Jumat, 29 Juli 2022

 

Citayam Fashion Week

”Kami Cuma Butuh Ruang...”

Riana A Ibrahim dan Elsa Emiria Leba :  Wartawan Kompas

KOMPAS, 24 Juli 2022

 

                                                

 

Nama Citayam-Bojong Gede, Jawa Barat, kini mendadak menjadi buah bibir di dunia maya dan di dunia nyata. Serbuan anak muda dari Citayam dan daerah lain melantai ke jantung Ibu Kota untuk mencari tempat nongkrong justru ”mendiktekan” tren gaya hidup urban ala mereka. Dari pakaian, perilaku, hingga deretan istilah khas.

 

Citayam sudah ada sejak zaman Belanda. Lokasi perkebunan dan persawahan dengan setu yang mengairi dikendalikan oleh tuan tanah Belanda kala itu. Ratusan tahun berselang diikuti revitalisasi jalur kereta api Jakarta-Bogor yang melintas, kebun dan sawah bersalin rupa menjadi rumah penduduk yang sebagian tergusur dari Ibu Kota.

 

Hanya setu yang masih bertahan meski luasannya berkurang. Setu Citayam namanya yang menjadi pusat kehidupan warga setempat. Dari pinggir setu ini, cerita bermula.

 

Sekitar lima menit melewati gang sempit selebar 1,5 meter dengan pemandangan rumah-rumah petak tua berdempetan dan sampah rumah tangga yang tidak terurus di luarnya, hamparan setu berwarna hijau menyambut. Terlihat kapal eretan di beberapa titik untuk menghubungkan kampung satu dan lainnya yang terpisah dengan setu.

 

Jika mengacu pada penanda arah di Stasiun Citayam, kampung yang mengitari Setu Citayam itu merupakan Kampung Lio. Sementara warga setempat menyebut kampung yang terletak di seberang Stasiun Citayam ini sebagai Kampung Pinggir Setu.

 

Di siang yang terik itu, warga memancing atau sekadar duduk sambil ngobrol. Sementara itu, anak-anak menikmati udara luar sambil duduk di pinggir setu. Ada juga yang bermain atau berlarian ke sana kemari sambil saling menggoda dan tertawa meski tidak banyak ruang.

 

Namun, begitu mendengar kata SCBD yang merupakan akronim dari Sudirman-Citayam-Bojong Gede-Depok, aktivitas mereka terhenti sejenak dan dengan fasih menyebutkan beberapa nama yang sedang naik daun dari fenomena itu.

 

Bahkan, sebagian remaja yang tengah ngadem di gubuk desa yang juga menjadi tempat mengaji itu merupakan para pemuda yang ikut meramaikan Dukuh Atas, Jakarta, yang saat ini viral. Ada juga kelompok remaja yang tengah asyik kongkow di sebuah warung kopi dengan konsep perdesaan dekat gubuk desa itu. Mereka juga pernah menghabiskan waktu di Dukuh Atas.

 

”Ke sana, ya, cuma duduk-duduk gabut, ngopi aja. Ada yang bikin konten juga. Pemandangannya enak di sana. Di sekitaran sini enggak ada yang begitu. Ga pengin banget juga viral, dikata kita seleb apa. Cuma butuh ruang. Ha-ha-ha,” ujar Perdiansyah (16), remaja Kampung Lio, Citayam, yang disepakati oleh keempat temannya yang saat itu juga sedang ngopi dan bermain gitar.

 

Mereka mengaku senang jika unggahan mereka di media sosial direspons dengan banyak likes atau berhasil menambah follower. Itu pun sebenarnya tertuju hanya pada lingkaran pertemanannya, bukan yang kemudian menyebar luas tak terkendali, bahkan viral nyatanya membuat mereka tak nyaman. Seperti Ali yang masuk salah satu akun konten kreator Tiktok dan videonya ditonton hingga 3,4 juta viewers sejak diunggah pada 16 Juni 2022.

 

”Nyesel juga. Jadi dikatain gitu, ya, di sekolah, ya, di sini (di lingkungan rumah) juga. Datang ke sana cuma ikut teman aja, main. Ada yang ngajak wawancara. Ditanya mau nembak apa enggak. Padahal, ketemunya sama cewek itu, ya, di situ. Enggak lagi, deh,” ujar Ali Uroihdi (15) ketika dijumpai di dekat rumahnya seusai memancing belut di dekat setu.

 

Ia memancing belut untuk mencari uang tambahan sepulang sekolah. Belutnya dijual dengan hitungan per ember. Uang dari berjualan belut itu kadang digunakan untuk beli kuota, kadang digunakannya untuk ongkos main ke Dukuh Atas. ”Pas yang terus viral itu, cuma bawa Rp 12.000, belum termasuk beli tiket kereta. Biasanya kadang Rp 50.000 atau Rp 40.000 ribu,” ujar Ali yang ibunya bekerja di kantin dan ayahnya marbot mushala.

 

Ali masih sekolah, sementara Perdiansyah, Riana Gita (16), Muhammad Rizky (17), dan Ahmad Faisal (17) sudah tak lagi bersekolah. Lepas SMP, mereka tak berkesempatan lagi untuk meneruskan pendidikan. ”Masih pengin sekolah. Cita-citanya pengin jadi dokter tadinya, tapi dari orangtua enggak bisa sekolah lagi,” ungkap Gita yang sempat bekerja di pabrik.

 

Rizky Nur Nabila (16) pernah ingin menjadi pilot, tetapi kini dirinya bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah kantor di Tambun setelah putus sekolah. Pergi ke Dukuh Atas pun seolah menjadi pelepas rasa penat sekaligus mencuci mata dengan suasana baru. Terlebih lagi lokasinya mudah dijangkau dengan ongkos yang murah menggunakan kereta rel listrik yang kini terhubung.

 

”Ada di Cibinong, tapi beda. Lagian kalau ke situ ribet, enggak punya motor kitanya, kan. Ini tinggal jalan kaki udah stasiun. Bolak-balik juga cuma Rp 8.000,” ujar Rizky.

 

Terjangkau

 

Alasan ini pula yang membawa Rahmawati (18) dan Salsabila (15) dari Kampung Utan masuk ke gerbong kereta rel listrik di Stasiun Citayam, Bogor, Jawa Barat, Rabu (20/7/2022) sore itu. Kedua kakak beradik ini mengenakan kaus gombrong, celana baggy jeans, dan sepatu kets hits. Rupanya mereka sudah janji bertemu Gayo (18) dan Akmal (15) yang naik dari Stasiun Depok.

 

Sesampainya di Dukuh Atas, mereka duduk di tangga seberang hotel Holiday Inn Express. Kondisinya cukup ramai. Ratusan pengunjung tengah menonton ”peragaan busana” dadakan dari anak muda modis yang melangkah di atas zebra cross. Ada pula yang memilih untuk duduk di Warung Dua yang bersisian dengan kedai kopi kekinian. Warung Dua menawarkan jajanan, seperti gorengan, kopi, dan minuman dingin, dengan harga murah.

 

Tak sedikit yang memilih berwara-wiri sambil sibuk berkenalan agar diperhatikan dan diajak membuat konten atau hanya duduk-duduk saja sambil membeli minuman dingin dari abang penjaja kopi bersepeda yang dikenal dengan starling atau Starbucks keliling. Sementara di sekeliling mereka banyak orang yang wajahnya cukup familier di sosial media sedang asyik membuat konten berbaur dengan media yang juga ingin mengabadikan momen keramaian itu.

 

Riuhnya usai viral sebutan Citayam Fashion Week di media sosial dari sebuah akun Tiktok yang menyoroti gaya berpakaian anak-anak mejeng di sekitaran Dukuh Atas itu memiliki dua sisi. Sebagian menikmati dan berharap bisa juga kecipratan tenar, sebagian lagi ada yang merasa malas karena niatnya sederhana saja untuk bermain. Kalaupun membuat konten memang tidak ditujukan untuk khalayak luas.

 

Dukuh Atas sendiri tidak hanya berisi anak-anak Citayam. Ada dari Tangerang, Bekasi, Rangkas Bitung, hingga dari sekitaran Jakarta, seperti Kemayoran, Klender, dan Tanjung Priok. Sebagian dari mereka putus sekolah. Mereka sudah menjajaki kawasan itu sejak 2019. Namun, pada 2021, setelah kondisinya semakin dipercantik dan pembatasan karena pandemi mulai longgar, jumlah yang datang pun makin banyak.

 

Baru pada awal 2022, para konten kreator membuat konten di sana dengan konsep mewawancarai mereka yang nongkrong berbingkai hubungan asmara si remaja. Pertama kali, justru nama Nadia dan Tegar yang muncul. Kemudian, muncul nama pemengaruh baru.

 

Hingga memasuki pertengahan Juni 2022, bertepatan dengan libur sekolah yang meningkatkan jumlah pengunjung di kawasan itu, sebuah akun Tiktok sengaja memotret aneka gaya mereka, lalu diberi sebutan Citayam Fashion Week, yang semula bernada sinis, tetapi justru ditangkap berbeda oleh anak-anak tersebut. Mereka malah jadi getol berdandan.

 

”Walau Citayam beda sama kota, tapi gaya dan outfit kami enggak kalah keren dari orang Jakarta, kayak anak Jaksel. Aku jadi bangga aja orang tahu Citayam gitu,” kata Rahmawati tersipu.

 

Perebutan ruang

 

Pengamat komunikasi dan gaya hidup Idi Subandy menilai, ramainya kawasan Dukuh Atas yang mengantarkan pada fenomena Citayam Fashion Week ini terjadi karena kerinduan besar anak muda akan ruang berekspresi setelah pandemi dan kebutuhan ruang publik yang layak untuk hiburan dan rekreasi.

 

Citayam, lanjut Idi, merupakan representasi daerah-daerah yang mengalami peminggiran ruang dan psikologis. Citayam ini masuk kecamatan Tajur Halang, kabupaten Bogor. Mengacu pada Badan Pusat Statistik, Kabupaten Bogor memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak nasional, yakni 491,24 ribu pada Maret 2021.

 

”Kehadiran mereka di sana, termasuk yang di bawah secara ekonomi, menunjukkan siapa pun bisa merebut ruang itu dan kesenjangan seolah hilang,” kata Idi.

 

Apalagi jika fenomena ini muncul secara organik, tanpa penggerak, maka bisa bertahan lama, bahkan ditiru daerah lain. ”Biasa yang tumbuh dari bawah akan sulit hilang, kecuali interaksi yang terjadi membuatnya menjadi ruang interaksi yang negatif,” ujar Idi.

 

Di sisi lain, bentuk ekspresi anak muda lewat busana ini dapat dipandang sebagai bentuk perlawanan atas selera arus utama yang dikuasai kalangan mapan meski tidak ada niat dari para anak muda itu untuk melakukan perlawanan seperti yang terjadi di Jepang dengan Harajuku atau di Eropa pasca-Perang Dunia II. Mereka hanya sesederhana mencari ruang yang sesuai untuk menghibur diri dan bersosialisasi.

 

Seperti tak mau kalah atau tertinggal, para politisi hingga pesohor ikut juga beraksi di sana. Anak-anak tersebut kembali hanya sebagai penonton yang menyaksikan si populer mencuri perhatian. Walau sebagian mengaku aksinya sebagai bentuk rangkulan kepada anak-anak ini dengan mengajari cara bergaya hingga mengajak kolaborasi, terasa ironis mengingat sebelumnya dari kalangan ini kerap sinis dan menjadikan anak-anak ini olok-olokan.

 

”Kehadiran elite di sana bisa dilihat dari dua sisi. Bisa juga sebagai pencaplokan ruang kreativitas yang sudah dibuat orang lain untuk membangun citra atau bisa sebagai legitimasi tempat itu cocok untuk melakukan hal kreatif,” kata Idi.

 

Fenomena yang disebut juga sebagai Haradukuh ini sejatinya bisa menjadi bentuk kritik juga bagi pemerintah di daerah luar Jakarta itu agar tidak sibuk membangun gedung atau perumahan saja, tetapi abai dengan kesejahteraan warganya, termasuk pemenuhan ruang publik yang memadai dan menarik. Meski di sisi lain, Jakarta pun menjadi lebih inklusif untuk semua kalangan.

 

Sekali lagi, mereka hanya para remaja yang mencari ruang untuk berekspresi. Tak perlu juga mereka yang bergelimang ruang dengan segala privilesenya ikut nebeng bertameng alasan bijak. Apa salahnya memberikan mereka sedikit privasi di tengah keterbatasan ruang dengan tetap diarahkan agar mereka mampu menjadi versi terbaik dari diri mereka dan tidak kebablasan.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/gaya-hidup/2022/07/23/kami-cuma-butuh-ruang

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar