Selasa, 26 Juli 2022

 

Martabat Pejabat Negara

Haedar Nashir  :  Ketua Umum PP Muhammadiyah

REPUBLIKA, 23 Juli 2022

 

 

                                                           

Kasus demi kasus menimpa para pejabat negara di negeri tercinta. Dari kasus korupsi yang sering terjadi dan tetap tinggi di pusat sampai daerah yang membuat kekayaan negara dijarah tiada henti. Hingga peristiwa-peristiwa kekerasan, kasus moral atau etik, dan sederet penyimpangan yang tidak mencerminkan suri teladan di hadapan publik.

 

Belum terbilang kebijakan-kebijakan, pernyataan atau ujaran, dan langkah-langkah petinggi negeri yang menimbulkan keresahan, kekecewaan, keprihatinan, kegaduhan, kerugian, dan masalah berat bagi hajat hidup publik serta eksistensi dan masa depan Indonesia tercinta.

 

Tanpa harus merasa diri paling moralis dan semuci, kiranya semua elite negeri dan warga bangsa penting merenungkan kembali mengapa banyak kasus dan tragedi di negeri tercinta ini terus terjadi. Apa yang hilang dari elite negeri yang mengemban mandat rakyat dan tugas negara, sehingga hilang martabat di mata rakyat? Semua pihak layak berefleksi diri agar kejadian-kejadian tragis tidak terulang kembali.

 

Sumpah jabatan

 

Setiap pejabat negara disumpah atas nama rakyat, negara, dan bahkan demi Tuhan Yang Mahakuasa untuk melaksanakan tugas, mandat, dan jabatannya dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya serta tidak menyalahgunakannya. Presiden dan wakil presiden sebagai representasi jabatan tertinggi dalam kekuasaan pemerintahan negara yang menjadi pusat lingkaran elite dan pejabat negeri bahkan diperintahkan oleh Undang-Undang Dasar untuk bersumpah dan berjanji di hadapan rakyat dengan atas nama Allah.

 

Sumpah presiden dan wakil presiden berbunyi: "Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.

 

Adapun janji presiden dan wakil presiden: "Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil- adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang- undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa."

 

Para pejabat negara di setiap lini pemerintahan, di eksekutif, legislatif, yudikatif, serta lembaga-lembaga auxiliary (state auxiliary bodies), seperti berbagai lembaga komisi negara dari pusat sampai daerah ketika memperoleh jabatan baru juga disumpah dengan atas nama Tuhan.

 

Mereka berkomitmen penuh untuk menjalankan tugas, kewajiban, dan  jabatannya dengan sebaik-baiknya, seadil-adilnya, serta tegak lurus dalam melaksanakan konstitusi, perundang-undangan, dan peraturan yang berlaku. Mereka dituntut memiliki moralitas luhur dan standar perilaku yang tinggi di hadapan publik.

 

Betapa berat pertanggungjawaban moral-rohaniah para petinggi dan pejabat negara itu dalam menjalankan mandat kekuasaan dan jabatannya, bukan hanya di hadapan rakyat yang mendelegasikannya, tetapi lebih jauh secara metafisika di hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan Mahakuasa. Karena itu, ketika terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan pada jabatannya, layak dipertanyakan dan saling berintrospeksi diri.

 

Apa yang sebenarnya dicari sehingga sebagian pejabat negeri terlibat masalah serta melakukan sejumlah kebijakan dan tindakan yang menyimpang dari sumpahnya sendiri? Apakah tidak tahu dan tidak paham atas segala standar nilai dan norma yang melekat dengan jabatannya?

 

Kesenjangan nilai dan disintegrasi diri boleh jadi tengah terjadi. Sebagian mungkin mengalami cultural-lag ketika segala pesona kekuasaannya mengalahkan jiwa rohaniahnya yang jernih.

 

Lalu, terjadi disorientasi hidup dengan jabatannya membuat diri ternina-bobo dalam segala gemerlap dan kedigdayaan diri sehingga tercerabut dari niat awal dan idealisasi saat harus mengemban tugas negara dan mandat rakyat. Dari seharusnya  berkhidmat sepenuh hati bagi bangsa dan negara, menjadi penikmat jabatan, kekayaan, legasi diri dalam segala pesona duniawi yang berlebihan dan tak berkesudahan.

 

Akhirnya segala perbuatan dilakukan tanpa mengindahkan nilai-nilai luhur kehidupan sebagaimana diajarkan agama, Pancasila, dan moralitas budaya yang utama. Hidup menjadi serba-digdaya dan apa saja boleh minus nilai-nilai bermakna.

 

Konstitusi dan segala koridor undang-undang maupun peraturan pun diakali, disiasati, dan disalahgunakan demi meraih kedigdayaan kuasa dan pesona kehidupan yang mata al-ghurur, sarat kesenangan duniawi. Segala hal seolah dapat dibeli dan dipertukarkan sehingga jabatan kehilangan fungsi nilai utama dan hanya dijadikan nilai-guna untuk memperkaya diri, legasi kuasa, dan segala kejayaan hidup diri, kroni, dan dinasti secara pragmatis dan oportunistik.

 

Sumpah jabatan pun berlalu sekadar seremonial lahir tanpa jiwa. Lupa bahwa segala perbuatan akan kembali kepada si empunya, sebagaimana peringatan Tuhan: “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri” (QS al-Isra: 7).

 

Integritas diri

 

Sebenarnya masih banyak elite dan pejabat negeri yang mulia hati dan perangai diri di negeri ini. Kini yang perlu dibangkitkan kembali dalam tubuh elite maupun penduduk negeri ialah integritas diri. Bagaimana menjadikan diri setiap insan Indonesia hidup benar, baik, dan patut secara moral yang berdiri tegak di atas nilai-nilai luhur agama, Pancasila, dan kebudayaan bangsa yang dipraktikkan dalam kehidupan nyata.

 

Buahnya ialah keteladanan diri, yakni hidup bermartabat yang menunjukkan kata sejalan tindakan. Praktik hidupnya berbuah keutamaan dan kebajikan bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara, dan kemanusiaan universal layaknya makhluk Tuhan yang diciptakan fi ahsan at-taqwim. Menjadi insan sebaik-baik ciptaan Tuhan yang hidup menebar rahmat bagi semesta alam.

 

Kewajiban moral para elite Indonesia, baik yang di pemerintahan maupun masyarakat kewargaan, ialah mengambil teladan dan mempraktikkan jalan perjuangan dan karakter kenegarawanan para pemimpin pendiri bangsa dengan segenap jiwa-raga dari pusat sampai daerah saat ini. Jadilah para pemangku amanat rakyat yang sesungguhnya, yang membela kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya secara autentik nirpencitraan.

 

Menjadi pemimpin yang benar-benar menghayati dan memahami keindonesiaan luar dan dalam. Mencintai negeri sepenuh hati dan tidak berani menjarahnya karena jiwa dan alam pikirannya jernih tidak tercemar dari segala polusi.

 

Para pejabat negara tidak sibuk dengan dirinya yang tak kunjung selesai, sementara nasib rakyat terabaikan. Bila ingin membangun legasi maka jadikan rakyat Indonesia yang mayoritas papa dan tertinggal menjadi cerdas, berilmu, terdidik, dan sejahtera secara merata sehingga Indonesia benar-benar maju, adil, dan makmur.

 

Bila benar-benar cinta rakyat dan negara maka utamakan segala hajat hidup rakyat dan negara sebagai agenda utama lebih dari yang lainnya. Bukan populisme cinta rakyat sebatas permukaan, simbolis, dan artifisial. Bukan pemimpin yang bertakhta di atas kekuasaan belaka dan mengandalkan populisme verbal tanpa menyelami  nasib rakyat  yang masih banyak hidup miskin, marginal, dan tertinggal.

 

Jabatan apa pun dalam kehidupan kenegaraan harus bersendikan nilai luhur keindonesiaan. Jadikan jabatan sebagai takhta untuk rakyat yang menyejahterakan, membawa keadilan, kebaikan, memajukan, dan memuliakan kehidupan bersama. Buatlah kebijakan-kebijakan yang berani untuk menyejahterakan dan memakmurkan mayoritas rakyat kecil.

 

Segala perundang-undangan dan kebijakan harus terhindar dari penyalahgunaan kekuasaan dan kepentingan sempit diri atau kroni, yang mengorbankan kepentingan dan masa depan rakyat dan negara Indonesia.

 

Pegang kuat Pancasila dan UUD 1945 secara konsisten, jujur, dan amanah dalam praktik nyata tanpa jargon dan verbalitas retorika. Pancasila jangan dijadikan utopia dalam keindahan kata-kata, tetapi niscaya dibumikan di dunia nyata. Jauhi godaan politik yang menjerumuskan diri pada politik kekuasaan yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan nilai-nilai utama bangsa yang bersendikan agama dan kebudayaan luhur Indonesia.

 

Lembaga penegakan hukum dan pemberantasan korupsi mesti berjalan lurus di atas konstitusi, hukum, profesionalitas, keadilan, dan objektivitas dengan menghindarkan diri dari segala intervensi, kriminalisasi, dan politisasi.

 

Kekuasaan dan jabatan kenegaraan jangan menjadikan diri merasa serbadigdaya, berlimpah kemegahan, dan ketika salah pun bergeming dalam kesalahkaprahan yang tak berkesudahan. Kekuasaan duniawi tanpa nilai utama Langit sering menjadikan manusia lupa diri. Dari virus haus digdaya dan penyalahgunaan jabatan banyak terjadi tragedi di muka bumi, baik dulu maupun kini.

 

Prahara suatu bangsa justru bermula dari sikap tamak dan angkuh diri para pemegang kuasa dunia yang melampaui batas, sebagaimana peringatan Tuhan dalam Alquran: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu).” (QS al-Isra: 16). ●

 

Sumber :  https://www.republika.id/posts/30192/martabat-pejabat-negara

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar