Jumat, 29 Juli 2022

 

Politik Sastra dalam Perang Saudara

Damhuri Muhammad: Cerpenis; Kolumnis; Pengajar Filsafat Universitas Darma Persada Jakarta

KOMPAS, 24 Juli 2022

 

                                                

 

 Di perisai kayu para demonstran saat berhadapan dengan polisi antihuru-hara di Kyiv, Ukraina, dalam peristiwa Euromaidan Revolution (Februari 2014) tertera teks pendek yang dalam terjemahan Indonesia kira-kira berbunyi: ”Berjuanglah! Dan, kamu akan menang. Tuhan membantumu.

 

Slogan aksi massa guna menggulingkan Viktor Yanukovych dari kursi Presiden Ukraina itu adalah cuplikan dari puisi panjang berjudul Kavkaz karya Taras Shevchenko (1814-1861). Versi Inggris dari puisi itu dapat dibaca dalam Taras Shevchenko; Song out of Darkness (1961).

 

Dalam prahara Rusia-Ukraina yang sebenarnya telah berusia panjang sering ditegaskan bahwa Taras Shevchenko adalah Bapak Nasionalisme Ukraina. ”Shevchenko menyatukan kita karena pesannya mewakili seluruh Ukraina,” kata Andrei Kuzetsov, seniman Ukraina, seperti dikutip Sabra Ayres (2014) dalam In divided Ukraine, inspiration from a poet of the underdog.

 

Bagi para demonstran, Shevchenko adalah pahlawan Ukraina, yang karya-karyanya tentang bangsa dan pengabdiannya pada bahasa Ukraina menjadi inspirasi bagi kelahiran Ukraina yang baru. ”Pemerintahan baru ini terbentuk karena 1 juta orang datang ke Maidan, melakukan apa yang diperintahkan Shevchenko—berjuang untuk Ukraina,” kata perdana menteri terpilih Arseniy Yatsenyuk dalam pidato peringatan 200 tahun kelahiran Taras Shevchenko, Maret 2014.

 

”Kami tidak akan menyerahkan 1 sentimeter pun dari tanah kami. Presiden Rusia harus mengetahui hal ini,” kata Yatsenyuk, pemimpin baru pro-Barat.

 

Di tangan pemimpin sebelumnya, dokumen kesepakatan dengan Uni Eropa yang tinggal selangkah lagi untuk ditandatangani tiba-tiba dibatalkan. Yanukovych juga tidak mengesahkan hasil Referendum Krimea, di mana tak kurang dari 2 juta warga di Semenanjung Krimea memilih untuk menjadi bagian dari wilayah otonomi Ukraina.

 

Atas kekalahan itu, Rusia akhirnya melakukan intervensi militer untuk menguasai Krimea. NATO menuding aneksasi itu bertentangan dengan Memorandum Budapes 1994 mengenai kedaulatan wilayah Ukraina yang telah ditandatangani Rusia.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/CO4vsWfjzgqgQrtjGi5vjyutNF4=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F04%2F18%2F1853146e-5657-472a-af8f-9ba096ffc059_jpg.jpg

 

Menggunakan puisi

 

Kutipan puisi Shevchenko di atas sebenarnya tidak terlalu berkaitan dengan semangat kebangsaan Ukraina. Sebab, komposisi utuh dari Kavkaz lebih menggambarkan kuasa kekaisaran Rusia di wilayah Kaukasus. Teks populer itu ditulis bukan untuk mendukung Ukraina, melainkan untuk Sirkasia di Kaukasus utara yang dihancurkan oleh kekaisaran Rusia pada 1865.

 

”Shevchenko tidak punya tulang nasionalis di tubuhnya,” kata Rory Finnin, Direktur Pusat Studi Ukraina di Universitas Cambridge, sebagaimana dikutip Sabra Ayres (2014).

 

Menurut Sabra, ini bukan pertama kali citra Shevchenko dimanipulasi. Soviet juga menggunakan puisi Shevchenko selama Perang Dunia II guna menginspirasi rakyat Ukraina saat berperang melawan Jerman. Pelajar di Ukraina diajari membaca puisinya, hampir setiap kota di Ukraina memiliki patung Shevchenko, dan namanya abadi sebagai nama jalan.

 

Meski polemik soal politisasi karya-karya Shevchenko dalam atmosfir perang Rusia-Ukraina terus berlangsung, tarikh kepenyairan Shevchenko dapat memetakan kompleksitas problem kultural masa silam yang menyulut perlawanan rakyat Ukraina atas Rusia—yang kini memuncak pada perang terbuka.

 

Taras Shevchenko lahir pada 9 Maret 1814 di Desa Moryntsi, Ukraina. Orangtuanya petani-budak (serf peasant), kasta terbawah dari masyarakat yang tunduk kepada kekaisaran Rusia. Seperti dicatat Kateryna Martynova (2022) dalam Taras Shevchenko: Ukrainian Liberty Idol, Shevchenko kecil yang berbakat seni beruntung hidup di bawah naungan keluarga tuan tanah Pavlo Engelhardt.

 

Pavlo menghargai bakat menggambar Shevchenko dan memberinya peluang untuk belajar seni. Dari talenta yang terasah itu di usia 16 tahun, Shevchenko melahirkan lukisan perdana bertajuk The Bust of a Woman—kini tersimpan di Museum Nasional Taras Shevchenko, Kyiv, Ukraina.

 

Guna membesarkan reputasi Shevchenko, Pavlo membawa seniman junior itu ke St Petersburg. Di sanalah Shevchenko berjumpa seniman termasyhur Vasiliy Shiryaev, yang kemudian menjadi gurunya. Seniman Ukraina, Ivan Soshenko (1807-1876), memperkenalkan Shevchenko pada komunitas pelukis ternama, seperti Karl Brullov, Vasiliy Zhukovskiy, dan Alexei Venetsianov.

 

Pada 1838, Karl Brullov dan Vasiliy Zhukovskiy membebaskan Shevchenko dari status budak. Demi penebusan itu, Brullov melukis potret Zhukovskiy, sosok seorang guru, pewaris takhta Rusia. Keluarga kekaisaran ikut berpartisipasi dalam pelelangan itu.

 

Setelah resmi sebagai manusia bebas, Shevchenko dapat mencicipi pendidikan di Akademi Seni Kekaisaran. Dengan pengetahuan dan keterampilan artistiknya, ia diterima dalam lingkar pergaulan kaum intelektual bangsawan Rusia.

 

Kobzar (1840) tercatat sebagai salah satu karya penting Taras Shevchenko. Judul itu diambil dari nama grup penyair jalanan Ukraina, kobzari. Di Ukraina ada tradisi kepenyairan, di mana sekelompok penyair mengembara dari satu daerah ke daerah lain. Mereka menyanyikan sajak-sajak epik dengan iringan kobza (kecapi Ukraina).

 

Lewat Kobzar, Shevchenko mengisahkan perjalanan para penyair yang tergabung dalam kobzari. Baginya, kobzari menempati posisi sentral dalam identitas Ukraina, mereka menulis lirik tentang kehidupan sehari-hari dan membahasakan perjuangan orang-orang Ukraina dalam melawan Rusia.

 

Kobzari telah membentuk semacam tradisi lisan dan memberikan bahasa kepada orang Ukraina untuk mengungkapkan derita akibat diskriminasi kekaisaran Rusia. Namun, kuasa Rusia yang terus menepikan identitas budaya Ukraina mengakibatkan kobzari itu dilenyapkan pada 1932.

 

Atas perintah Stalin, mereka diundang oleh Soviet ke sebuah kongres di Kharkiv. Tak lama setelah tiba, mereka dibawa ke luar kota, lalu ditembak mati semua.

 

Seorang janda disalibkan untuk pajak/sementara mereka mengemudi/Putra satu-satunya/Satu-satunya harapannya/dalam rantai tentara/Di sana, lebih banyak yang mati daripada yang hidup/Seorang bayi kelaparan di samping pagar/Menunggu Ibunya/dari tanah tuan feodal/Dan di sana, kau lihat?/Mataku, mataku…

 

Begitu penggalan puisi yang dikutip Kelly O’Neill (2018) dari terjemahan Inggris atas buku puisi bertajuk ”Poltava” (1844). Tentang keluarga yang dipajaki dalam kemiskinan, sementara anak laki-laki mereka menjalani wajib militer seumur hidup. Shevchenko mengontraskan keluarga petani-budak Ukraina dengan tuan feodal yang memperoleh kekayaan dari derita mereka.

 

Setelah pulang ke Kyiv, Shevchenko bergabung dengan organisasi pembebasan Ukraina, Society of Cyril and Methodius. Pada 1847, Shevchenko ditangkap karena puisi-puisi revolusionernya. Ia dihukum dalam pengasingan 10 tahun dan dilarang berkarya. Kebrutalan selama menjalani hukuman melemahkan fisik Shevchenko hingga ia meninggal di St Petersburg pada 1861.

 

Api perlawanan yang tersulut dari karya-karya Shevchenko membuat rakyat Ukraina sejak lama ingin lepas dari bayang-bayang Rusia. Menjadi bagian dari Uni-Eropa dan apabila perlu mendaftarkan diri sebagai anggota NATO.

 

Namun, kekecewaan Rusia sejak kehilangan saudara kecilnya (Ukraina) rupanya menyulut murka. Kota-kota di Ukraina—tempat patung-patung pujangga idola berada—porak poranda. Namun, semakin keras amuk Rusia, semakin membara pula gairah Ukraina untuk melenyapkan jejak kultural Rusia di tanah air mereka.

 

Oleksandra Koval, Direktur Institut Perbukuan Ukraina, mengklaim akan menurunkan lebih dari 100 juta buku asal Rusia dari rak-rak perpustakaan umum, termasuk karya-karya sastrawan besar Rusia, Dostoyevsky dan Pushkin. Seperti dilaporkan www.mronline.org (9/6/22), buku-buku itu akan dikirim ke pusat daur ulang kertas. Koval menjelaskan, rencana pemusnahan buku itu adalah upaya Pemerintah Ukraina menghancurkan ”literatur berbahaya” karena buku-buku yang berakar dari sastra Rusia adalah ”konten anti-Ukraina”.

 

Beberapa pekan selepas serangan Rusia ke Ukraina, sebuah universitas di Italia membatalkan satu sesi kuliah tentang novelis Rusia Fyodor Dostoevsky dengan dalih untuk menghindari kontroversi. ”Apakah mungkin memisahkan teks dari negara asalnya?” tanya Maya Kokerov (2022) dalam Banning Russian literature ignores its rich history of encouraging readers to question tyranny.

 

Menurut Maya, sastra telah menyatukan mereka (Rusia-Ukraina) di masa-masa kelam, yang digambarkan sangat jernih oleh para penulis klasik Rusia. ”Nama musuhnya Putin, bukan Pushkin, Tolstoy, atau Akhamatova,” kata Deniz Yucel, presiden asosiasi penulis (PEN) Jerman, menyindir politik sastra yang bersemangat saling memusnahkan itu.

 

Otoritas Ukraina—di bawah pimpinan tokoh muda berpikiran maju, Volodymyr Zelensky—yang hendak melenyapkan karya-karya Puskin, Tolstoy, Dostoevsky, tentu mengingatkan kita kepada Tsar Nicholas I yang pernah mengasingkan Taras Shevchenko dan menyumbat kebebasan berkaryanya.

 

Tetapi, begitulah politik sastra dalam perang saudara Rusia-Ukraina. Tugu-tugu penghormatan atas Shevchenko di Ukraina rata tanah akibat rudal Rusia. Pada saat yang sama, lembaran-lembaran dari buku tebal karya pujangga Rusia, seperti War and Peace, Crime and Punishment, The Brothers Karamasov, dibubukkan oleh mesin-mesin penghancur kertas. Perang akan membuat yang satu jadi abu dan satunya lagi jadi arang

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/20/politik-sastra-dalam-perang-saudara

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar