Selasa, 26 Juli 2022

 

Oase di Timur Tengah

Dian Wirengjurit : Analis Geopolitik dan Hubungan Internasional

KOMPAS, 23 Juli 2022

 

                                                

 

  Ketika perhatian dunia masih tercurah pada perang Ukraina yang hingga kini belum jelas ujungnya, di kawasan hot spot dan zona konflik Timur Tengah justru terdengar berita yang sedikit menyejukkan.

 

Tidak banyak diketahui, putaran kelima pertemuan pejabat tinggi Arab Saudi dan Iran telah berlangsung pada 22 April 2022 di Baghdad, Irak. Rangkaian pertemuan yang dimulai sejak April 2021 itu berlangsung di Baghdad karena dijembatani oleh Pemerintah Irak yang didukung Oman.

 

Pertemuan difokuskan pada dua agenda utama: normalisasi hubungan dan masalah perang di Yaman. Meski belum menghasilkan terobosan yang signifikan, pertemuan telah menghasilkan ”memorandum” 10 butir, antara lain: 1) Saudi mengizinkan Iran untuk membuka kembali kedutaannya di Riyadh untuk aktivitas yang terkait dengan Organisasi Kerja Sama Islam (OIC/OKI) yang bermarkas di Jeddah; 2) Saudi mengizinkan 40.000 warga Iran menunaikan ibadah haji Juli 2022; dan 3) kedua pihak akan berkirim delegasi dalam kurun 30 hari untuk membahas pembukaan kedutaan besar dan konsulatnya.

 

Hubungan Saudi-Iran

 

Iran dan Saudi adalah dua kekuatan utama di Timteng, khususnya sejak Revolusi Islam (1979). Persaingan untuk pengaruh, keamanan, dan dominasi regional telah mengakibatkan perang proksi di wilayah ini, seperti Lebanon, Irak, Suriah, dan terutama Yaman. Persaingan keduanya berkisar pada beberapa isu kunci, seperti keyakinan (Sunni vs Syiah), sistem kenegaraan, isu Pan-Arab seperti masalah Palestina, menguatnya pengaruh negara besar (Amerika Serikat) di kawasan, dan kebijakan energi yang bertentangan.

 

Dalam konteks kekinian, Saudi memutuskan hubungan dengan Iran pada Januari 2016 setelah pengunjuk rasa Iran merangsek Kedubes Saudi di Teheran, sebagai jawaban atas eksekusi ulama Syiah, Nimr al-Nimr, oleh Riyadh. Putusnya hubungan diplomatik itu bahkan diikuti pula dengan pemutusan hubungan antara kuartet Arab (Saudi, Bahrain, UEA, dan Mesir) dengan Iran dan Qatar. Kedua negara juga berada di pihak yang berlawanan dalam perang mematikan lebih sejak 2015 di Yaman dan Suriah.

 

Berlangsungnya pertemuan Saudi dan Iran dimungkinkan dengan terjadinya serangkaian perkembangan kondusif di kawasan, di antaranya, pertama, KTT Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) di kota Al-Ula, Saudi, Januari 2021. KTT ini menghasilkan rekonsiliasi antara kuartet Arab dan Qatar yang dianggap memfasilitasi kelompok-kelompok teroris dan diboikot sejak Juni 2017. Selama aksi boikot kuartet itu, Qatar menjadi semakin dekat dengan Iran, ditandai pemberian fasilitas bagi maskapai Qatar Airways menggunakan teritorial udara Iran, sementara Saudi melarangnya.

 

Kedua, Sidang Khusus OKI mengenai krisis kemanusiaan di Afghanistan pada 19 Desember 2021 di Islamabad, Pakistan. Tanpa publikasi luas, di sela-sela sidang Menlu Iran Amir Hossein Abdollahiyan mengadakan pertemuan dengan Menlu Saudi Faisal bin Farhan al-Saud. Pembicaraan kedua menlu mewakili perkembangan signifikan bagi dua rival regional yang telah berperang proksi di Timteng selama lebih dari satu dekade. Ini juga menandakan peran kunci yang dimainkan oleh dua kekuatan mediasi: Pakistan dan China.

 

Ketiga, perang Yaman selama delapan tahun telah menjadi pusat konflik di antara kedua negara karena Saudi mendukung pemerintah Presiden Rashad al-Alimi di Selatan dan Iran mendukung kelompok Houthi yang de facto berkuasa di Utara. Kemajuan pembicaraan Iran- Saudi terbaru terjadi ketika PBB memperpanjang dua bulan gencatan senjata di Yaman yang telah berakhir 2 Juni.

 

Di lain pihak, Saudi dan negara-negara Teluk juga semakin kritis dan skeptis terhadap komitmen keamanan AS, termasuk lambatnya kemajuan perjanjian nuklir (JCPOA), dan melihat rekonsiliasi dengan Iran sebagai cara untuk melindungi diri dari ancaman masa depan negara Mullah tersebut.

 

Menlu Faisal bin Farhan al-Saud juga melihat adanya kemajuan dalam dialog dengan Iran meski ”tak cukup”. Sejalan dengan Vision 2030, Saudi melihat masa depan ”yang dibangun di atas harapan, dibangun di atas kemakmuran, di atas pembangunan, di atas kerja sama”.

 

Pemenang dan pecundang

 

Pertemuan di Islamabad dan Baghdad mewakili potensi pemanasan (warming up), sejalan dengan tujuan strategis yang lebih luas karena pemulihan hubungan Riyadh-Teheran dinilai merupakan kepentingan terbaik yang saling menguntungkan (mutual benefit). Kerja sama Saudi-Iran akan memberi kendali lebih besar atas harga minyak global karena keduanya menyumbang 25,7 persen cadangan terbukti minyak dunia (Saudi 16,2 persen, nomor dua; dan Iran 9,5 persen, nomor empat) atau 35,5 persen dari cadangan minyak OPEC (www.worldometers.info, 11/7/2022).

 

Menurut Abby Baggini dan Farah N Jan dalam artikel ”The Origins and Futures of the Budding Saudi-Iran Detènte” (Responsible Statecraft, 11/1/2022), baik Saudi maupun Iran bergantung pada stabilitas ekonomi untuk kelangsungan hidup mereka sehingga dapat memperoleh keuntungan bersama dari upaya mengintensifkan peredaan ketegangan (détente) sementara.

 

Para pemimpin di Riyadh dan Teheran mulai menyadari, perseteruan mereka tak lagi dapat memenuhi kepentingan nasional masing-masing. Pendekatan kembali (rapprochement) atau pemulihan hubungan Saudi-Iran akan mengguncang tatanan politik kawasan itu secara signifikan, dengan menciptakan kelompok pemenang dan pecundang. AS akan mengalami banyak kerugian, sebaliknya banyak keuntungan akan didapat oleh China.

 

Strategi ”Pivot to Asia” Presiden Barack Obama (2012) dan melepaskan diri dari Timteng dilakukan untuk menyaingi China secara ekonomi, militer, dan diplomatik in its own turf. Kini justru China yang memanfaatkan momen ini sebagai peluang membangun pengaruhnya di Timteng. Upaya ini dilakukan juga secara ekonomi, militer, dan diplomatik, termasuk kesepakatan rudal balistik dengan Saudi dan menandatangani perjanjian kerja sama 25 tahun dengan Iran. Posisi dan kepentingan bersama (mutual interest) Riyadh dan Teheran semakin mirip satu sama lain terhadap Beijing, dan dinilai menguntungkan, sehingga China dengan senang hati memfasilitasi dètente kedua rival ini.

 

Pembicaraan lanjutan Saudi-Iran juga sesuai dengan Lima Butir Inisiatif (2021) Beijing untuk Timteng, intinya mendorong penyelesaian politik untuk kawasan hotspot, dan mempromosikan perdamaian dan stabilitas di Timteng. Peter Birgbauer dalam artikelnya ”The US Pivot to Asia was Dead on Arrival” (The Diplomat, 31/3/2022) menyatakan, sejak diluncurkan oleh pemerintahan Obama, ”poros” (pivot) AS ke Asia terus-menerus tergelincir oleh keadaan darurat di tempat lain, di mana perang Ukraina menjadi contoh terbaru.

 

Efek ”Blackfish”

 

Dalam politik, termasuk politik internasional, dikenal efek Blackfish yang dipopulerkan mantan Menlu AS Condoleezza Rice dan Amy B Zegart dalam buku Political Risk (Gramedia, 2021). Blackfish adalah film dokumenter mengenai perlakuan buruk Sea World Entertainment (SWE) terhadap paus Orca, yang kemudian membunuh pelatihnya; dan dirilisnya film itu ternyata telah berdampak pada keruntuhan perusahaan hiburan besar itu.

 

Dalam efek Blackfish, dua hal bisa saja muncul bersamaan tanpa yang satu jadi penyebab yang lain. Namun, dalam kasus ini, hubungan sebab-akibat sangat nyata. Menurut Rice dan Zegart, itu terjadi karena tak diperhitungkannya risiko politik, yang bisa terjadi mulai dari risiko tradisional, seperti geopolitik, sampai risiko politik baru yang menembus batas-batas, misalnya ancaman siber dan terorisme.

 

Upaya AS untuk ”memaksakan” masuknya Ukraina ke dalam NATO dan invasi Rusia tampaknya terpisah, tetapi sebenarnya sangat terkait dengan sebab dan akibat. Perang Ukraina yang berlarut-larut, dengan korban manusia semakin meningkat dan kehancuran infrastruktur semakin masif, tampaknya tidak diperhitungkan matang. Akibatnya, Washington ”terpaksa” mengerahkan berbagai sumber daya, khususnya militer, yang amat mahal untuk mendukung Ukraina dalam perang tersebut.

 

Kebijakan Pivot Asia dan dominasi yang ditelantarkan di Timteng tak disia-siakan China, yang memang sarat dengan kepentingan ekonominya di kawasan, untuk mengambil alih peran AS.

 

Rapprochement Saudi dan Iran jelas menjadi oase yang menyegarkan di Timteng, terutama bagi China. Beijing akan berlomba dengan waktu mengupayakan tercapainya perdamaian Saudi-Iran selagi perang Rusia-Ukraina berlarut-larut. Bagi AS, selesainya perang Rusia-Ukraina bukan berarti bisa segera mengembalikan perhatiannya dengan segera ke Timteng atau Asia, karena Washington masih akan disibukkan dengan upaya rekonstruksi Ukraina; sedangkan Eropa harus menata kembali ekonominya. Itulah risiko politik yang harus ditanggungnya.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/21/oase-di-timur-tengah

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar