Selasa, 26 Juli 2022

 

Makna Lawatan Biden ke Timur Tengah

Smith Alhadar : Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)

MEDIA INDONESIA 21 Juli 2022

 

                                                

 

UNTUK pertama kalinya sejak menduduki Gedung Putih pada awal 2021, Presiden AS Joe Biden melakukan lawatan ke Timur Tengah. Lawatan empat hari ini (13-16 Juli) tak lepas dari masalah politik dalam negeri yang tidak menguntungkan Biden menjelang pemilu sela (midterm election) pada awal November. Lawatan ke Timur Tengah dipandang akan memberikan insentif politik yang dapat mengembalikan populeritasnya di dalam negeri yang belakangan merosot akibat kenaikan harga gasolin di dalam negeri dan meroketnya inflasi.

 

Perang Ukraina

 

Tampaknya NATO pimpinan AS telah salah perhitungan terkait krisis Ukraina. Mulanya, NATO mengira Presiden Rusia Vladimir Putin tak akan menginvasi Ukraina mengingat NATO telah mengeluarkan ancaman keras apabila hal itu dilakukan. Kalaupun hal itu dilakukan, Rusia akan mengalami kekalahan tragis yang akan mengerdilkan Rusia karena NATO akan membantu persenjataan Ukraina sambil melemahkan kemampuan perang Rusia melalui embargo minyak dan gas yang menjadi sumber pendapatan utama Rusia.

 

Faktanya, skenario itu tidak jalan. Putin tetap menginvasi tetangganya itu dan menjelang lima bulan perang ini, kemampuan perang Rusia tetap terjaga karena Tiongkok dan India tetap memborong energi Rusia dalam jumlah besar. Memang Rusia juga mengalami inflasi yang relatif tinggi, tetapi tidak mengalami kehancuran ekonomi sebagaimana diprediksi NATO.

 

Yang terjadi sebaliknya. Pengurangan secara drastis impor energi Eropa dari Rusia justru menciptakan krisis ekonomi di ‘Benua Biru’, baik negara anggota NATO maupun non-NATO. Juga mulai terjadi perpecahan politik di antara negara-negara Eropa. Alhasil, perang Ukraina lebih memukul ekonomi Eropa ketimbang Rusia.

 

Di AS, kenaikan harga barang, terutama krisis gasoline, telah memicu inflasi hingga lebih dari 9%, tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Biden telah membujuk perusahaan-perusahaan energi AS agar mengurangi margin keuntungan mereka dengan menurunkan harga gasolin. Namun, tidak berhasil. Sementara itu, popularitas Biden merosot tajam. Dalam jajak pendapat terbaru, dirilis pada 11 Juli lalu oleh Siena College-New York Times, ditemukan keseluruhan rating approval Biden berada di level 33% yang menunjukkan sebagian pemilihnya dalam Pilpres 2020 telah meninggalkannya.

 

Ini akan berdampak pada midterm election pada 8 November mendatang. Midterm election, yang dilakukan pertengahan masa jabatan presiden, bisa dikata merupakan referendum terhadap kinerja pemerintahan AS dalam dua tahun terakhir. Realitas ini telah menimbulkan pesimisme di kalangan Demokrat, partainya Biden, akan masa depan politik presiden sehingga hanya 26% pendukung Demokrat yang menginginkan ia dicalonkan kembali dalam Pilpres 2024.

 

Isu nuklir Iran

 

Sementara itu, lobi Yahudi, Israel, beberapa negara Arab Teluk, dan para hawkish anti-Iran di AS mengadakan resistansi terhadap upaya Biden memulihkan kesepakatan nuklir Iran yang dikenal dengan nama resmi Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA). JCPOA yang ditandatangani pada 2015 antara Iran di satu pihak dan lima anggota tetap DK PBB plus Jerman (P5+1) di pihak lain mengharuskan Iran membatasi program nuklirnya hanya untuk keperluan sipil. Sebagai imbalan, ‘Negara Mullah’ itu diizinkan mengekspor minyak dan gasnya ke pasar global.

 

Namun, pada 2018, Presiden AS Donald Trump mundur dari JCPOA yang diikuti tekanan maksimum untuk memaksa Teheran bersedia merundingkan kembali kesepakatan itu dengan menambahkan klausul yang melarang Iran menghentikan program rudal balistiknya dan menarik diri dari Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman yang mana terdapat milisi-milisi bersenjata Syiah bentukan Iran. Sekutu AS di Timur Tengah--Israel, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab--menyambut gembira kebijakan Trump.

 

Namun, bukannya tunduk, Iran malah ikut melanggar JCPOA dengan meningkatkan pengayaan uranium hingga 60% sehingga hanya dibutuhkan langkah kecil untuk membuat bom atom dengan meningkatkan pengayaan uranium hingga 90%. Lebih jauh, Iran melakukan destabilisasi Teluk Persia, sumber utama energi dunia, dengan menyerang tanker-tanker internasional dan instalasi minyak Saudi.

 

Tentu perangai Iran itu mengganggu kepentingan sekutu AS di kawasan bahkan mengganggu kepentingan AS sendiri saat pemerintahan Biden mengalihkan fokusnya ke Indo-Pasifik untuk menghadapi Tiongkok yang makin agresif dan asertif di kawasan vital itu. Desakan Israel agar AS mengambil jalan militer dengan menyerang situs-situs dianggap tidak realistis dan berbahaya. AS tidak siap untuk perang baru menghadapi Iran yang sangat mahal dan dampak keamanan di kawasan.

 

Maka itu, jalan diplomasi dianggap solusi terbaik. Perundingan pemulihan JCPOA antara Iran di satu pihak dan P5+1 di pihak lain telah berlangsung sejak April tahun lalu di Wina, Swiss. Banyak kemajuan dicapai. Namun, belum juga dicapai kesepakatan final karena Iran menuntut AS mengeluarkan pasukan elite Quds, bagian dari Korps Garda Revolusi Islam, dari daftar teroris. Biden enggan melakukannya karena resistansi dari Israel, sekutu Arab, dan politisi hawkish di AS.

 

Untuk menyenangkan sekutu Israel dan Arab serta menekan Iran, Biden berulang kali menyatakan bahaya Iran ketika berada di Israel maupun di Saudi. Di Israel, Biden dan PM Israel Yair Lapid malah menandatangani kesepakatan dengan tujuan militer menyerang situs nuklir Iran bila jalan diplomasi menyelesaikan isu nuklir Iran mengalami jalan buntu. Ketika menghadiri KTT di Jedah, Saudi, yang menghadirkan pemimpin enam Negara Teluk plus Mesir, Yordania, dan Irak, Biden menekankan bahwa AS tidak akan meninggalkan Timur Tengah dan berkomitmen menjaga keamanan sekutunya dari bahaya ancaman Iran, Rusia, ataupun Tiongkok.

 

Kemenangan MBS

 

Masalah politik domestik akibat perang Ukraina memaksa Biden mematahkan janjinya mengisolasi penguasa de facto Arab Saudi, Putra Mahkota Pangeran Mohammad bin Salman (MBS), terkait dengan pembunuhan wartawan senior Saudi Jamal Khashoggi di Konsulat Saudi di Istanbul, pada Oktober 2018. Badan Intelejien AS menyatakan MBS otak pembunuhan itu. MBS mengatakan sama sekali tidak memerintahkan tindakan keji itu.

 

Sebelum melawat ke Timur Tengah, Biden memang tak pernah berkomunikasi dengan MBS kecuali Raja Salman bin Abdulaziz. Selain komitmen pemerintahannya bagi penegakan HAM di seluruh dunia, Biden juga menghindari para pengkritik aktivis HAM di dalam negeri terkait MBS. Namun, akhirnya berlaku pameo ‘tidak ada musuh abadi, yang abadi ialah kepentingan’. Biden akhirnya harus bertemu dan menjabat tangan MBS.

 

Terkait dampak perang Ukraina, mau tak mau Biden harus menemui mitra Arabnya untuk membantu AS dan sekutunya di Eropa dengan meminta negara-negara produsen energi Teluk, khususnya Arab Saudi, memompa lebih banyak minyak ke pasar dunia demi menstabilkan harga.

 

Merasa sudah menang, MBS bersedia menambah produksi minyaknya hingga 13 juta barel per hari dari 11 juta barel saat ini. Namun, itu baru bisa dilakukan awal bulan depan setelah OPEC+ yang mana Rusia merupakan anggotanya bertemu untuk membicarakan pagu produksi dan harga baru dalam merespons krisis energi dunia saat ini.

 

Dengan Biden datang menemuinya, bukan saja MBS telah keluar dari isolasi internasional yang sudah lama diharapkannya, melainkan juga memberi keuntungan lain pada negaranya. Biden mengumumkan penarikan pasukan perdamaian AS dari Pulau Tiran di Laut Merah pada akhir tahun ini setelah diplomasi senyap berbulan-bulan dan mentransfer area yang dulu mencetuskan perang antara Mesir dan Israel menjadi tempat pembangunan pariwisata dan ekonomi masa depan.

 

Mesir menyerahkan dua pulau kecil Tiran dan Sanafir, yang tidak berpenghuni, tapi memiliki nilai strategis kepada Saudi pada 2016. Namun, status teritorinya masih perlu diratifikasi Israel sebelum kedaulatannya dipindahkan. Penyerahannya akan membuka akses kontak langsung Israel-Saudi karena pulau-pulau itu merupakan satu-satunya akses Israel ke Laut Merah.

 

Persetujuan dari Israel tersebut tampaknya merupakan barter setelah Saudi mengumumkan kebebasan Israel menggunakan langitnya bagi pesawat sipil yang terbang dari dan ke Israel. Lawatan Biden memang telah memberi keuntungan besar pada MBS, tapi belum tentu memberi insentif politik pada dirinya.

 

Sumber :   https://mediaindonesia.com/opini/508246/makna-lawatan-biden-ke-timur-tengah

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar