Selasa, 26 Juli 2022

 

Kedaulatan Digital dan Reputasi Negara

Rahma Sugihartati : Guru Besar Sains Informasi FISIP Universitas Airlangga

MEDIA INDONESIA, 23 Juli 2022

 

                                                

 

KEBIJAKAN Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang mewajibkan perusahaan teknologi informasi, baik asing maupun lokal, mendaftar ke negara sebagai penyelenggara sistem elektronik (PSE) sudah diprediksi akan menghadapi tentangan sejumlah pihak. Hingga 21 Juli 2022, Kemenkominfo mencatat baru 8.276 PSE yang terdiri atas 8.069 PSE domestik dan 207 PSE asing telah melakukan pendaftaran (Media Indonesia, 22 Juli 2022). Di luar itu, masih banyak PSE yang tetap membandel tidak mau mendaftar. Entah apa alasan PSE yang masih enggan mendaftar mesti tenggat pendaftaran telah ditutup.

 

Kalau menurut ketentuan yang berlaku, khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik dan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5/2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat, sudah jelas disebutkan tentang kewajiban PSE untuk mendaftarkan diri. Ketentuan ini diberlakukan untuk melindungi masyarakat, terutama bila timbul masalah dengan konsumen terkait layanan PSE yang merugikan. Dengan mengharuskan PSE terdaftar, pemerintah niscaya akan lebih mudah menyelesaikan persoalan bila ada insiden terkait dengan keamanan siber.

 

Situasi problematik

 

Reaksi resisten dari sejumlah PSE yang menolak atau minimal enggan mendaftarkan diri ke Kemenkominfo sebetulnya sudah bisa diduga. Pada sejumlah PSE raksasa, yang menguasai pangsa pasar dan digunakan mayoritas masyarakat di Tanah Air, wajar jika merasa memiliki posisi bargaining yang kuat menolak kebijakan Kemenkominfo. Kemenkominfo sendiri hingga saat ini tetap bergeming.

 

Pemerintah tetap berkukuh meminta semua PSE yang beroperasi di Indonesia mendaftarkan diri, dan jika menolak, berisiko akan diblokir. Pemerintah tampaknya sudah bertekad untuk menerapkan kebijakan untuk mengatur kedaulatan digital di negeri ini, karena sudah bertahun-tahun membiarkan sekian banyak PSE seolah melanggar begitu saja tata kelola dan ketentuan yang berlaku sebagai sikap superioritasnya.

 

Di Indonesia, tindakan pemerintah melakukan pemblokiran terhadap PSE tertentu sebetulnya bukan hal baru. Pada 2017, kita tentu masih ingat bagaimana Telegram pernah diblokir oleh Kemenkominfo karena dinyatakan mengandung konten radikalisme dan terorisme. Padahal, pada saat itu jumlah pengguna Telegram sudah mencapai 10 juta lebih. Pada 2018, Kemenkominfo juga dilaporkan pernah memblokir TikTok, sebuah PSE yang sedang naik daun dan memiliki banyak pengemar, karena diketahui mengandung konten negatif, terutama bagi anak anak dan remaja. Pada saat itu, TikTok juga sudah memiliki sekitar 10 juta pengguna.

 

Menurut kalkulasi, melakukan pemblokiran terhadap PSE yang berskala raksasa memang akan berisiko menimbulkan keresahan di masyarakat. Akan tetapi, membiarkan PSE-PSE tertentu bebas berkiprah tanpa harus tunduk pada regulasi pemerintah, tentu dampaknya akan berpotensi kontraproduktif. Secara garis besar, dua situasi problematik yang menjadi alasan kenapa kiprah PSE perlu diatur sedemikian rupa ialah; pertama, karena kehadiran PSE yang tanpa izin ke Tanah Air selama ini telah mengeruk keuntungan yang begitu besar. Namun, sama sekali tidak ada iktikad baik untuk menaati hukum yang berlaku tentu suatu ironi.

 

Kita paham bahwa kehadiran kapitalisme informasional tidak mungkin bisa ditolak. Ketika sumber utama produksi terletak pada kapasitas dalam penggunaan dan pengoptimalan faktor produksi berdasarkan informasi dan pengetahuan (knowledge), wajar jika kemudian tumbuh ekonomi informasional global dan bentuk organisasional baru, yaitu perusahaan jaringan (network enterprise). Perusahaan jaringan adalah bentuk spesifik perusahaan yang sistem sarananya dibangun dari titik temu sejumlah segmen sistem tujuan otonom. Perusahaan jaringan ini adalah perwujudan dari kultur ekonomi informasional global yang memungkinkan transformasi tanda-tanda ke komoditas.

 

Saat ini perkembangan ekonomi informasional telah menjadi kekuatan ekonomi global yang mampu berekspansi tanpa mengenal batas, yang salah satunya dikenal dengan ekonomi daring (Lupac, 2018). Karakter ekonomi daring (digital) yang nondiskriminatif dan membuka kesempatan bagi siapa pun untuk terlibat, di sisi lain memang terkesan egalitarian, tetapi bukan rahasia lagi jika hasil akhirnya justru memperlebar kesenjangan sosial. Dampak seperti inilah tentu yang perlu diantisipasi pemerintah.

 

Kedua, berkaitan dengan kontradiksi-kontradiksi yang timbul ketika kiprah PSE terus merambah ke berbagai sendi kehidupan masyarakat. Di satu sisi, kita mencatat bahwa perkembangan masyarakat informasi sering kali diandalkan dan menawarkan banyak janji sebagai pintu masuk untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan kebebasan bagi masyarakat di era digital. Namun, sejak awal kemunculan gagasan, konsep, teori, dan realitas tentang masyarakat informasi hingga saat ini telah banyak pula melahirkan berbagai kontradiksi.

 

Seperti yang terjadi di Jepang dan negara-negara maju di Eropa Barat pada awal 1980-an, akademisi dan futuris Jepang Yoneji Masuda telah menyatakan bahwa masa depan negara-negara akan bertumpu pada informatisasi, yakni suatu keniscayaan dalam struktur masyarakat informasi yang dia sebut sebagai computopia (Masuda, 1967, 1968, 1976, 1980, 1981; May, 2002).

 

Setelah kira-kira 20 tahun Masuda menyampaikan prediksinya, akibat perkembangan teknologi informasi dan pemanfaatan internet yang begitu masif ternyata juga melahirkan berbagai masalah sosial yang makin meresahkan. Alih-alih melahirkan kehidupan sosial masyarakat yang makin sejahtera, adil, dan demokratis, efek samping dari perkembangan masyarakat informasi justru menyebabkan terjadinya kesenjangan digital, merebaknya disinformasi, misinformasi, hate speech (ujaran kebencian), merebaknya cyberporn dan penjahat cinta di dunia maya. Bahkan tidak jarang pula menyebabkan terjadinya dehumanisasi sosial. Masyarakat informasi yang salah satunya dicirikan dengan semakin masifnya inovasi dan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, selain dirasakan manfaatnya, ternyata juga melahirkan fenomena yang kontradiktif.

 

Kedaulatan negara

 

Di Indonesia, menurut data Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII), saat ini ada sekitar 210 juta jiwa pengguna internet di Indonesia. Jumlah pengguna yang luar biasa banyak ini, yakni sekitar 77% dari total populasi, tentu merupakan kekuatan tersendiri. Bagi pemerintah, besarnya jumlah pengguna internet yang sekaligus pangsa pasar yang sangat potensial bagi PSE ini, tentu bisa dijadikan posisi tawar untuk menekan agar PSE yang belum bersedia mendaftar mau menaati hukum yang berlaku.

 

Kedaulatan digital negara ini jangan sampai tergadai hanya karena pemerintah tidak bersikap konsisten. Jangan sampai kedaulatan negara tunduk oleh tekanan kekuatan komersial raksasa yang mau bersikap seenaknya untuk mengeruk keuntungan atas nama liberalisasi dan kebebasan

 

Sumber :   https://mediaindonesia.com/opini/508856/kedaulatan-digital-dan-reputasi-negara

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar