Senin, 25 Juli 2022

 

Orientasi Sistem Hukum Pidana

Anugerah Rizki Akbari:  Dosen Hukum Pidana pada Departemen Kriminologi FISIP UI

KOMPAS, 20 Juli 2022

 

                                                

 

Pemerintah akhirnya membuka naskah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang telah lama dinanti publik, dalam Rapat Kerja dengan Komisi III DPR pada 6 Juli 2022. Menurut pemerintah, draf terbaru ini berisi penyempurnaan terhadap 14 isu krusial yang dipermasalahkan publik tiga tahun lalu. Selain itu, pemerintah juga mengklaim telah memperbaiki teknik penyusunan RKUHP, termasuk memperjelas pasal-pasal yang dianggap bermasalah serta melakukan sinkronisasi dan harmonisasi dengan ketentuan pidana yang relevan.

 

Di sisi lain, DPR dan pemerintah bersepakat menyelesaikan RKUHP dengan memberikan perhatian lebih kepada 14 isu krusial tersebut sebelum melanjutkan level pembicaraan berikutnya. Pertanyaannya, apakah naskah terbaru ini bebas dari masalah?

 

Menyisakan masalah

 

Kritik masyarakat sipil telah membuat perubahan dalam draf RKUHP. Melalui Pasal 302 RKUHP, misalnya, pemerintah mengoreksi ketidakjelasan delik penodaan agama dengan membatasi konteks penghukuman kepada ”kebencian atau permusuhan terhadap agama atau kepercayaan di Indonesia”. Pengaturan yang demikian dianggap lebih menjamin kepastian hukum daripada rumusan sebelumnya yang rentan multitafsir, seperti kasus Meliana (2018) yang dihukum karena ”mengeluhkan pengeras suara azan di masjid”.

 

Begitu juga Pasal 467 Ayat (2) RKUHP, terkait pihak yang tidak bisa dipidana apabila melakukan aborsi terhadap janin yang berusia di bawah 12 minggu atau memiliki kedaruratan medis, termasuk perlindungan korban tindak pidana.

 

Meski begitu, RKUHP tetap menyisakan sejumlah masalah. Pertama, pemerintah tidak mengubah pendiriannya dengan tetap mempertahankan pasal penghinaan presiden/wakil presiden (Pasal 218-219), penghinaan terhadap pemerintah yang sah (Pasal 240-241), dan penghinaan terhadap kekuasaan umum/lembaga negara (Pasal 351-352). Pendapat Eddy OS Hiariej mengonfirmasi hal ini, yang didasarkan pada pertimbangan budaya, konstruktif, dan kebutuhan menjaga martabat (Kompas, 7 Juli 2022).

 

Perubahan dilakukan sebatas menjadikannya ”delik aduan” dan memperjelas makna ”demi kepentingan umum” sebagai pengecualian. Bahkan, opini tersebut keliru dengan menyebut Belanda sebagai contoh yang dianggap tetap mempertahankan pasal penghinaan tersebut.

 

Belanda justru telah menghapus ketentuan-ketentuan ini dalam hukum pidananya (Staatsblad 2019, 187). Keluarga kerajaan, termasuk kekuasaan umum dan lembaga negara, tidak lagi dilindungi berdasarkan status kenegaraannya. Penghinaan yang dilakukan terhadap pihak-pihak tersebut menjadi bagian tindak pidana pencemaran terhadap individu dalam Pasal 267 WvS (KUHP Belanda).

 

Kedua, model pemberlakuan pidana mati secara bersyarat dalam RKUHP tak sejalan dengan prinsip hak asasi manusia serta mewarisi perspektif kolonial. Seharusnya RKUHP lebih maju dengan menyesuaikan pada sistem pemidanaan modern.

 

Jika RKUHP memilih mempertahankan jenis pidana ini, penjatuhan pidana mati harus memberikan masa percobaan selama 10 tahun secara otomatis dan tidak digantungkan kepada diskresi hakim seperti yang masih dicantumkan dalam Pasal 100 RKUHP.

 

Selain itu, konversi pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup harus tetap dihitung sejak putusan berkekuatan hukum tetap, bukan sejak grasi ditolak seperti yang dirumuskan Pasal 101 RKUHP. Grasi dalam konteks ini justru akan memperbesar ketidakpastian hukum.

 

Ketiga, RKUHP tidak memberikan perhatian apa pun terhadap makar. Pasal makar banyak dialamatkan ke warga Papua, dan begitu mudah ditemui penyalahgunaan implementasinya (ICJR, 2017). ”Makar” ditafsir secara serampangan, seperti yang digunakan terhadap banyak warga Papua seusai protes kasus rasial di Asrama Surabaya (2019). Bahkan, pasal makar sering digunakan untuk menghukum pihak-pihak yang melaksanakan ibadah, meniup terompet, dan menyanyikan lagu rohani jika dilakukan di lingkungan yang dianggap separatis.

 

Definisi makar harus disesuaikan dengan konstruk orisinalitasnya dalam bahasa Belanda, yaitu aanslag yang berarti serangan (Moeliono, 2021). Selain itu, terminologi ”makar” dalam Pasal 87 KUHP perlu dimaknai terbatas sebagai konteks penarikan pertanggungjawaban pidana pelaku dalam delik tersebut. Tanpa batas yang jelas, RKUHP akan terus melanggengkan praktik penegakan hukum yang menimbulkan ketidakadilan dan keresahan di masyarakat.

 

Sistem hukum pidana

 

Tiga contoh masalah RKUHP tersebut tentu berdampak luas. Sejumlah hal mendasar perlu dipertimbangkan sebelum mengesahkannya, terutama untuk menguatkan sistem hukum pidana.

 

Pertama, undang-undang yang mengatur ketentuan pidana belum semuanya dimasukkan dalam RKUHP. Dengan dianutnya sistem baru di RKUHP, pemerintah harus menyesuaikan ulang seluruh ketentuan pidana yang terdampak dengan materi RKUHP. Tentu bukan pekerjaan yang mudah.

 

Kedua, pembentuk hukum harus membenahi sistem legislasi agar mendukung penyusunan undang-undang dengan model kodifikasi, seperti RKUHP. Hingga saat ini, belum ada parameter apa pun yang bisa digunakan untuk menentukan tindak pidana yang akan diatur di dalam KUHP ataupun di luar KUHP.

 

Belum lagi, ketidakjelasan institusi pemerintah yang menjalankan fungsi sebagai clearing house dalam setiap perancangan undang-undang yang mengatur ketentuan pidana. Kondisi ini berakibat pada menjamurnya ketentuan pidana di hampir setiap undang-undang yang disahkan tanpa menimbang sistem secara koheren mengenai keseriusan tindak pidana dan berat-ringannya ancaman pidana.

 

Ketiga, RKUHP juga harus mempertimbangkan pengelolaan perubahan operasionalisasi sistem peradilan pidana. Tak sebatas sosialisasi, tetapi juga memastikan kesiapan kapasitas sumber daya manusia dan sarana ataupun prasarana pendukung bagi aparat penegak hukumnya.

 

Keempat, masa transisi dua tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 629 dan 632 RKUHP, menjadi tidak realistis untuk memenuhi, bahkan memprioritaskannya, di saat iklim politik menjelang Pemilu 2024.

 

Perdebatan demikian, sayangnya, tak mendalam dalam proses pembahasan RKUHP. Tanpa orientasi dan strategi yang memenuhi prinsip pembentukan sistem hukum pidana yang jelas, tak mengejutkan jika RKUHP justru terjebak mengulang masalah yang sama.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/17/orientasi-sistem-hukum-pidana

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar