Jumat, 29 Juli 2022

 

Retrogresi Aktivisme Yudisial di Mahkamah Konstitusi

Idul Rishan: Anggota Staf Pengajar Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

KOMPAS, 25 Juli 2022

 

                                                

 

Jika membaca tren putusan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi dalam kurun tiga tahun terakhir, hakim konstitusi cenderung membatasi diri untuk tidak membangun penafsiran secara konfrontatif dengan pembentuk undang-undang (Presiden-DPR). Dalam perkara-perkara populis yang melibatkan kepentingan masyarakat luas, MK lebih memilih menahan diri (self-restraint) untuk tidak melakukan penerobosan hukum atau yang dikenal dengan istilah aktivisme yudisial (judicial-activism).

 

Paling anyar putusan MK terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), yang untuk kesekian kali kembali ditolak MK. Melemahnya aktivisme yudisial MK kerap terekam dalam dua pola. Pertama, mempersempit ruang legal standing dalam praktik pengujian UU. Kedua, membatasi diri untuk tidak mengadili perkara yang merupakan kebijakan terbuka pembentuk UU (open legal policy).

 

MK membangun persepsi konstitusionalnya sendiri dengan menyatakan bahwa perkara yang dimohonkan bukan merupakan problem konstitusionalitas UU, melainkan domain pembentuk UU (Presiden-DPR) yang tidak seharusnya dijangkau oleh MK.

 

”Legal standing”

 

Di awal berdirinya MK, hakim-hakim konstitusi berhasil memutus sekat antara institusi peradilan dan warga negara untuk beperkara di MK. MK menjadi institusi yang inklusif dengan membuka ruang legal standing yang cukup lebar bagi warga negara.

 

Kerugian konstitusional tidak harus dimaknai sebagai kerugian rill, tetapi juga kerugian potensial yang mungkin saja dialami oleh kelompok masyarakat ataupun perseorangan. Bahkan, melalui aktivisme yudisial para hakim konstitusi, sebagai pembayar pajak, kelompok perseorangan ataupun masyarakat bisa menjadi pihak yang mengalami kerugian konstitusional atas proses ataupun hasil kerja legislasi Presiden dan DPR.

 

Namun, harus diakui, perubahan komposisi hakim konstitusi bisa mengubah cara pandang MK dalam menilai kerugian konstitusional para pemohon. Pembayar pajak kemudian diterjemahkan ulang oleh hakim konstitusi hanya pada perkara-perkara tertentu. Saat ini, cara pandang MK kemudian kembali mengalami pergeseran. Dalam praktik pengujian UU di MK, ruang deliberasi itu kemudian dipersempit.

 

Legal standing kemudian dimaknai sebagai kerugian rill pemohon atas pembentukan dan keberlakuan sebuah undang-undang. Dalam Putusan Nomor 90/PUU-XVIII/2020 atas perkara pengujian perubahan ketiga UUMK, MK menolak permohonan uji materil karena kualifikasi pendidikan pemohon yang masih Strata-2 sehingga dianggap tidak mumpuni untuk menjadi hakim konstitusi.

 

Perkara yang berbeda, tetapi dengan alasan yang sama terjadi ketika mahkamah menguji ketentuan presidential threshold dalam UU Pemilu. MK menilai tidak ada kerugian rill bagi pemohon karena pemohon tidak memiliki potensi untuk dicalonkan sebagai seorang presiden. Pola penafsiran demikian, secara tidak langsung menjadikan MK sebagai institusi yang eksklusif, dengan memperlebar jarak antara masyarakat dan institusi MK sendiri.

 

”Open legal”

 

Kemudian, yang tak kalah serius, MK juga tidak pernah mencoba untuk melakukan aktivisme yudisial ketika perkara-perkara yang dimohonkan berada di wilayah kebijakan terbuka pembentuk undang-undang. Sifat open legal policy bisa menjadi ancaman dalam masa depan demokrasi konstitusional di Indonesia.

 

Kita bisa berkaca kepada materi muatan Perubahan UU KPK, Perubahan UU MK, Pembentukan UU Cipta Kerja, dan UU Pemilu. Semua itu merupakan pembentukan hukum negara yang sebagian pengaturannya tidak memiliki titik koordinat secara langsung dengan norma-norma yang ada di dalam konstitusi, tetapi berdampak secara luas bagi masyarakat.

 

Misalnya, ketentuan dewan pengawas dalam UU KPK, ketentuan syarat usia hakim konstitusi, penerapan metode omnibus law, dan ambang batas pencalonan presiden merupakan kebijakan terbuka, tetapi mendapat resistensi dan penolakan karena dampaknya yang luas terhadap kepentingan masyarakat.

 

Ironisnya, Presiden dan DPR memilih mengedepankan jalur yuristokrasi. Delegitimasi sosial atas cara kerja pemerintah diharapkan bisa diselesaikan dengan cara-cara yang elegan, dalam hal ini pengujian di MK. Namun, kenyataannya, jalur yuristokrasi kita ternyata juga tumpul. MK menolak memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang seharusnya menjadi domain eksekutif dan legislatif.

 

Kondisi ketatanegaraan demikian melahirkan deadlock, bahkan saling lempar tanggung jawab antara pembentuk undang-undang dan lembaga peradilan. Sebab, hakim-hakim di MK juga tidak memilih untuk melakukan aktivisme yudisial berupa penerobosan hukum atas kasus-kasus kompleks yang sifatnya open legal, tetapi memiliki dampak luas dan strategis di masyarakat.

 

Retrogresi

 

Pada 4 Juni 2021, Profesor Sulistiyowati Irianto menuliskan pesannya di kolom opini Kompas tentang pentingnya dimensi sosio-legal dalam putusan-putusan pengadilan. Aktivitas penemuan hukum di lembaga peradilan tentu tidak bisa hanya bersandar kepada norma teks dan bangunan-bangunan pasal yang ada dalam konstitusi, tetapi juga memperhatikan pentingnya konteks pemenuhan keadilan yang berkembang di masyarakat.

 

Tentu tidak bisa kami bayangkan ketika paradigma penafsiran MK menjadi relatif kaku akibat pembatasan aktivisme yudisial. Sifat self restraint para hakim konstitusi menjadikan mahkamah hanya sebagai institusi yang melegitimasi kebijakan-kebijakan yang tidak populer dan cenderung meningkatkan legitimasi pemerintah.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/23/retrogresi-aktivisme-yudisial-di-mahkamah-konstitusi

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar