Senin, 25 Juli 2022

 

Citra Yogya dan Destinasi Kekerasan

Indra Tranggono: Praktisi Budaya dan Esais, Tinggal di Yogyakarta

KOMPAS, 19 Juli 2022

 

                                                

 

Yogyakarta secara administratif merupakan kota. Ia menjadi bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), selain Kabupaten Sleman, Bantul, Kulon Progo, dan Gunung Kidul.

 

Namun secara kultural, Yogya menjadi representator sekaligus ikon DIY. Bahkan, ia menjadi penyangga utama atas mencorongnya keistemewaan DIY. Karena itu, setiap peristiwa sosial, kriminal, atau kejadian yang menyentak perhatian serta viral, nama Yogya pun selalu dikait-kaitkan.

 

Ketika aksi kekerasan jalanan anak muda berstatus klithih merebak, publik pun serta-merta menyimpulkan: Yogya tidak aman. Padahal, kasus klithih yang terjadi tak lebih dari ledakan mercon bantingan meskipun tetap mengandung potensi bahaya: bisa jadi ledakan besar. Citra Yogyakarta pun dipertaruhkan.

 

DIY yang bergerak untuk menjadi provinsi modern dan ”dipaksa” mengadopsi nilai-nilai metropolis sering diguncang berbagai pergeseran nilai akibat desakan modernisme dan kuasa kapital serta liberalisme. Konsumerisme, hedonisme, egoisme, individualisme, dan pragmatisme semakin menguat dan terus berusaha mendesak nilai-nilai komunal serta kehidupan yang berorientasi pada asketisme.

 

Sementara itu, kesulitan mencari penghidupan terus menyeringai merayakan kesenjangan sosial. Konflik horizontal pun kadang terjadi karena orang-orang rebutan ”kue” yang kecil. Kekerasan dalam berbagai motif pun tergelar.

 

Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X menolak Yogyakarta dijadikan ajang kekerasan berbagai kelompok. Penyataan ini terkait dengan konflik antardua kelompok yang terjadi di destinasi hiburan di daerah Sleman. Beliau juga menekankan pentingnya pendekatan hukum yang konsisten dan tegas, selain dialog yang mendamaikan pertikaian.

 

Destinasi hiburan malam gampang tergelincir menjadi destinasi kekerasan jika berbagai kelompok kepentingan tidak mampu menjaga situasi kondusif. Umumnya hal ini dipicu cara berpikir dan bertindak yang pendek. Amarah dan amok pun gampang meledak. Persoalan sepele bisa jadi pemantiknya. Alkoholisme pun turut punya andil dalam memacu emosi.

 

Kejadian buram seperti perkelahian antarkelompok yang ada di DIY cenderung viral di media arus bawah (media sosial) dan media arus utama (koran, televisi). Ujungnya, citra kultural Yogyakarta yang jadi kena getahnya.

 

Ini terjadi karena Yogyakarta merupakan representasi kultural yang strategis bagi DIY. Nama kota budaya itu selalu terhubung dengan setiap kejadian yang menyita perhatian publik meskipun peristiwanya berlangsung di kabupaten-kabupaten di DIY.

 

Contoh lainnya adalah perilaku klithih. Meskipun peristiwanya terjadi di Sleman atau di Bantul, tetap saja nama Yogyakarta disebut-sebut. Lalu beredarlah gosip: Yogya tidak aman. Padahal, sejatinya Yogya selalu kondusif.

 

Selama ini Yogyakarta selalu punya citra positif baik sebagai kota budaya, pelajar, pariwisata, ataupun kota/kawasan sosial yang toleran. Yogyakarta selalu terbuka bagi siapa pun yang ingin belajar, mengembangkan diri, menjalani profesi, dan mencari penghidupan.

 

Tak sedikit para perantau itu akhirnya jatuh cinta kepada Yogyakarta karena pertimbangan emosional (kenyamanan, kedamaian, keguyuban). Juga alasan biaya hidup relatif murah dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya. Selain itu juga karena kekuatan budaya Yogyakarta yang terpantul dari dinamika akademik, komunitas, dan keraton Yogyakarta serta kadipaten Pakualaman yang menjunjung tinggi kebinekaan kultural.

 

Citra sosial dan kultural yang khas, unik, dan spesifik menjadi kekuatan Yogyakarta yang jarang dimiliki daerah-daerah atau kota-kota lain di Indonesia. Hal ini semestinya selalu dijaga dan dirawat semua warganya. Tidak malah menciptakan keresahan.

 

Pragmatisme dan hedonisme

 

Perkembangan kota dan kabupaten seiring dengan dinamika ekonomi yang ditopang kemajuan teknologi telah menghadirkan tantangan bagi Yogyakarta. Salah satunya adalah semakin menguatnya pragmatisme dalam kehidupan masyarakat. Pragmatisme, seperti dikatakan sejarawan dan budayawan Dr Kuntowijoyo, merupakan paham yang menganggap segala sesuatu dianggap bernilai jika punya unsur kegunaan, terutama jangka pendek.

 

Tak sedikit orang menempuh jalan pragmatis demi meraih kesenangan (hedonisme) dan keuntungan ekonomik. Mentalitas instan jadi pilihan, termasuk melabrak etika, moral, norma, dan hukum, serta adat dan tradisi.

 

Beberapa akibat pun muncul, misalnya tindakan antitoleransi, anti-empati, atau menipisnya budaya tepa selira. Tidak ada lagi liyan (the others) di dalam ruang berpikir dan bertindak. Yang dominan adalah egoisme personal dan kolektif. Semakin berbahaya jika egoisme itu dikapitalisasi dengan isu-isu primordial (agama, suku) demi meraih kepentingan sesaat.

 

Persoalan ekonomi pun jadi tantangan yang signifikan bagi Yogyakarta. Perebutan ”kue” yang kecil yang melibatkan banyak orang pun sering menimbulkan keonaran. Hal ini tak lepas dari sulitnya masyarakat mencari penghidupan yang layak.

 

Yogyakarta yang relatif kecil secara geografis dan kemampuan ekonomik otomatis menuntut warganya melakukan penyesuaian, terutama dalam gaya hidup. Langgam Yogya dikenal dengan urip samadya lan sacukupe (hidup sederhana dan secukupnya; tahu batas-batas kepantasan). Gaya hidup hedonistik berlawanan dengan langgam Yogya.

 

Selain itu, kultur dan tradisi Yogya cenderung asketik (tahan godaan duniawi). Yang diutamakan adalah mesu budi (mengasah ketajaman pikiran, perasaan, untuk menuntun perilaku yang positif, produktif, dan kreatif). Konsep tepa selira pun dikembangkan menjadi hamemayu buwana lan menungsa (memperindah dan menyelamatkan dunia dan manusia).

 

Jika warga Yogyakarta paham dan mau menjalani konsep tersebut, hidup selaras akan selalu menjelma. Inilah indahnya Yogyakarta yang semestinya jauh dari destinasi kekerasan yang muncul dalam kehidupan malam yang semestinya bisa dikelola secara kultural dan mengutamakan keguyuban dan kedamaian.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/17/citra-yogya-dan-destinasi-kekerasan

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar