Senin, 25 Juli 2022

 

Ulah KKB di Papua

Bagong Suyanto :  Dekan FISIP Universitas Airlangga

REPUBLIKA, 19 Juli 2022

 

 

                                                           

Alih-alih berakhir, tindak kekerasan oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua kembali meletup. Eskalasi kekerasan yang diharapkan berkurang, justru malah berkembang makin luas.

 

Kasus terakhir, KKB pimpinan Egianus Kogoya menewaskan 10 warga sipil tak bersalah di Kampung Nogolait, Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga, Papua, Sabtu (16/7). Egianus Kogoya dan rekannya, Army Tabuni, memimpin 50 orang KKB yang dipersenjatai 40 pucuk senjata api.

 

Dalam beberapa tahun terakhir, KKB di Papua tak lagi hanya menyerang aparat kepolisian dan keamanan tetapi makin kerap menyasar masyarakat sipil.

 

KKB yang sehari-hari bersembunyi di hutan, tatkala masuk ke sebuah distrik untuk mencari makanan dan dukungan, biasanya tanpa alasan jelas menyerang warga setempat dan pekerja proyek yang dinilai tidak mau mendukung perjuangan mereka.

 

Masyarakat sipil korban serangan KKB sebagian besar pekerja infrastruktur. Tujuannya, membatalkan atau paling tidak menghambat pembangunan fasilitas sosial-ekonomi yang bermanfaat bagi masyarakat lokal.

 

Tidak hanya menyerang warga sipil, di berbagai daerah KKB dilaporkan merusak dan membakar sejumlah fasilitas publik. Apa sebetulnya akar masalah dan pemicu perkembangan ulah KKB yang makin mencemaskan?

 

Kesulitan

 

Sepanjang 2022, tercatat puluhan kali serangan KKB. Minimal 45 kali serangan antara lain di Kabupaten Yahukimo, Intan Jaya, Puncak, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, dan Nduga. Puluhan warga sipil dilaporkan tewas. Jalan kekerasan yang dipilih KKB tampaknya sudah bulat.

 

Dialog yang ditawarkan pemerintah dan imbauan tokoh serta pimpinan agama tampak tak lagi efektif. Bagi KKB, memperjuangkan referendum dan kemerdekaan Papua tak mungkin lagi di meja perundingan.

 

Meski upaya dilakukan aparat untuk mempersempit ruang gerak KKB menjalankan aksi terornya tetapi bukan hal mudah. Secara garis besar, dua kesulitan dihadapi aparat sehingga tak kunjung berhasil meredam KKB.

 

Pertama, terkait dukungan dana dan pasokan senjata api yang titik simpulnya tak juga berhasil diputus. Sepanjang KKB masih memiliki senjata dan amunisi, konflik di Papua tak akan berakhir dan warga tak bersalah menjadi korban.

 

Berdasarkan data Aliansi Demokrasi untuk Papua, di Tanah Papua perdagangan senjata melibatkan paling tidak 51 pelaku, penyalahgunaan 52 pucuk senjata api, dan 9.605 butir amunisi. Setidaknya, itu terjadi pada 2011 hingga 2021. Dana pembelian mencapai Rp 7,2 miliar.

 

Pelaku perdagangan, berasal dari sejumlah kalangan. Selain 31 warga sipil, 20 orang di antaranya oknum anggota TNI/Polri.  Jual beli senjata untuk KKB terjadi di Sorong, Manokwari, Biak, Serui, Nabire, Wamena, Timika, Jayapura, Yahukimo, Pegunungan Bintang dan Merauke.

 

Kedua, wilayah Papua yang banyak hutan belantara dan pergunungan mempersulit aparat melakukan pengamanan dan menangkap pelaku teror.

 

Menurut data Polda Papua, sejak 2016 hingga kini terjadi 12 kasus penyerangan pekerja yang melaksanakan pembangunan Trans-Papua dan infrastruktur lainnya, seperti di Puncak, Nduga, Intan Jaya, dan Yahukimo.

 

Serangan terbesar KKB ketika kelompok Egianus Kogoya menyerang 28 pekerja PT Istaka Karya pada 2 Desember 2018 di Bukit Kabo, Distrik Yigi, Kabupaten Nduga.

 

Sebanyak 17 orang dilaporkan meninggal, tujuh orang selamat, dan sejumlah orang dikabarkan belum ditemukan. Hingga kini, hampir 50 orang pekerja infrastruktur meninggal dan 11 pekerja luka berat akibat serangan KKB.

 

Distrust

 

Banyak studi memperlihatkan, persoalan dan akar kekerasan KKB di Papua tak hanya terkait ekonomi,  juga faktor historis yang belum tuntas. Kekerasan dan pelanggaran HAM selama pendekatan keamanan di Papua, membuat konflik tak kunjung terselesaikan.

 

Perubahan pendekatan operasi keamanan menjadi kesejahteraan sepertinya belum berhasil menarik minat sekaligus menyadarkan anggota KKB agar tak menghalalkan segala cara untuk melawan pemerintah.

 

Secara substansial, yang dilakukan dan berkecamuk di kalangan KKB di Papua bukan sekadar karena ketidakpercayaan (distrust). Di mata KKB, pendekatan ekonomi kesejahteraan belum dianggap jawaban karena bagi mereka yang terpenting  kemerdekaan.

 

Peristiwa  di Kampung Nogolait, Distrik Kenyam, Nduga memperlihatkan, KKB sepertinya memilih jalan tersendiri meski  berisiko membuat orang lokal yang semula mendukung perjuangan KKB memerdekakan Papua, kini bukan tidak mungkin berbalik arah.

 

KKB tampaknya tidak lagi peduli konsekuensi yang bakal terjadi jika ulah mereka memantik reaksi kurang simpati dari masyarakat lokal. Untuk mempersempit gerak KKB, kini aparat harus transparan dan menggandeng penduduk lokal.

 

Sepanjang hanya mengandalkan pendekatan keamanan dan tak melibatkan  masyarakat lokal, persoalan ketidakadilan dan dendam masa lalu terus memicu perlawanan, baik dengan aksi damai menuntut referendum, diplomasi di luar negeri, maupun aksi bersenjata. ●

 

Sumber :  https://www.republika.id/posts/30041/ulah-kkb-di-papua

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar