Selasa, 26 Juli 2022

 

Transisi Pembelajaran Jarak Jauh ke Jarak Dekat

Romeyn Perdana Putra : Peneliti BRIN Eks Puslitjak Pendidikan Kebudayaan Balitbang Kemendikbudristek

KOMPAS, 21 Juli 2022

 

                                                

 

 Pada masa dua tahun pertama pandemi Covid-19 (2020-2021), para peserta didik, tenaga pendidik, dan pihak pengelola pembelajaran dipaksa untuk shifting to digital atau melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Semua dipaksa masuk ke dunia perdigitalan. Berbagai persoalan dan rintangan tak kurang-kurang harus diatasi bersama. Walaupun pada akhirnya kita mengakui bahwa terjadi learning loss dan cultural loss selama berlangsungnya PJJ.

 

Beberapa contoh kasus learning loss: putus sekolah, pernikahan dini, terjadi anak SD kelas IV yang kembali tidak dapat membaca. Mahasiswa akhirnya melakukan plagiasi karena alasan ”belajar mandiri” sudah sangat membebani aktivitas mereka.

 

Guru dan dosen gagap untuk berinovasi dalam metode pembelajaran jarak jauh. Walaupun teknologinya sudah tersedia, seperti Zoom, Google Meet, Google Classroom, learning management system (LMS), dan sistem informasi manajemen (SIM) pembelajaran yang dikelola mandiri oleh sekolah/kampus.

 

Secara keadaban pun terjadi perbedaan pakem bagaimana sepatutnya pembelajaran daring. Walaupun remeh, pembukaan kamera dan mikrofon siswa justru menjadi hal penting dalam adab digital belajar- mengajar. Dalih koneksi dan gawai tak mumpuni menjadi pembenaran siswa untuk tidak terlibat dalam diskusi pembelajaran, bahkan alpa (hanya menyumbang nama dalam kotak PJJ). Pada akhirnya, PJJ menjauhkan kesantunan dalam kegiatan belajar-mengajar (KBM).

 

Belajar tatap muka bergawai

 

Awal masuk sekolah dimulai pada Juli ini. Pemerintah, walaupun dengan narasi berhati-hati, telah ”memperkenankan” belajar tatap muka. Bagaimana nasib LMS, SIM, dan aplikasi belajar online (daring) yang selama dua tahun ini telah mengalami difusi yang membanggakan?

 

Data menyebutkan, terjadi peningkatan jumlah user (pengguna) media digital. Tahun 2021 naik dari 53 persen menjadi 73 persen pengguna internet dari 247 juta populasi. Pengguna aktif media sosial naik menjadi 61,8 persen pengguna, sedangkan pengguna telepon genggam telah mencapai 345 juta (lebih dari 125 persen, karena satu orang memiliki lebih dari satu nomor telepon genggam). Data ini diperoleh dari Communication & Information System Security Research Center tahun 2019-2021.

 

Namun, rupanya hal tersebut tidak lantas membuat masyarakat serta-merta menerima adopsi teknologi untuk pembelajaran. Ketika sebuah sekolah swasta di selatan Jakarta memberikan fasilitas gawai tablet untuk peserta didik baru (siswa kelas I SD), misalnya, dalam percakapan Whatsapp Group riuh rendah orangtua siswa menentang pembelajaran menggunakan buku elektronik tablet (e-book).

 

Mungkin hitung-hitungan cost-benefit dari pihak sekolah: daripada anak didik membeli paket buku cetak yang nilainya mencapai Rp 1 juta, kenapa tidak diberikan buku elektronik dengan tablet yang selisih harganya kecil. Membawa buku pelajaran cetak, buku tulis, kotak pensil, dan bekal makanan dari rumah tentu akan memberatkan siswa dalam berangkat dan pulang sekolah.

 

Di luar dari alasan kepraktisan, orangtua murid menolak keras ide tersebut. Dengan alasan bahwa anak-anak sudah bermain gawai selama di rumah, penggunaan buku elektronik tidak melatih motorik siswa akibat kemudahan teknologi. Belum lagi alasan radiasi layar gawai yang dianggap merusak mata. Terakhir, risiko keamanan bagi siswa membawa gawai berharga pergi-pulang sekolah menjadi pertimbangan orangtua murid.

 

Belum sempat sosialisasi tentang belajar tatap muka bergawai ini berlangsung, orangtua murid sudah menyesalkan inovasi dan ide pembelajaran bergawai ini kepada pihak sekolah. Sebagian wali murid terkesan mengancam membatalkan memasukkan anaknya ke sekolah swasta tersebut.

 

Tentu difusi inovasi teknologi gawai dalam pembelajaran merupakan area perdebatan dalam dunia pendidikan. Untuk memperkecil cakupan opini dari tulisan ini, kita perkecil pada satuan pendidikan berakses sinyal Wi-Fi berlimpah gratis, siswa yang telah terbiasa dengan pembelajaran daring tanpa kendala gawai, dan tenaga pendidik inovatif (adopter) dalam difusi teknologi.

 

Adopsi difusi teknologi pembelajaran

 

Pada 2021, penulis, dalam keterbatasan penelitian turun lapangan akibat PPKM pandemi, mencoba mendalami permasalahan budaya belajar jarak jauh tersebut. EM Rogers (1962) telah lama mendiskusikan teori klasik difusi inovasi. Rogers membagi kategori bagaimana dari waktu ke waktu sebuah ide atau produk mendapatkan momentum dan menyebar ke tingkat populasi atau sistem tertentu, yang pada hasil akhirnya orang mengadopsi ide, perilaku, atau produk baru.

 

Dapat dikatakan paksaan akibat pandemi bertentangan dengan teori Rogers. Adopsi tidak berlaku serta-merta, tetapi bertahap. Pengalaman kita belajar jarak jauh tidak mengalami proses berkelanjutan itu. Akibatnya, orangtua peserta didik langsung dengan tegas menolak ide belajar dengan gawai dalam pembelajaran tatap muka (PTM). Walau telah dua tahun berpengalaman dengan PJJ.

 

Kurva difusi dapat menggambarkan kondisi tersebut. Ada beberapa karakteristik sasaran inovasi diangkakan dalam kurva difusi, yaitu innovator hanya 2,5 persen, early adopters 13,5 persen, early majority 34 persen, late majority 34 persen, dan laggards 16 persen. Hanya sedikit sekali (2,5 persen) yang mau mengadopsi ide-ide baru dalam prinsip difusi. Laggards atau kaum tertinggal adalah orang-orang yang terikat tradisi cenderung konservatif.

 

Paparan di atas meninggalkan beberapa pekerjaan rumah dari kementerian terkait pendidikan (Kemendikbudristek dan Kemenag) dan juga Kemenkominfo dalam difusi inovasi teknologi dalam pembelajaran. Pertama, menjawab kekhawatiran orangtua dalam keamanan dan kenyamanan bergawai oleh peserta didik. Kedua, menetapkan secara geografis, ekosistem seperti apa saja yang boleh menjadi innovator dan early adopters dari pembelajaran tatap muka bergawai ini. Ketiga, menjamin bahwa konten sehat dan ramah anak tersedia selama melayari dunia perdigitalan.

 

Pandemi memang belum sepenuhnya usai. Namun, semua tantangan dan keraguan akan perubahan tentu perlu dijawab dengan bijak oleh orangtua, peserta didik, dan pengelola pendidikan. Semoga kita selalu dapat memberikan yang terbaik bagi para penerus bangsa

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/19/transisi-pembelajaran-jarak-jauh-ke-jarak-dekat

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar