Senin, 25 Juli 2022

 

Semarak Awal Tahun Ajaran Baru

Anggi Afriansyah : Peneliti sosiologi pendidikan di Pusat Riset Kependudukan BRIN

MEDIA NDONESIA 19 Juli 2022

 

                                                

 

AWAL tahun ajaran baru tahun ini terasa lebih semarak. Anak-anak kembali masuk sekolah secara aktif, pembelajaran tatap muka sudah diterapkan. Meriah sekali awal tahun ajaran tahun ini ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Di tengah semarak situasi sekolah, tentu ada beberapa poin yang perlu diperhatikan bersama.

 

Pertama, perhatian terhadap situasi psikologis anak. Anak-anak yang terbiasa di rumah tentu akan mengalami situasi yang berbeda ketika harus bertemu guru ataupun teman-teman di sekolah. Tidak semua anak memiliki kemampuan untuk mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Orangtua dan pihak sekolah harus dapat mengawal anak-anak memasuki kehidupan persekolahan. Kedua belah pihak harus melakukan komunikasi intensif agar anak-anak dapat memasuki dunia baru dengan gembira dan bersemangat.

 

Kedua, penguatan nilai-nilai sosial. Ada banyak ragam nilai yang terserak di masyarakat sekolah. Dalam perspektif sosiologis, sering ditempatkan sebagai arena penguatan nilai. Penting bagi pihak sekolah untuk memetakan nilai-nilai sosial apa yang dibutuhkan bagi anak-anak dalam mengarungi kehidupan saat ini dan nanti. Internalisasi nilai-nilai tersebut sangat penting bagi tumbuh kembang anak.

 

Dalam hal ini, nilai yang coba diinternalisasikan tidak akan ampuh jika menggunakan pola doktrinasi. Selain pemahaman terkait dengan nilai-nilai sosial, praktik secara langsung juga akan lebih ampuh. Solidaritas, kepedulian, empati, misalnya, disebutkan menjadi nilai-nilai sosial yang menjadi penting di tengah hiruk pikuk dunia yang serbaindividualis hari-hari ini. Internalisasi nilai-nilai sosial tentu sangat bergantung pada visi dan misi sekolah.

 

Ketiga, pengembangan karakter. Sudah sering disebutkan bahwa pendidikan karakter sangatlah penting dan mendasar. Bahkan, dalam konteks kebijakan pendidikan di Indonesia, kita mengenalnya menjadi pendidikan karakter, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, dan lain sebagainya. Pemerintah sangat menyadari pentingnya karakter. Mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradap berdasarkan falsafah Pancasila, misalnya, disampaikan pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005-2025.

 

Nilai religius, nasionalis, integritas, mandiri, dan gotong royong juga diamanatkan pada Peraturan Presiden RI No 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Sekarang ada profil pelajar Pancasila dengan enam ciri, yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.

 

Semua nilai tersebut tentu baik. Namun, pertanyaannya, bagaimana agar nilai tersebut melekat pada diri anak? Tentu perlu desain yang komperhensif dari sekolah. Untuk anak sekolah dasar, misalnya, apakah sekolah memiliki peta jalan, dalam enam tahun anak-anak di sekolah apa yang akan menjadi fokus penguatan karakter? Pola pendidikan apa yang akan diberikan agar anak mampu memiliki profil pelajar Pancasila?

 

Semua bukan hanya sebatas di pemahaman, melainkan juga lebih kepada bagaimana implementasi yang dapat dilakukan anak-anak secara mudah. Dari amatan sementara, banyak sekolah yang sudah mencoba menginternalisasikan nilai-nilai tersebut, tetapi masih dalam sebatas pemahaman bagi siswa dan kurang kreatif ketika berupaya membangun nilai-nilai itu dalam aktivitas keseharian.

 

Keempat, kemampuan menilai diri dan merefleksikannya. Sekolah tampaknya perlu kerja keras untuk membuat anak-anak dapat menjadi anak-anak yang memiliki refleksi diri yang baik. Pertanyaan-pertanyaan filosofis nan sederhana, seperti ‘untuk apa kamu sekolah?’, ‘untuk apa kamu belajar?’, ‘mengapa saya harus bersekolah?’, ‘mengapa saya harus belajar materi ini?’, dan lain sebagainya harus jadi ajuan utama ketika memulai kegiatan. Refleksi itu penting agar anak tidak mudah terombang-ambing di tengah kehidupan yang semakin kompleks, agar anak-anak tahu apa yang dimau dan dalam jangka panjang mereka tahu visi dan misi hidup mereka.

 

Pembelajar dan mandiri

 

Kelima, menjadi sosok pembelajar dan mandiri. Sosok pembelajar dan mandiri dapat dibangun melalui kegiatan pembelajaran di sekolah ataupun di rumah. Di tengah situasi yang problematik dan kompleks, menjadi pembelajar dan mandiri menjadi sangat penting. Anak-anak model ini merupakan mereka yang memiliki rasa ingin tahu tinggi. Mereka biasanya mau mengulik berbagai hal dengan rasa bergairah. Gairah tinggi belajar menjadi kunci dalam memahami berbagai aspek dalam kehidupan. Fokus pada tujuan yang ingin digapai dan tidak mudah menyerah. Semua didasari keinginan untuk terus belajar dan tidak bergantung pada asupan pengetahuan dari guru dan orang dewasa.

 

Keenam, beri kesempatan anak berpendapat dan bertanya. Membangun masyarakat demokratis dimulai dari berbagai aspek kehidupan. Dalam konteks pendidikan, memberi kesempatan anak berpendapat dan bertanya menjadi sangat penting. Anak-anak yang memiliki ruang berpendapat akan lebih eksploratif dalam memandang kehidupan. Ketika anak-anak diberi kesempatan bersuara, mereka dapat mengartikulasikan berbagai gagasan yang ada di dalam pikiran mereka secara sistematis dan logis. Membangun daya kritis dimulai dari memberi kesempatan anak berpendapat dan bertanya. Dari sini juga kemampuan berdialog dan menyikapi perbedaan dikukuhkan.

 

Ketujuh, beri ruang untuk membaca buku meski dunia semakin terdigitalisasi dan anak-anak bisa dengan mudah membaca melalui gawai mereka. Namun, membaca buku tetap menjadi hal yang perlu diasah dan dikuatkan. Buku-buku pelajaran biasanya kaku dan tidak mencerahkan. Maka itu, perlu ada desain pembelajaran di sekolah yang memungkinkan anak-anak untuk membaca ragam buku yang sesuai usia. Buat program yang mana anak-anak memiliki waktu untuk membaca di sekolah. Membaca buku juga menjadi sarana untuk membangun siswa yang imajinatif dan reflektif. Membangun habitat membaca perlu upaya yang sistematis.

 

Kedelapan, tidak fokus pada sisi akademik. Ada anak-anak yang memang berbakat mencerna pelajaran dengan cepat. Namun, banyak anak yang kesulitan memahami pelajaran yang diberikan guru di ruang kelas. Sistem persekolahan memang tampaknya lebih berpihak pada anak-anak yang cerdas secara akademik. Karena itu, kadang lupa memperhatikan anak-anak berbakat di bidang lain. Maka itu, diferensiasi perlakuan di sekolah perlu dikuatkan. Tidak mudah, tetapi harus diupayakan jika ingin anak-anak melejit potensinya.

 

Ada banyak hal yang bisa dikuatkan di sekolah. Namun, jika sekolah sudah bisa menguatkan delapan hal tersebut, tampaknya sekolah akan menjadi tempat yang lebih semarak dan membuat anak-anak bahagia. Anak-anak akan merayakan keceriaan di sekolah.

 

Sumber :   https://mediaindonesia.com/opini/507632/semarak-awal-tahun-ajaran-baru

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar