Selasa, 26 Juli 2022

 

Mewaspadai Kebijakan JKN KRIS

Tulus Abadi :  Ketua Pengurus Harian YLKI, dan Pemerhati Kesehatan Publik

SINDONEWS, 23 Juli 2022

 

 

 

Kementerian Kesehatan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) tampak ngotot ingin memberlakukan kebijakan KRIS (Kelas Rawat Inap Standar) untuk program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau disebut JKN non kelas. Selain karena alasan mandat dari UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN); secara sosiologis JKN KRIS dianggap sebagai kebijakan yang membumi, bahkan egaliter.

 

Sebab pelayanan rawat inap di rumah sakit (RS), secara historis kultural merupakan warisan kolonial. Ada semacam “kastanisasi” yakni kelas satu untuk warga kulit putih, kelas dua untuk kulit berwarna, dan kelas tiga untukinlander, pribumi.

 

Namun, di sisi lain, upaya mewujudkan kebijakan JKN KRIS justru bisa melahirkan ketidakadilan baru, baik dari sisi ekonomi dan atau sosial. Dari aspek normatif pun definisi JKN KRIS masih terbuka ruang untuk diperdebatkan.

 

Berikut ini beberapa catatan kritis terkait wacana kebijakan JKN KRIS, yang diberlakukan pada awal Juli 2022 ini. Pertama, sejatinya dalam ranah terminologi, belum jelas benar apa yang disebut dengan kelas standar itu. Apalagi jika dikaitkan dengan faktor empirik kebutuhan konsumen, yang sangat mendesak adalah standardisasi pelayanan, bukan kelas standar.

 

Hingga kini belum ada standardisasi pelayanan untuk semua kategori peserta dan kelas JKN. Oleh karena itu, yang sangat dibutuhkan konsumen rumah sakit, adalah standardisasi pelayanan. Sedangkan JKN KRIS, praktis tak punya landasan filosofis dan sosiologis yang jelas dan konkrit.

 

Kedua, ironisnya, program JKN ini justru menjadi beban baru bagi konsumen. Dengan program JKN KRIS, peserta kelas tiga akan mengalami kenaikan tarif/iuran, di luar iuran reguler. Dan untuk peserta kelas satu, akan mengalami penurunan kelas, yakni menjadi kelas standar (kelas dua). Sementara iuran yang dibayarkan tetap yakni sebagai kategori kelas satu.

 

Kerugian lain, jika peserta kelas satu tidak mau dengan pelayanan kelas standar yang ada, maka konsumen akan ditolak rumah sakit, dan diminta untuk memilih rumah sakit lain. Rumah sakit lain yang dimaksud bisa rumah sakit swasta yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, yang notabene cenderung lebih mahal. Jadi, program JKN KRIS berpotensi merugikan peserta JKN.

 

Adapun bagi pihak rumah sakit, program JKN KRIS juga akan menciptakan masalah baru, bahkan menciptakan bom waktu. Misalnya,pertama, pihak rumah sakit harus merogoh kocek tambahan (investasi baru) untuk menata ulang infrastruktur rumah sakit, baik itu ruangan dan alat-alat kesehatan.

 

Kedua, akan menggerus pendapatan rumah sakit itu sendiri. Sebagai contoh, fenomena ini yang dialami oleh RSUD Kota Tangerang, yang sudah lama menerapkan kelas non standar. Menurut penuturan managemen RSUD Kota Tangerang pada penulis (Mei 2022), bahwarevenueyang diperoleh dari pelayanan non kelas hanyalah 38% saja. Sedangkan sisanya, 62%, khususnya untuk gaji tenaga kesehatan dan karyawan lainnya, ditanggung penuh oleh APBD Kota Tangerang.

 

Soal minimnya pendapatan RSUD Kota Tangerang tersebut tidak menjadi masalah, karena hal tersebut sudah menjadi komitmen Pemerintah Kota Tangerang, yang sudah dikuatkan pula via peraturan daerah. Artinya risiko finansialnya sudah diketahui dan diantisipasi, plus telah disiapkan alokasi biaya yang cukup untuk menomboki kekurangan biaya operasional RSUD tersebut. Beda cerita apabila fenomena ini terjadi pada semua rumah sakit yang menerapkan program JKN non kelas, lalu siapa yang akan menanggung selisih dan kekurangannya?

 

Bahkan program JKN KRIS akan berbuntut panjang, yakni akan menciptakan clustering baru rumah sakit, yakni cluster rumah sakit bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, dan klaster rumah sakit yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan (RS swasta).

 

Tragisnya, cluster RS berbasis JKN dianggap “RS kelas bawah”, dan di sisi lain cluster RS non JKN dicitrakan sebagai RS dengan pelayanan yang lebih andal.

 

Jadi program JKN KRIS justru akan melahirkan feodalisme baru dalam pelayanan rumah sakit. Apalagi, konon program JKN KRIS merupakan “janji politik” anggota komisioner DJSN pada pihak RS swasta dan asuransi komersial, bahwa masih ada 40% stok tempat tidur di RS yang bisa digarap oleh asuransi komersial.

 

Jika benar demikian, program JKN KRIS ini merupakan kebijakan “tukar guling” antara DJSN dengan asuransi komersial? Inilah yang harus dikulik secara mendalam.

 

Dengan kata lain, jika kebijakan JKN KRIS terwujud, sangat boleh jadi ini merupakan upaya sistematis untuk menenggelamkan program JKN. Alias menenggelamkan BPJS Kesehatan, yang sejatinya kian eksis dengan performa pelayanan dan finansialnya.

 

Jadi klaim bahwa program JKN KRIS untuk menyelamatkan sisi finansial BPJS Kesehatan, menjadi tidak relevan. Sebab, sejak 1,5 tahun terakhir, aspek finansial BPJS Kesehatan sudah mengalami surplus.

 

Bahkan, Dirut BPSJ Kesehatan Ali Ghufron Mukti, menjamin hingga 2024 tidak akan ada kenaikan tarif/iuran bagi peserta program JKN. Lumayan ciamik bukan?

 

Dengan demikian, maka tidak ada alasan yang cukup absah bagi Kemenkes dan DJSN untuk memberlakukan kebijakan program JKN KRIS tersebut. Sebab endingnya program JKN KRIS justru berpotensi merugikan banyak pihak: merugikan konsumen, BPJS Kesehatan, bahkan dalam titik tertentu akan mengerdilkan program JKN itu sendiri.

 

Maka, Kemenkes dan DJSN sebaiknya tidak perlu memaksakan program JKN KRIS. Oleh karenanya, wacana kebijakan JKN KRIS seharusnya ditelaah terlebih dahulu demi kepentingan konsumen sebagai peserta JKN. Jangan sampai di kemudian hari menimbulkan berbagai anomali dan persoalan baru yang lebih complicated. Bagi konsumen, yang sangat mendesak adalah standardisasi pelayanan, bukan kelas standar.

 

Sumber :   https://nasional.sindonews.com/read/834733/18/mewaspadai-kebijakan-jkn-kris-1658560025?showpage=all

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar