Selasa, 26 Juli 2022

 

Benahi Karut-marut Industri Sawit

Hariadi Kartodihardjo : Guru Besar Kebijakan Kehutanan, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan. IPB University

KOMPAS, 22 Juli 2022

 

                                                

 

Pemerintah telah menginstruksikan kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau BPKP untuk mengaudit tata kelola industri sawit, dari hulu hingga hilir. Langkah ini diharapkan bisa membenahi industri yang telah melibatkan 16,2 juta orang serta penghasil devisa mencapai 35 miliar dollar AS per tahun itu (Kompas, 8/7/2022).

 

Langkah besar ini sangat diharapkan keberhasilannya, terutama jika dikaitkan dengan upaya mengatasi persoalan di hulu. Misalnya untuk menghapus isu-isu utama perkebunan sawit, seperti deforestasi dan pelanggaran HAM, ataupun persoalan strukturalnya, seperti penggunaan kawasan hutan dan konflik lahan, ketimpangan produktivitas antara perkebunan besar dan rakyat, serta masalah peremajaan tanaman tua.

 

Pelanggaran di lapangan

 

Untuk mengenali berbagai persoalan di lapangan, baik yang bersifat umum maupun spesifik, selama dasawarsa terakhir telah dilakukan beberapa studi dan telaah kebijakan yang bisa digunakan sebagai ”pustaka” dalam menjalankan prakarsa pemerintah ini. Termasuk mencermati hambatan pembuatan dan implementasi kebijakan di masa lalu.

 

Pertama, persoalan pelaksanaan regulasi dan alokasi dana sawit. Studi mendalam mengenai perizinan kebun sawit oleh KPK pada 2016 menemukan antara lain adanya kelemahan sistem pengendalian perizinan, lambatnya pelaksanaan industrialisasi yang dapat meningkatkan nilai tambah, lemahnya kebijakan fiskal, lemahnya sistem pengendalian penerimaan pajak, dan tidak teralokasikannya penggunaan dana perkebunan sesuai dengan peraturan perundangan.

 

Awal 2022, DPRD Riau melaporkan, alokasi dana untuk petani di Riau dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS ) hanya 4,75 persen, sementara alokasi ke perusahaan besar sebesar 27 persen untuk luasan yang kurang lebih sama. Semua persoalan mengenai lemahnya kapasitas pemerintahan yang ditemukan itu hingga kini masih menggantung dan belum ada dorongan penyelesaian yang semestinya.

 

Kedua, kebun sawit di dalam kawasan hutan negara. Audit oleh DPRD Provinsi Riau pada 2106/2017 dan upaya revitalisasi ekosistem Tesso Nilo di Riau oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2016-2018 menemukan antara lain adanya indikasi sekitar 1,8 juta hektar kebun sawit di Provinsi Riau berada dalam kawasan hutan negara.

 

Di provinsi ini juga terdapat potensi tak terbayarnya pajak dan penerimaan negara bukan pajak hingga 40 persen lebih. Temuan sudah dibahas bersama Kanwil Perpajakan Provinsi Riau, tetapi belum terpecahkan.

 

Dalam pelaksanaan revitalisasi ekosistem seluas 916.343 hektar juga ditemukan 201 lokasi kebun sawit di dalam kawasan hutan negara, baik dalam hutan produksi maupun hutan konservasi. Sekitar separuhnya sudah selesai dilakukan inventarisasi yang menghasilkan data siapa nama yang mengerjakan, berapa luas, dan di mana lokasinya. Namun, hingga saat ini belum ada tindak lanjutnya.

 

Keterlibatan pemda dan instrumen negara

 

Pada kondisi demikian itu, terdapat indikasi bahwa Pemerintah Provinsi Riau membela keberadaan sawit di dalam kawasan hutan, melalui penataan ruang yang ditetapkan berdasarkan Perda No 10/2018. Penataan ruang itu menyimpang karena di dalamnya antara lain dinyatakan bahwa kawasan lindung gambut hanya seluas 21.615 hektar (0,43 persen) dari 4.972.482 hektar lahan gambut yang ada. Melalui uji materi oleh kelompok masyarakat sipil, tata ruang itu telah dibatalkan oleh MA melalui keputusan No 63P/HUM/2019.

 

Ketiga, evaluasi terhadap pelaksanaan moratorium berdasarkan Instruksi Presiden No 8/2018 mengenai penundaan dan evaluasi perizinan serta peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit menunjukkan bahwa pelaksanaan inpres ini tak cukup berhasil. Dari 239 kabupaten yang punya kebun sawit, hasil telaah Christine Sani pada 2021 menunjukkan hanya lima kabupaten yang merespons kebijakan ini secara positif melalui kebijakan daerah.

 

Belajar dari telaah ketiga dan keempat itu, disarankan BPKP dalam melaksanakan audit, tak hanya melakukan tinjauan kesesuaian administrasi perusahaan dengan cara check list karena dapat ditemukan bahwa yang bermasalah justru instrumen negara yang dijadikan standar penilaian.

 

Tidak dapat disangkal kemungkinan ada konflik kepentingan antara pemberi izin dan perusahaan. Dalam kasus penataan ruang itu, dapat disebut sebagai korupsi dengan menggunakan instrumen negara (state capture corruption), di mana acuan dasar tata ruang—jika tak dibatalkan MA—sudah berisi pengaturan ruang yang dapat menguntungkan pihak tertentu.

 

Pelanggaran HAM berat

 

Keempat, kasus pelanggaran HAM. Kajian Amnesty International pada 2016 menemukan adanya pelanggaran HAM berat, termasuk kerja paksa dan pekerja anak, diskriminasi jender, serta praktik kerja eksploitatif dan berbahaya, yang berisiko pada kesehatan pekerjanya.

 

Pelanggaran yang teridentifikasi bukanlah insiden terisolasi, melainkan akibat dari praktis bisnis sistematis oleh anak perusahaan dan pemasoknya, terutama terkait rendahnya upah, penggunaan target dan upah borongan, ataupun penggunaan sistem hukuman finansial dan lainnya yang kompleks. Pekerja, terutama perempuan, dipekerjakan berdasar perjanjian kerja lepas, membuat mereka rentan terhadap pelanggaran.

 

Kelima, soal tata kelola perusahaan. Terkait kondisi perusahaan dan siapa pemiliknya, Auriga pada 2017 menelaah sembilan perusahaan emiten sawit di Bursa Efek Jakarta. Telaah ini mengaitkan antara saham publik dan penguasaan lahan, jejak pembiayaan perbankan, kepemilikan saham silang, rangkap jabatan, serta pelaksanaan regulasi sistem sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan Indonesia (ISPO) dan penggunaan lahan gambut untuk kebun sawit yang dilarang dalam peraturan perundangan.

 

Hasil kajian ini menjadi bagian pembahasan dari studi KPK. Bahkan sudah menjadi bagian dari rencana aksi, tetapi belum dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh Ditjen Perkebunan.

 

Kelima, tanggung jawab lembaga keuangan. Sudah dilakukan investigasi terhadap sumber keuangan perusahaan sawit yang di dalam wilayah kerjanya terindikasi terjadi kebakaran hutan dan lahan. Dalam telaah TuK (2020), ada 20 grup perusahaan sawit dan hutan tanaman yang terindikasi. Juga 21 nama bank papan teratas yang mendanai, beserta jumlah kredit yang dikucurkan.

 

Hasil telaah ketiga, keempat, dan kelima itu dapat menjadi bahan penelusuran, bagaimana perusahaan bisa mempunyai kekuatan untuk menjalankan hal-hal yang nonprosedural, dan dapat berlangsung begitu lama.

 

Perlu ditelusuri bagaimana kekuatan itu bekerja untuk memengaruhi lembaga pemberi izin sehingga sangat lemah pelaksanaan pengawasannya di lapangan. Termasuk perlu dipertimbangkan hasil-hasil kajian lain yang mengungkap dan menjawab mengapa lembaga keuangan di Indonesia umumnya belum mampu menjalankan kebijakan pembiayaan berkelanjutan (sustainable finance), sebagaimana yang diharapkan masyarakat global melalui Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

 

Ketujuh, kebijakan realokasi secara khusus. Sejumlah kelompok masyarakat sipil bersama pemda saat ini telah dan sedang mengaudit 54 perusahaan sawit di delapan kabupaten seluas 941.757 hektar di Papua dan juga 24 perusahaan di tujuh kabupaten seluas 682.075 hektar di Papua Barat.

 

Secara umum hasil audit merekomendasikan pencabutan ataupun perbaikan korektif perusahaan sawit akibat berbagai pelanggaran yang dilakukan. Juga terdapat kebijakan daerah untuk mengembalikan lahan yang telah dicabut ke masyarakat adat. Pencabutan izin ini berada dalam kewenangan bupati.

 

Tak serius

 

Kedelapan, ketidakcukupan isi peraturan perundangan. Telah dipelajari oleh beberapa lembaga bahwa solusi yang ditawarkan, misalnya terkait keberadaan kebun sawit di dalam kawasan hutan, melalui beberapa peraturan pemerintah turunan UU Cipta Kerja, tidak mudah dijalankan.

 

Hal itu antara lain karena adanya batasan teknis, seperti luas dan lokasi yang tak sesuai kondisi di lapangan, besarnya pembiayaan sebagai konsekuensi dari pemetaan lapangan yang rinci, serta kelemahan pelaksanaan eksekusi yang selama ini harus dilakukan setelah keputusan diambil. Di sini tampak pula perlunya segenap diskresi karena ada persoalan di lapangan yang tidak dapat diselesaikan akibat kekakuan isi peraturan perundangan yang ada.

 

Audit yang akan dilakukan BPKP tentu punya lingkup tertentu sesuai tugas pokoknya. Namun, persoalan yang dihadapi pada masa sebelumnya bukan hanya soal informasi dan data bagus yang belum tersedia seperti disebut Menko Kemaritiman dan Investasi, sebagai salah satu alasan mengapa audit harus dilakukan (Kompas, 8/7/2022), melainkan juga lambat dan bahkan tak adanya keputusan dan tindakan setelah solusi sudah ditetapkan.

 

Perlu upaya lebih dan kesungguhan pemerintah dan pemda untuk membenahi karut-marut ini.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/21/benahi-karut-marut-industri-sawit

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar