meski beberapa di antaranya ada yang mampu bertahan bahkan sempat populer.

 

Tulisan ini mencoba menganalisis dinamika perkembangan partai politik di Indonesia selama era Reformasi, dengan menggunakan empat indikator pelembagaan partai politik yang dikenalkan oleh Vicky Randall dan Lars Svåsand (2002) dalam artikel ilmiahnya yang berjudul Party Institutionalization in New Democracies. Keempat indikator tersebut ialah sistem keorganisasian (systemness), ideologi dan platform partai (value infusion), reifikasi, dan independensi partai (decisional autonomy).

 

Masih buruknya sistem keorganisasian

 

Ada tiga aspek yang akan dibahas, yaitu mekanisme pengambilan keputusan di internal partai, mekanisme penyelesaian konflik internal partai, serta mekanisme regenerasi dan rekrutmen politik. Pada aspek pertama, hampir mayoritas partai politik di Indonesia mengalami gejala yang sama bahwa mekanisme pengambilan keputusan politik selalu bergantung pada ketokohan elite tertentu. Mekanisme organisasi sering kali tidak berlaku bahkan dikesampingkan oleh dominasi elite yang berkuasa tersebut.

 

Tak jarang, apa yang telah menjadi keputusan di tingkat daerah, dengan sangat mudah dibatalkan sepihak oleh ‘sang pemilik’ partai karena tidak sesuai selera. Inilah fenomena party presidentialization

 

 atau personalisasi partai di mana ketokohan sangat mendominasi kekuatan partai. Ini hampir menjadi gejala umum di banyak negara demokrasi lainnya.

 

Dalam hal penyelesaian konflik internal partai, tak ada satu partai pun yang bisa dijadikan model percontohan. Jika Golkar dan PKS dianggap yang terbaik ketimbang partai yang lain dalam hal penyelesain konflik, sejumlah elite Golkar pun memilih keluar dan mendirikan partai baru. Gerindra, Hanura, dan NasDem adalah beberapa contoh partai baru hasil konflik internal Partai Golkar yang tak selesai.

 

Di PKS pun, konflik tetap membara meski seakan tersembunyi. Keluarnya Yusup Supendi dari PKS yang kemudian bergabung ke PDIP serta migrasi besar-besaran sejumlah kader utama PKS seperti Anis Matta, Fahri Hamzah, Mahfudz Shiddiq, serta sejumlah kader di daerah dan berujung pada pendirian partai baru, menjadi bukti bahwa resolusi konflik pun belum terlembagakan secara baik di tubuh PKS. Lalu bagaimana dengan partai lain? Jawabannya cukup singkat: semakin buruk.

 

Sementara itu, kaderisasi internal partai juga tidak berjalan efektif lantaran para elite partai mengambil jalan pintas demi mengejar syarat minimal ambang batas parlemen. Penerapan sistem perwakilan berimbang daftar terbuka (open-list proportional representation/OLPR) sejak 2009 hingga 2024, pada akhirnya menjadikan partai lebih memilih untuk bersikap pragmatis dengan memilih caleg dan calon kepala daerah (cakada) yang memiliki popularitas tinggi ketimbang kader ideologis yang sudah lama berjuang tapi tidak populer.

 

Bahkan pada Pemilu 2019, tak sedikit partai yang memilih artis dan tokoh lokal yang bukan kader partai menjadi caleg agar berperan sebagai pengepul suara (vote getter) sehingga partainya mendapatkan kursi di Senayan. Begitu juga pada arena pilkada, partai justru mencari cakada yang populer dari luar partai ketimbang kader internal partai. Realitas di tiga aspek tersebut membuktikan buruknya mekanisme keorganisasian partai.

 

Pudarnya ideologi dan platform

 

Ada dua hal yang diukur di sini: sejauh mana relasi yang terjadi antara partai dan organisasi sipil/keagamaan (aktor dan pendukung), serta sejauh mana partai meyakinkan platform/ideologi partai ke anggota, pendukung, dan masyarakat luas.

 

Meskipun relasi antara partai politik dan apa yang disebut oleh Thomas Poguntke (2006) sebagai collateral organization

 

 (organisasi sebaya) masih tetap terbangun di era Reformasi, kekuatan relasi tersebut tidak sedahsyat saat era Pemilu 1955 maupun Pemilu 1971. PKB masih bisa dianggap memiliki relasi baik dengan Nahdlatul Ulama (NU). Begitu juga antara PAN dan Muhammadiyah, PKS dan jejaring aktivis Jamaah Tarbiyah, atau PDIP dan masyarakat abangan (jejaring Marhaen).

 

Meski demikian, kekuatan relasi mereka itu tidak sedahsyat antara Masyumi dan Muhammadiyah, atau Parmusi dan Muhammadiyah. Begitu juga, tidak sekuat antara masyarakat abangan dan PKI/PNI. Adapun NU menjadi partai politik sehingga kekuatan NU lebih solid pada 1955 dan 1971. Kalaupun saat ini PDIP masih dapat dianggap sebagai partai dengan relasi terkuat dengan basis pendukung, ini perlu diuji lagi keabsahannya.

 

Sementara itu, meski secara simbolik masih ada asas Islam di sejumlah partai politik, praktiknya platform partai mereka tidak jauh berbeda dengan platform partai-partai nasionalis-sekuler. PKS yang dianggap sebagai partai paling islamis, toh tidak lagi berkampanye untuk isu syariat Islam maupun negara Islam, tetapi beralih pada isu antikorupsi dan tata kelola pemerintahan yang bersih. Begitu juga dengan PPP dan PBB. Para politikus dan caleg partai Islam pun mengalami kegagalan dalam meyakinkan publik tentang ideologi dan cita-cita perjuangan politik mereka.

 

Belum lagi kasus korupsi yang pernah dialami para petinggi partai Islam, semakin membuat para pendukungnya tak lagi memiliki kepercayaan terhadap partainya. Dampaknya, partai Islam ataupun partai sekuler dianggap oleh masyarakat sama saja, sama-sama korupsi uang rakyat. Di sinilah dilema partai politik selama era Reformasi. Ideologi dan platform partai mengalami pemudaran akibat sistem politik yang semakin liberal.

 

Kegagalan reifikasi

 

Reifikasi (reification) dapat dipahami sebagai strategi partai dalam memenuhi aspirasi dan harapan masyarakat, yang dituangkan dalam bentuk kebijakan di parlemen dan ekseksutif. Fenomena pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, keinginan menggagas RUU Haluan Ideologi Pancasila, pelemahan lembaga antirasuah seperti KPK, pemaksaan Pilkada Serentak 2020 meski publik menolak, rencana elite untuk amendemen UUD 1945 termasuk keinginan perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode, serta ketergesa-gesaan pemindahan ibu kota negara adalah sederet bukti gagalnya partai politik yang tidak mendengarkan aspirasi rakyat.

 

Belum lagi, fakta buruknya praktik kebebasan sipil akibat dikebiri oleh pemerintah (dan tentu elite partai) yang berkuasa. Pembubaran HTI, pembunuhan sejumlah aktivis FPI, penangkapan tokoh-tokoh Islam, penggebukan kelompok oposisi dan gerakan kritis kepada rezim, tindakan kekerasan aparat terhadap para demonstran, serta proyek ambisius penambangan di sejumlah daerah tanpa pertimbangan aspek kemanusiaan, pada akhirnya menyebabkan buruknya indeks demokrasi Indonesia dari waktu ke waktu, sebagaimana tertulis dalam laporan tahunan Freedom House dan The Economist Intelligence Unit (IEU). Belum lagi, sejumlah produk hukum pun seakan bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, seperti UU ITE dan KUHP, yang sering kali dijadikan alat oleh penguasa untuk memukul rakyat yang kritis.

 

Di sinilah, partai politik mengalami kegagalan berkali lipat dalam memenuhi aspirasi dan harapan publik secara luas. Partai lebih ramah ke pemilik modal dan oligarki ketimbang rakyat jelata. Wajar saja jika masyarakat kecewa bahkan cenderung tidak peduli lagi terhadap partai politik. Ini bisa berbahaya dan dapat mengancam masa depan demokrasi Indonesia.

 

Lemahnya independensi

 

Independensi/kemandirian partai politik diukur dengan dua aspe. Pertama, independensi partai dari pemimpin yang karismatik dan kuat dalam proses pengambilan kebijakan. Dan, kedua, independensi partai dari kekuatan cukong (pemilik modal) dan kaum oligar.

 

Di atas sudah disinggung terkait dengan munculnya fenomena personalisasi partai (party presidentialization

 

) hampir di semua partai politik di Indonesia. Publik hampir sulit membedakan antara PDIP dan Megawati, Partai Demokrat dan SBY, Gerindra dan Prabowo Subianto, PKB dan Muhaimin Iskandar, dan seterusnya.

 

Semua keputusan politik hampir selalu bergantung pada elite kuat tersebut sehingga mekanisme organisasi di tubuh partai seakan tidak berlaku lagi. Di sinilah awal menjamurnya otoritarianisme di internal partai-partai. Modernisasi partai politik selama era Reformasi seperti masih jauh dari harapan demokrasi. Karena itu, diperlukan regulasi tentang perlunya pembatasan periode kepemimpinan ketua umum partai.

 

Sementara itu, partai pun masih belum bisa terbebas dari kekuatan cukong atau pemilik modal dan kaum oligar. Cukong dan oligar bisa saja langsung bertindak sebagai pemilik partai, atau mereka sekadar menjadi orang di balik layar yang selalu mendanai program-program partai. Akibatnya, dalam proses pembuatan produk legislasi (undang-undang/perda) dan pembuatan anggaran, anggota legislatif sebagai kepanjangantangan partai politik di parlemen, memiliki kecenderungan lebih ramah kepada kepentingan pemilik modal daripada mendahulukan aspirasi rakyat yang hanya dihargai selembar rupiah pada saat pemilu/pilkada.

 

Di sinilah pentingnya penguatan kembali sistem iuran anggota partai sebagai sumber kekuatan pendanaan di tubuh partai sehingga dapat meminimalkan ketergantungan pada cukong/pemilik modal. Selain itu, negara perlu menyubsidi keuangan partai secara serius serta mengatur tata kelola keuangan sehingga dapat terpantau perkembangan tiap-tiap partai politik.

 

Selama ini, pengawasan keuangan partai termasuk pada saat kampanye pemilu/pilkada masih lemah sehingga partai tertentu memiliki modal sangat besar, sedangkan yang lain sangat rendah. Ada ketimpangan yang berdampak pada ketidakadilan di antara para peserta pemilu. Karena itu, independensi partai selama era Reformasi masih tergolong sangat lemah.

 

Agenda mendesak

 

Dari keempat indikator di atas, semuanya dinilai buruk. Tidak ada satu pun sinyal positif untuk partai politik. Ini artinya, partai politik selama hampir dua setengah dekade selama era Reformasi mendapatkan rapor merah. Kinerja mereka gagal dan masih jauh dari harapan rakyat.

 

Apakah dengan ini lantas partai politik dibubarkan saja? Tidak begitu logikanya. Kalaupun partai politik dibubarkan, siapa yang berperan untuk memainkan kekuasaan? Ormas/LSM/media/kampus? Jika lembaga-lembaga tersebut memainkan peran untuk merebut kursi kekuasaan, keganasan politik mereka bisa jadi malah melebihi berahi politik partai. Kekuasaan memang diburu oleh siapa pun meski tak sedikit pula yang membenci dengan diam-diam masih memujanya. Itulah politik, “Who gets what, when, and how,” kata Harold D Lasswell, ilmuwan politik asal Amerika Serikat.

 

Jadi, ide pembubaran partai politik atau deparpolisasi bukanlah solusi tepat. Karena itu, setidaknya ada sejumlah agenda mendesak yang harus dilakukan. Pertama, segera revisi serta lengkapi Undang-Undang (UU) No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, serta UU No 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Banyak aspek yang harus dimasukkan pada UU revisi, seperti pembatasan periode kepemimpinan, pengaturan keuangan partai, pola rekruitmen anggota, dan sebagainya.

 

Publik dan masyarakat ilmiah dituntut untuk mendesak partai politik agar segera melakukan revisi UU tersebut. Pada kenyataannya, partai terkesan enggan untuk melakukannya karena bisa saja revisi itu justru merugikan, bahkan bisa mengancam posisi status quo

 

 mereka.

 

Kedua, apakah sistem multipartai di Indonesia merusak iklim demokrasi yang sehat dan dianggap tidak efektif? Tentu tidak. Pengalaman sistem multipartai di sejumlah negara Eropa masih menunjukkan pemerintahan yang efektif. Justru, keragaman budaya Indonesia harus dikanalisasi oleh kekuatan politik yang beragam agar tidak terjadi gerakan separatis di berbagai daerah akibat aspirasi politik mereka tidak terakomodasi.

 

Munculnya partai lokal di Aceh, maupun tidak adanya pemilihan gubernur di Yogyakarta, adalah cerminan keberagaman praktik demokrasi di negara bineka seperti Indonesia. Sistem demokrasi tidak harus dipahami secara tunggal, tetapi bisa beragam dengan tetap mengacu pada prinsip utamanya. Karena itu, ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 4% adalah batas maksimal. Dan, jangan ditambah lagi, agar partai menengah dan kecil tidak terpental dari Senayan karena mereka bagian dari kanal kekuatan politik tertentu di Republik ini. Dengan kata lain, penyederhanaan partai sebagai bentuk penguatan sistem presidensial bukanlah ide tepat dan bijak.

 

Ketiga, jika partai politik adalah kesebelasan, pemilu adalah arena pertandingannya. Karena itu, sistem pemilu harus mendukung penguatan dan modernisasi kelembagaan partai politik. Karena itu, praktik model keserentakan pemilu yang relevan untuk Indonesia seharusnya dibagi menjadi dua: keserentakan pemilu nasional (pilpres, pileg DPR RI, dan pemilihan DPD RI) dan keserentakan pemilu lokal (pilgub, pileg DPRD provinsi, pilbub/pilwalikot, dan pileg DPRD kabupaten/kota) yang berjarak 2,5 tahun di antara keduanya.

 

Sebagai catatan tambahan, pada pemilu serentak nasional, pilpres didahulukan, yang kemudian disusul beberapa bulan berikutnya oleh pileg DPR RI dan DPD RI. Karena itu, praktik model keserentakan pemilu yang pernah terjadi pada 2019, dan akan diulangi lagi pada 2024, bukanlah ide yang efektif. Itu adalah bentuk overdosis demokrasi. Hasilnya, justru antiklimaks demokrasi.

 

Keempat, sistem OLPR masih relevan untuk konteks Indonesia. Pertimbangan utama masih memilih sistem OLPR ini adalah kesuksesan negara-negara demokrasi mapan seperti Norwegia, yang juga menggunakan OLPR serta stabilitas demokrasi di negara-negara penganut sistem OLPR ketimbang sistem pemilu yang lain. Dengan sistem keserentakan pemilu sebagaimana diusulkan pada poin nomor tiga di atas, maka beban kerja penyelenggara pemilu tidak menumpuk.

 

Selain itu, pemilih juga tidak kesulitan dalam menentukan pilihan mereka karena hanya ada tiga surat suara pada pemilu serentak nasional dan empat surat suara pada pemilu serentak lokal. Implikasinya, penyederhanaan surat suara sepertinya tidak begitu diperlukan lagi. Partai politik pun bisa mempersiapkan calon-calon terbaik mereka, baik untuk nasional maupun daerah, karena ada jeda waktu yang optimal untuk proses rekrutmen dan seleksi.

 

Jikalau praktik money politics dipersoalkan dalam sistem OLPR, regulasinya perlu diperkuat. Dengan demikian, revisi UU Pemilu adalah sebuah keniscayaan. Revisi tersebut perlu dilakukan terhadap definisi politik uang serta para pelakunya, juga perlunya penambahan regulasi terkait perlindungan hukum terhadap pelapor dan saksi atas praktik politik uang. Gagasan nomor tiga dan empat ini akan diulas secara detail oleh penulis pada kesempatan yang lain.

 

Rapor merah partai politik selama era Reformasi ini harus menjadi perhatian serius untuk segera dibenahi, bukan dibubarkan. Sementara itu, kemunculan partai-partai baru masih belum bisa memperbaiki rapor merah itu, atau justru malah semakin menebalkan warna merahnya. Mengapa demikian? Kelahiran partai baru hanya sekadar hasil dari konflik internal partai sebelumnya, atau, ajang latihan politik praktis atas syahwat politik sejumlah tokoh yang tidak tersalurkan pada partai politik yang sudah ada karena tidak mendapatkan posisi penting. Hampir tidak ada terobosan brilian dari partai-partai baru tersebut.

 

Memperbaiki rapor merah partai membutuhkan keberanian dan kegilaan. Hanya mereka yang berjiwa negarawanlah yang memiliki keberanian untuk membenahi satu per satu rapor merah itu. Tentu, agenda modernisasi dan pelembagaan partai politik ini menjadi bagian dari mewujudkan skenario demokrasi Indonesia yang terkonsolidasi.

 

Sumber :   https://mediaindonesia.com/opini/507973/rapor-merah-partai-politik-era-reformasi

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar