Senin, 25 Juli 2022

 

Inflasi Amerika Serikat, Pelajaran dari Sejarah The Fed, dan Respons Dunia

Ronny P. Sasmita :  Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

KORAN TEMPO, 20 Juli 2022

 

 

                                                           

Pada 1979, dua tahun setelah menjabat Presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter berhadapan dengan situasi ekonomi Amerika yang pahit. Inflasi masih menggila dan bahkan sebagian ekonom Amerika menyebutnya dengan sebutan era Great Inflation karena kenaikan harga barang-barang tertentu sangatlah tinggi, jauh di atas core inflation yang tercatat sampai lebih dari 20 persen. Memang, situasi ekonomi dunia ketika itu sedang memanas, terutama setelah eliminasi “convertibility” dolar terhadap emas oleh Nixon pada 1971, lalu main patgulipat harga minyak dunia oleh OPEC sebagai reaksi Timur Tengah atas Perang Yom Kippur, invasi Uni Soviet ke Angola (bersama dengan pasukan Kuba), hingga krisis Iran setelah revolusi Islam, dan seterusnya.

 

Pada tahun itu, Jimmy Carter memutuskan mengganti William Miller, Gubernur Federal Reserve atau The Fed—bank sentral Amerika—dengan Paul Volcker, yang sebelumnya sempat menjadi Gubernur The Fed New York. Dalam beberapa minggu setelah mengambil alih kepemimpinan The Fed, Volcker dan tim berkesimpulan bahwa aksi moneter tegas (bold monetary policy) sangat diperlukan untuk menjinakkan inflasi. Untuk itu, The Fed memutuskan untuk menaikkan suku bunga jangka pendek dari sekitar 10 persen menjadi 15 persen, lalu naik lagi ke level 20-an persen, menyesuaikan dengan tingkat inflasi kala itu (Taylor's Law). Suku bunga acuan jangka pendek yang cukup tinggi itu bertahan sampai 1982.

 

Inflasi akhirnya bisa ditekan menjadi 4 persen dengan pengorbanan di sisi lain yang cukup menyakitkan. Output industri manufaktur—Chrysler harus di-bail out pada 1980—dan pendapatan keluarga tertekan rata-rata sebesar 10 persen serta tingkat pengangguran naik hingga hampir 11 persen. Meski demikian, angka inflasi sekitar 4 persen bertahan sampai 20 tahun kemudian hingga memasuki era yang disebut para ekonom sebagai era “Great Moderation” sebelum dihantam krisis finansial pada 2008.

 

Dengan kata lain, ada trade off yang harus dialami ketika memilih menghadapi stagflasi dengan pendekatan moneter. Stagflasi adalah anomali Keynesian, yang kemudian menenggelamkan Keynesianisme itu sendiri pada 1980-an di Amerika. Menurut Keynes, inflasi niscaya terjadi berbarengan dengan “unemployment” yang tinggi karena inflasi adalah gambaran dari membaiknya “aggregate demand”, salah satu kata kunci milik kubu Keynesian, dan melebarnya lapangan pekerjaan.

 

Sementara itu, menurut kubu moneteris, yang diwakili oleh Milton Friedman, inflasi adalah soal "uang beredar terlalu banyak". Formula tersebut disederhanakan dalam ungkapan terkenal Friedman, yakni "Inflation is always and everywhere a monetary phenomenon". Dengan sudut pandang ini, cara menghadapi inflasi adalah mengurangi jumlah uang beredar melalui mekanisme kenaikan suku bunga dan itulah yang dilakukan oleh Paul Volcker.

 

Langkah Volcker tersebut akhirnya menjadi pintu masuk bagi proses finansialisasi lebih dalam ekonomi Amerika untuk dekade-dekade selanjutnya. Suku bunga yang tinggi membuat produk jasa keuangan berkembang pesat, dana berbondong-bondong masuk ke sistem keuangan Amerika, dan melahirkan berbagai jenis produk investasi, terutama produk keuangan derivatif. Amerika ketiban miliaran dolar dari Jepang, yang mengantongi surplus dagang besar sejak 1970-an untuk menjaga agar mata uang yen tetap lemah. Lalu, pada awal 1990-an, semakin besar dana yang mengalir, terutama dana-dana pelarian dari reruntuhan Uni Soviet. Sejak 2000-an, terutama setelah Cina menjadi anggota WTO, dana dari Cina kian membanjiri Negeri Abang Sam untuk menjaga mata uang yuan tetap undervalued.

 

Kelebihan likuiditas tersebut sering disebut dengan istilah "glut fund" dan kemudian meledak pada krisis Long Term Capital Management (LTCM) di akhir 1990-an, lalu meledak lagi di krisis dotcom pada awal 2000-an. Karena sektor riil bergerak tidak secepat pergerakan modal, dana-dana akhirnya mengalir ke model bisnis baru yang berbasis transaksi online, yang menjadi awal cerita krisis dotcom. Gubernur The Fed yang baru ketika itu, Alan Greenspan, menanggapinya dengan semakin melandaikan suku bunga The Fed, yang memicu dana semakin banyak mengalir ke aset-aset keuangan berbasis kredit sektor perumahan berisiko tinggi (supreme mortgage), seperti mortgage backed securities (MBS), collateralized debt obligation (CDO), dan credit debt swap (CDS). Setelah pecah gelembung LTCM dan gelembung dotcom, pada 2008 gelembung aset sampah berbasis kredit perumahan berisiko tinggi itu pun ikut pecah.

 

Bukan hanya Amerika yang dibuat sakit perut, seluruh dunia pun terbawa mual-mual, termasuk dengan tumbangnya Bank Century pada 2008. Para moneteris menyalahkan Alan Greenspan, yang membiarkan suku bunga sangat rendah dalam rentang waktu yang lama. Alan dituduh terlalu berpihak kepada inovasi produk-produk keuangan, dari yang berbasis teknologi sampai pada pendalaman leverage (derivatif), yang menyebabkan gelembung berbahaya. Namun, menurut para New Keynesian, kebijakan suku bunga rendah Alan Greenspan sangat bisa dipahami, mengingat “aggregate demand” yang rendah sehingga The Fed terus melonggarkan kredit agar sektor riil tetap mendapat kelimpahan dana.

 

Kini, Amerika kembali berada di masa yang mirip dengan era 1970-an akhir dan 1980-an awal. Perekonomian Amerika, setelah dibuat lunglai oleh dua tahun pandemi, kini diterpa inflasi tinggi dan pengangguran yang juga tinggi (stagflasi). The Fed terlihat bimbang. Berbulan-bulan sejak pertengahan tahun lalu, The Fed mengulur-ulur waktu kenaikan suku bunga dan penghentian kebijakan quantitative easing. Pasalnya, kondisi overheated kali ini bukan karena peningkatan “aggregate demand”, melainkan karena kenaikan harga komoditas dunia dan kelangkaan pasokan akibat perang dagang dan perang Rusia-Ukraina di satu sisi serta terlalu banyaknya uang yang beredar di sisi lain akibat kebijakan quantitative easing pada masa lalu dan menggelembungnya utang pemerintahan Negeri Abang Sam di sisi lain (money printing).

 

The Fed sangat tidak mungkin mengambil langkah agresif dengan menaikkan suku bunga yang tinggi, sebagaimana yang dilakukan oleh Paul Volcker, karena akan menekan kesempatan kerja di satu sisi dan memperburuk performa ekonomi global di sisi lain, yang akan merugikan ekspor dan investasi luar negeri perusahaan-perusahaan Amerika. Namun, membiarkan ekonomi overheated pada saat “aggregate demand” yang biasa-biasa saja akan merusak fondasi ekonomi dan industri Negeri Abang Sam. Daya beli kelas menengah dan kelas bawah akan hancur di satu sisi dan daya saing industri dalam negeri akan berantakan dihantam produk-produk impor murah di sisi lain.

 

Kehati-hatian tersebut sangat bisa dipahami, mengingat mandat ganda yang diemban The Fed, yakni pengendalian inflasi dan peningkatan lapangan pekerjaan. Ini agak berbeda dengan Bank Indonesia, yang sejak beberapa tahun belakangan lebih berfokus pada pendekatan inflation targeting framework (ITF). Meski demikian, berkaca pada pengalaman Amerika di era Great Inflation dan kehati-hatian The Fed hari ini, sangat wajar jika Bank Indonesia juga berhati-hati dalam mereaksi tingkat inflasi di satu sisi dan menyikapi kebijakan The Fed baru-baru ini di sisi lain.

 

Inflasi Indonesia secara komparatif tidaklah tinggi pada saat angka pengangguran yang justru agak mengkhawatirkan. Inflasi pada Mei lalu lebih banyak disebabkan oleh kelangkaan dan mahalnya harga komoditas di satu sisi dan tata kelola rantai pasok di sisi lain dan bahkan besar kemungkinan juga masuk kategori “greedflation”—meminjam istilah David Ruccio—alias inflasi akibat permainan oligarki komoditas untuk meraup cuan sebesar-besarnya. Artinya, menaikkan suku bunga hanya karena merespons The Fed rasanya menjadi kebijakan yang kurang fair untuk ekonomi nasional, terutama jika dikaitkan dengan misi pelebaran tenaga kerja dan penjagaan pertumbuhan ekonomi nasional.

 

Selain kasus Amerika pada 1970-1980-an, pengalaman Cina setelah peristiwa Tiananmen layak dijadikan pelajaran. Inflasi Cina kala itu sampai 28 persen akibat peningkatan tajam aggregate demand yang dipicu oleh kebijakan pintu terbuka Deng Xioping. Secara politik, setelah peristiwa Tiananmen, pemerintahan Jiang menerapkan martial law. Dalam aspek ekonomi, pemerintah mencekik likuiditas. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi Cina "nyungsep" dari 11,2 persen pada 1988 menjadi 4,2 persen pada 1989, lalu turun lagi menjadi 3,9 pada 1990. Pertumbuhan ekonomi Cina baru kembali ke jalur awal setelah kembali ke kebijakan liberalisasi ekonomi setelah "southern tour" Deng Xioping pada 1992. Pada tahun itu, ekonomi Cina kembali tumbuh dua digit, 14,2 persen; tahun 1993 tumbuh 13,9 persen; tahun 1994 tumbuh 13 persen; dan tahun 1995 tumbuh 11 persen. ●

 

Sumber :   https://koran.tempo.co/read/opini/475191/inflasi-amerika-serikat-pelajaran-dari-sejarah-the-fed-dan-respons-dunia

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar