Selasa, 26 Juli 2022

 

Masa Depan Industri Kelapa Sawit

Bustanul Arifin: Guru Besar Universitas Lampung, Ekonom Indef, Ketua Umum Perhepi

KOMPAS, 22 Juli 2022

 

                                                

 

Industri kelapa sawit Indonesia mengalami episode drama mencekam yang mungkin tak pernah diperkirakan. Fluktuasi harga sangat tinggi dan nyaris liar, baik untuk tandan buah segar di hulu maupun minyak sawit mentah dan produk turunannya di hilir.

 

Perhatian para pemangku kepentingan industri sawit banyak tertuju pada ”gangguan” eksternal, terutama tindakan diskriminatif Uni Eropa (UE) yang merugikan minyak sawit mentah (CPO) Indonesia. Indonesia mendaftarkan gugatan hukum kebijakan renewable energy directives (RED) II UE ke Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/ DSB) di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

 

Di dalam negeri, drama industri sawit dipicu oleh kebijakan ekstrem larangan ekspor CPO dan produk turunannya pada April 2022. Larangan ekspor itu lebih banyak karena mispersepsi yang mengira produsen minyak goreng kekurangan pasokan bahan baku CPO sehingga harganya mahal.

 

Beberapa instrumen kebijakan telah dikeluarkan, bahkan berubah berkali-kali dalam kurun waktu dua bulan. Misalnya, harga eceran tertinggi (HET), domestic market obligation (DMO), dan domestic price obligation (DPO) bagi produsen CPO. Walau berlangsung kurang dari satu bulan, kebijakan itu berdampak sangat dahsyat.

 

Harga tandan buah segar (TBS) turun drastis sampai titik terendah karena banyak pabrik kelapa sawit tidak mampu lagi membeli TBS. Ekspor CPO tersendat, kontrak penjualan tidak mudah disepakati karena pasar menunggu apakah akan ada kejutan kebijakan lagi atau tidak.

 

Artikel ini menganalisis dinamika industri kelapa sawit, dari hulu sampai hilir, terutama setelah petani di hulu dan industri CPO di hilir sama-sama kesulitan dalam pemasaran.

 

Tingkah laku pasar CPO

 

Studi akademik dan empiris tentang tingkah laku pasar CPO telah banyak dilakukan, baik pasar spot maupun pasar berjangka. Determinan efisiensi pasar CPO amat tergantung karakter permintaan dan penawaran, kekuatan pasar (market power) segenap lapisan pelaku sampai tingkat negara, dinamika pasar internasional, sertifikasi berkelanjutan, dan lain-lain.

 

Dimensi diplomasi ekonomi juga mewarnai kinerja perdagangan internasional, pengembangan produk turunan, rantai nilai global, referensi harga internasional, dan lain-lain.

 

Pada periode awal lockdown karena pandemi Covid-19, harga CPO pernah anjlok sampai 574 dollar AS/ton dan membuat pasar CPO global terkesan lesu. Harga TBS di tingkat petani jatuh di bawah Rp 1.000/kilogram, suatu pukulan berat bagi petani sawit. Pemangku kepentingan dari unsur pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat madani berdiskusi intensif, hingga sampai pada keputusan kebijakan untuk meningkatkan permintaan CPO dalam negeri.

 

Opsi pengembangan biofuels B-30 dianggap pilihan tepat karena Indonesia mengadopsi kebijakan transisi energi menuju ramah lingkungan dan mendukung energi baru terbarukan.

 

Secara perlahan tapi pasti, harga CPO naik signifikan sampai 1.300 dollar AS per ton pada akhir 2021. Harga TBS naik sampai di atas Rp 2.500 per kilogram dan mampu menjaga kinerja perekonomian daerah, di tengah ancaman resesi ekonomi karena Covid-19.

 

Hampir semua pelaku industri sawit di hulu dan di hilir menikmati harga tinggi, sebagai windfall profit dari tingginya harga CPO di pasar global. Bahkan, tingginya harga CPO pernah menghambat implementasi program peremajaan sawit rakyat (PSR). Kinerja PSR 2021 hanya 30 persen, sangat jauh dari target 200.000 hektar PSR.

 

Petani sawit rakyat enggan menebang pohon sawit tua dan menggantinya dengan sawit muda dari bibit unggul. Harga TBS tinggi petani menjadi insentif tersendiri untuk memanen buah sawit seoptimal mungkin. Petani tidak ingin kehilangan kesempatan berharga dari windfall profit harga CPO dan TBS di lapangan.

 

Meski demikian, tingginya harga CPO juga melonjakkan harga minyak goreng di atas Rp 20.000 per kilogram, bahkan menjadi kontributor utama inflasi di banyak daerah. Upaya pemerintah menetapkan HET minyak goreng kemasan Rp 14.000 per kilogram tak mampu menahan kenaikan harga, bahkan menyebabkan kelangkaan dan memicu antrean minyak goreng di beberapa tempat.

 

Ancaman pencabutan izin ekspor CPO bagi pelaku yang tak memenuhi DMO dan DPO menjadi faktor insentif negatif bagi sistem distribusi dan rantai nilai produk kelapa sawit. Puncaknya ialah larangan ekspor CPO dan produk turunannya pada 28 April 2022 walaupun dicabut kembali pada 20 Mei 2022. Akibatnya, harga CPO di pasar domestik KPB (Inacom) anjlok sampai rekor terendah Rp 8.000/kilogram akhir Juni. Harga TBS petani juga anjlok 70 persen, hingga menyentuh Rp 800/kilogram di petani swadaya.

 

Upaya mitigasi kerusakan

 

Petani sawit memilih tak memanen TBS karena hasil penjualannya belum mampu untuk menutup biaya panen. Perusahaan perkebunan juga menahan panen TBS, rotasi panen ke boiler tersendat karena ekspor CPO belum normal. Akibatnya, kandungan asam lemak bebas (free fatty acid/FFA) cenderung meningkat dan berbahaya bagi kesehatan. Biaya inventori perusahaan naik karena arus kas penjualan turun drastis.

 

Pelaku industri sawit, mulai dari petani, perusahaan perkebunan, hingga pabrik sawit, saat ini sedang mengalami cobaan yang cukup berat. Sementara itu, pasar ekspor CPO di India dan China turun sekitar 10 persen sebagai imbas dari pelarangan ekspor Indonesia dan kondisi pertumbuhan ekonomi rendah dan inflasi tinggi (stagflasi) yang melanda perekonomian global.

 

Pemerintah masih berusaha menurunkan harga minyak goreng, baik curah maupun kemasan sederhana, mengeluarkan ketentuan ekspor CPO, serta menetapkan kebijakan DMO baru dan flush-out (FO).

 

Pada DMO lama, perusahaan sawit menyisihkan CPO untuk DMO, lalu mengajukan izin ekspor. Pada DMO baru, perusahaan wajib mendistribusikan minyak goreng, lalu mendapatkan perhitungan hak ekspor.

 

Namun, kondisi lapangan belum juga normal. Sampai Juli 2022, stok CPO dalam negeri berlimpah hingga lima juta ton. Realisasi ekspor tak sesuai target tiga juta ton pada Juni 2022, dengan sekian kebijakan itu.

 

Sebenarnya ekspor produk sawit lain, seperti minyak inti sawit (PKO), biodiesel, dan oleokimia tak banyak terganggu, sebagaimana ekspor CPO dan turunannya. Tanpa bermaksud mengubah-ubah kebijakan seperti awal 2022, berikut beberapa opsi solusi yang bisa dipertimbangkan untuk menjaga masa depan industri sawit Indonesia, dari hulu hingga hilir.

 

Pertama, penyesuaian struktur harga TBS yang lebih fair karena perbedaan harga TBS pada petani sawit swadaya dengan petani mitra sangat lebar. Perbaikan strategi pembinaan dan pendampingan ke petani sawit swadaya, penguatan kelembagaan, dan jika diperlukan perbaikan ketentuan peraturan perundangan yang melingkupinya.

 

Kedua, relaksasi DMO melalui batas atas dan batas bawah, sesuai kinerja distribusi setiap perusahaan, dengan ketentuan monitoring dan evaluasi secara berkala. Ketiga, percepatan program ekspor CPO sampai kondisi mengarah normal, misalnya tak harus mempertimbangkan flush-out dan yang jadi sumber beban baru. Masa depan industri sawit amat bergantung pada akurasi dan kredibilitas kebijakan di masa sulit seperti sekarang ini.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/21/masa-depan-industri-kelapa-sawit

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar