Rabu, 13 Juli 2022

 

Pesantren Masa Depan

Hasibullah Satrawi :  Alumnus salah satu pondok pesantren di Madura, pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam

JAWA POS, 12 Juli 2022

 

 

                                                           

APA yang terjadi di Pesantren Shiddiqiyyah, Jombang, beberapa waktu lalu terkait upaya penegakan hukum sungguh pukulan telak bagi dunia pesantren secara umum. Tidak hanya karena persoalan yang diduga terkait dengan pelecehan seksual (atau mungkin perzinaan, dalam bahasa yang lebih populer di pesantren), tapi juga sikap sebagian pihak di Pesantren Shiddiqiyyah yang pada tahap tertentu bisa disebut menghalang-halangi upaya penegakan hukum. Hingga upaya menjemput orang yang masuk daftar pencarian orang (DPO) harus berlangsung kurang lebih 16 jam.

 

Peristiwa itu memang terjadi di Pesantren Shiddiqiyyah, Jombang. Tapi, dengan pemberitaan media yang sangat luas (bahkan banyak media menyiarkan secara breaking news), kejadian tersebut sedikit banyak akan berdampak terhadap citra pesantren secara umum. Khususnya bagi masyarakat umum yang belum begitu mengenal dunia pesantren.

 

Padahal, peristiwa pelanggaran hukumnya (dugaan pelecehan seksual) masih bersifat dugaan sampai terbukti di pengadilan nanti. Tapi, citra yang timbul dari semua ini sudah terbentuk terlebih dahulu. Semua ini sangat merugikan pesantren secara umum.

 

Karena itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan pesantren secara umum ke depan pasca kejadian di Pesantren Shiddiqiyyah. Pertama, pendidikan terkait interaksi atau muamalah yang sehat dan baik antara laki-laki dan perempuan. Banyak istilah yang digunakan para ahli terkait persoalan itu seperti kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Terlepas dari perbedaan istilah, semua pihak sepakat pentingnya interaksi atau muamalah yang sehat dan baik antara laki-laki dan perempuan.

 

Hal itu sangat penting mengingat kenyataan hidup tidak akan pernah terlepas dari laki-laki dan perempuan. Hanya, pola interaksi yang mungkin berbeda-beda antara satu lokasi dan lokasi lain. Di wilayah tertentu, laki-laki dianggap terlalu dominan seperti di banyak negara di Timur Tengah ataupun dunia Islam secara umum. Sementara di tempat lain, kaum perempuan lebih banyak mendapatkan kebebasan di ruang-ruang publik. Seperti terjadi di negara-negara Eropa, Amerika Serikat (AS), dan lainnya. Masing-masing wilayah tidak bisa dihakimi berdasar pengalaman wilayah lain.

 

Karena itu, hal yang terpenting adalah interaksi atau muamalah yang sehat dan baik antara laki-laki dan perempuan. Bahwa laki-laki dan perempuan bisa saling berperan dalam menjalankan berbagai tugas; bahwa laki-laki dan perempuan bisa saling menghormati; dan yang tak kalah penting hubungan antara laki-laki dan perempuan tidak melulu terkait dengan seksualitas.

 

Harus diakui bersama, mewujudkan interaksi atau muamalah yang sehat dan baik antara laki-laki dan perempuan tidaklah mudah. Bukan hanya di lingkungan pesantren, melainkan juga di lingkungan pendidikan secara umum. Bahkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dikatakan demikian karena upaya yang ada acap kali berhadapan dengan realitas kekurangan di sana-sini, mulai kekurangan yang bersifat materiil hingga yang bersifat nonmateriil. Misalnya, pemahaman yang bias gender dan lainnya.

 

Kedua, takzim dan penghormatan penuh dalam kebaikan. Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren acap mengajari para santri untuk takzim dan hormat kepada para guru, khususnya kiai beserta keluarganya. Bahkan, sebagian pihak sampai pada tahap ’’menghormati” hewan peliharaan dan kesukaan kiainya.

 

Tidak ada yang salah dari budaya takzim atau hormat terhadap kiai maupun guru secara umum. Yang terpenting adalah takzim dan penghormatan tersebut berada dalam hal kebaikan.

 

Dengan kata lain, selama kiai dan guru berbuat kebaikan, selama itu pula takzim dan penghormatan harus diberikan. Tapi, manakala mengerjakan keburukan, mereka sudah tidak bisa dijadikan sebagai pedoman.

 

Dalam tradisi pesantren, sebenarnya kebaikan sebagai batas dari sikap takzim kepada kiai ataupun guru sudah jamak diketahui. Dalam sebuah kisah yang sangat terkenal di pesantren, contohnya, Nabi menegaskan bahwa ketaatan terhadap seseorang tidak boleh dalam hal-hal yang bersifat kemaksiatan ataupun keburukan (la tha’ata limakhluqin fi ma’shiyatil khaliq).

 

Meski demikian, keburukan itu kadang-kadang dilihat sebagai ’’bungkus semata” dari kebaikan yang ada di dalamnya. Hingga akhirnya, warga pesantren acap kali tetap takzim dan mengikuti apa yang disampaikan oknum guru maupun kiainya. Inilah yang banyak dijadikan sebagai modus kejahatan oleh oknum tertentu.

 

Karena itu, ada hal ketiga yang harus dikerjakan pesantren ke depan, yaitu memperkuat keteladanan yang berbasis pada nilai-nilai umum terkait dengan kebaikan maupun keburukan. Keteladanan itu harus muncul dari para guru maupun ustad, khususnya kiai beserta keluarganya, sebagai fondasi utama pesantren.

 

Melalui keteladanan tersebut, warga pesantren bisa belajar dan melihat secara langsung apa yang boleh atau tidak boleh. Pun demikian, melalui keteladanan yang ada, warga pesantren bisa melihat dan belajar apa yang pantas atau tidak pantas untuk dilakukan. Sebaliknya, melalui keteladanan yang ada, warga pesantren bisa mengetahui kapan guru atau bahkan kiai dalam keadaan salah dan tidak perlu ditiru.

 

Meminjam istilah yang juga sangat terkenal di pesantren, manusia tempatnya salah dan dosa (al-insanu mahallul khata wan nisyan). Tidak ada orang sempurna yang membuatnya selalu dalam keadaan benar. Kalaupun ada orang sempurna, tak lain adalah orang yang pernah salah, lalu memperbaikinya. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa setiap manusia adalah pendosa. Tapi, sebaik-baik pendosa adalah mereka yang bertobat alias memperbaiki kesalahan yang ada. Kullu ibni adam khattha’un, wa khairul khattha’in at-tawwabun.

 

Tiga hal di atas sangat penting untuk dilakukan pesantren ke depan. Hingga pesantren sebagai lembaga pendidikan yang identik dengan ilmu keislaman tidak hanya menjadi sejarah bagi bangsa ini, tapi juga menjadi masa depan pendidikan yang dibutuhkan masyarakat. Hingga pesantren tetap menjadi sumber ilmu sekaligus sumber keteladanan, termasuk terkait dengan interaksi yang halal dan baik antara laki-laki dan perempuan.

 

Sumber :   https://www.jawapos.com/opini/12/07/2022/pesantren-masa-depan/?page=all

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar