Selasa, 26 Juli 2022

 

Amanah Bangsa atas Bumi Indonesia

Sudjito Atmoredjo : Guru Besar Ilmu Hukum UGM

KOMPAS, 22 Juli 2022

 

                                                

 

 Bumi Indonesia itu sangat luas. Tanah, air, kekayaan alam, dan ruang angkasa di atasnya, dari Sabang hingga Merauke, merupakan karunia Allah SWT kepada bangsa Indonesia. Kesadaran atas amanah untuk kepemilikan, penguasaan, dan pengelolaannya telah dirumuskan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria).

 

Tersurat pada Pasal 1 (1), ”Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia; (2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”.

 

Pada wilayah negara yang luas, subur, gemah ripah, loh jinawi, ini mestinya bangsa Indonesia bisa hidup nyaman, makmur, dalam kecukupan sandang, pangan, dan papan. Sayang, realitas empiris menunjukkan masih banyak komponen bangsa, hidupnya miskin, tuna-kisma, tuna-papan.

 

Pemilikan lahan

 

Laporan Akhir Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian ATR/BPN tahun 2019, antara lain, mengungkapkan bahwa pada struktur dan distribusi pemilikan tanah di tingkat wilayah, diperoleh data, pertama, struktur pemilikan luas tanah didominasi luas tanah lebih besar dari 20 hektar seluas 29 persen dari luas pemilikan. Sementara pemilikan bidang tanah yang terbanyak dalam kategori luas kurang dari 0,10 hektar sebanyak 65 persen bidang merata di setiap pulau utama.

 

Kedua, struktur pemilikan luas tanah di Sumatera merupakan yang terluas dibandingkan pulau utama lainnya (41 persen), dengan pemilikan terluas pada kategori 1-1,99 hektar, 2-4,99 hektar, 0,50-0,99 hektar, dan lebih besar dari 20 hektar. Adapun pemilikan jumlah bidang yang terbanyak berada di Jawa (58 persen), dengan pemilikan bidang pada kategori kurang dari 0,1 hektar, 0,1-0,19 hektar, dan 0,20-0,49 hektar.

 

Di balik data di atas, tentu ada faktor-faktor penyebabnya. Tersurat pada halaman 135-136 laporan tersebut bahwa faktor penyebab paling dominan adalah jumlah bidang dan produktivitas. Hal ini mengindikasikan bahwa setiap kenaikan satu satuan jumlah bidang dan produktivitas akan menaikkan luasan tanah pertanian sebesar sekian satuan.

 

Strategi dan kebijakan untuk mengendalikan ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah pertanian oleh kantor pertanahan pada umumnya belum ada. Sehubungan dengan itu, direkomendasikan agar fragmentasi tanah pertanian harus dikendalikan karena semua faktor yang diteliti berpengaruh positif terhadap terjadinya fragmentasi terhadap tanah pertanian.

 

Oleh karena itu, diperlukan kebijakan untuk melindungi rumah tangga petani (RTP) mengenai penataan luas bidang, lokasi pembangunan kantor balai penyuluhan pertanian (BPP), pembangunan infrastruktur pertanian, peningkatan teknologi informasi, penyediaan pasar (input, tenaga kerja, dan output), pengembangan mekanisasi pertanian, prosedur jual beli tanah, pengaturan sistem bagi hasil, pengaturan investasi agribisnis, dan pembinaan kelembagaan pengelolaan usaha tani.

 

Apabila deskripsi data, faktor penyebab, dan rekomendasi di atas dikembalikan pada UUPA, dapat diyakini bahwa segalanya berpulang kepada para decision makers, regulator, birokrat, ataupun para pemangku kepentingan, yang sayangnya sering kali kurang/tidak amanah pada tugas dan jabatan masing-masing.

 

Bukankah telah jelas bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan (Pasal 7). Diamanahkan agar diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak oleh satu keluarga atau badan hukum (Pasal 17 Ayat 1).

 

Diamanahkan pula agar peraturan tentang batas maksimum dibuat dalam waktu singkat (Pasal 17 Ayat 2). Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah (Pasal 17 Ayat 3). Tercapainya batas minimum dilaksanakan secara berangsur-angsur (Pasal 17 Ayat 4).

 

Khusus untuk tanah pertanian, memang sudah ada Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Dalam banyak kajian dan penelitian, UU ini masih belum efektif dilaksanakan. Semakin maraknya fragmentasi tanah pertanian merupakan akibat dari kelalaian menjalankan amanah UU ini.

 

Sungguh disayangkan, pengaturan tentang batas maksimal/minimal untuk tanah bangunan hingga kini belum ada. Bahkan, hingga kini belum ada pemikiran untuk perwujudan peraturan itu. Dalam alur logika linier, mana mungkin para decision makers dan regulator membuat aturan yang akan merugikan dirinya sendiri.

 

Akibatnya, pemilikan dan penguasaan tanah bangunan yang melampaui batas sulit dikendalikan. Betapa pun ada ketentuan bahwa seseorang/badan hukum tidak boleh mempunyai tanah bangunan lebih dari lima bidang, kekuatan hukumnya dan praktik di lapangan lemah. Implikasinya, banyak golongan elite (penguasa, pengusaha) memiliki rumah mewah dan tanah bangunan dalam jumlah tak terbilang.

 

Kembali pada masalah tanah pertanian. Dalam Perppu No 56/1960 diatur tentang pengembalian tanah pertanian yang digadaikan. Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung tujuh tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan (Pasal 7 Ayat 1). Aturan demikian merupakan pendukung Pasal 8 bahwa pemerintah mengadakan usaha-usaha agar setiap petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum 2 hektar.

 

Hemat saya, tergadaikannya tanah-tanah kepada para cukong, investor, oligarki, pebinis melalui rekayasa perizinan (misal untuk perkebunan, pertambangan) sebagaimana marak akhir-akhir ini mestinya dicegah, bukan didorong. Lebih lanjut, ketentuan-ketentuan penebusan tanah tergadaikan dalam Perppu No 56/1960 diaktualisasikan dan ditransformasikan dalam konteks kekinian. Artinya, amanah agar bangsa ini berdaulat atas negeri sendiri harus diupayakan sungguh-sungguh

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/20/amanah-bangsa-atas-bumi-indonesia

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar