Senin, 25 Juli 2022

 

Menjaga Target Transisi Energi

Todotua Pasaribu: Sekretaris Dewan Pakar Seknas Jokowi

MEDIA NDONESIA 20 Juli 2022

 

                                                

 

KONFLIK berlarut antara Rusia dan Ukraina menjadi ancaman serius bagi  transisi energi di tataran global dan itu sudah mulai tampak di kawasan Eropa Barat. Negara-negara di kawasan ini berencana kembali menggunakan sumber energi fosil, dalam hal ini PLTU berbasis batubara, sebagai bentuk antisipasi kemungkinan krisis pasokan energi (listrik), mengingat musim dingin segera tiba.

 

Jerman misalnya, yang selama ini dikenal sebagai negara garda depan dalam transisi energi, terpaksa melakukan kompromi juga, ketika harus mengaktifkan kembali sejumlah PLTU.

 

Jerman perlu melakukan aktivasi PLTU setelah perusahaan gas Rusia (Gazprom) menghentikan pasokan gas ke Jerman.

 

Dengan kemampuan teknologi dan ketersediaan kapital, negara-negara Eropa, seperti Jerman dan Inggris, mampu melakukan percepatan transisi energi, dibanding umumnya negara berkembang di belahan Bumi lain.

 

Gas alam cair, yang selama ini diimpor dari Rusia, sejatinya adalah bagian dari skenario transisi energi Jerman, dari pemanfaatan energi nuklir (PLTN) menuju energi baru dan terbarukan (EBT), yang lebih ramah lingkungan. 

 

Sejumlah negara di kawasan Eropa Barat, seperti Belanda, Austria dan Italia, juga melakukan langkah yang hampir sama. Belanda telah mengumumkan bakal mencabut semua pembatasan penggunaan bahan bakar fosil untuk sumber energi pembangkit listrik. Rata-rata negara di Uni Eropa mendapat pasokan gas dari Rusia, sekitar 40% dari total kebutuhan yang ada.

Menjaga target

 

Konflik berlarut Rusia dan Ukraina, berdampak suram pada skenario transisi energi, utamanya di Eropa Barat, kawasan yang selama ini dikenal paling ekspansif, selain negara rumpun Skandinavia, dalam transisi energi. 

 

UE membutuhkan suplai gas dari Rusia (dan Norwegia), untuk memenuhi kebutuhan energi.

 

Dua negara tersebut memiliki peran penting dalam menopang transisi energi UE. Di sisi lain, konsumsi energi masyarakat UE juga semakin tinggi saat pandemi covid-19, termasuk pada musim dingin yang akan datang. Oleh karena itu, meski produksi renewable energy (energi terbarukan) sudah dikembangkan oleh Eropa, energi itu masih belum mampu menjadi sandaran kebutuhan energi.

 

Wakil Kanselir yang juga Menteri Ekonomi Jerman Robert Habeck (Partai Hijau) mengatakan Jerman akan lebih banyak mengandalkan PLTU. Itu artinya akan lebih banyak PLTU yang aktif kembali, di atas perkiraan selama ini sesuai peta jalan transisi energi.

 

Habeck mengakui, memanfaatkan kembali PLTU adalah langkah mundur dan sangat pahit, namun ini satu-satunya pilihan untuk mengurangi konsumsi gas.

 

Gas menjadi sumber energi di Eropa, setelah mereka mulai mengurangi proporsi batubara, untuk mencapai netralitas karbon pada 2050, dan mengurangi emisi setidaknya 55% pada 2030.

 

Menurut data laman open source, saat ini, sekitar 25% konsumsi energi Uni Eropa berasal dari gas alam, minyak bumi (32%), energi terbarukan dan biofuel (18%), dan bahan bakar fosil padat (11%). Sebanyak 41% kebutuhan gas Eropa dipasok Rusia, dengan Jerman sebagai importir terbesar.

 

Kendati kembali memanfaatkan batubara, Jerman tetap menjaga ambisinya dalam transisi energi. Jerman tetap berkomitmen menutup seluruh PLTU mereka pada 2030 mendatang, sebagai bagian dari mitigasi perubahan iklim.

 

Sesuai kebijakan sejak era Kanselir Angela Merkel (2005-2021), gas alam cair, yang selama ini diimpor dari Rusia, sejatinya adalah “jembatan” transisi energi Jerman, dari pemanfaatan energi nuklir (PLTN) dan PLTU,  menuju energi baru dan terbarukan (EBT) yang lebih ramah lingkungan.

 

Fenomena yang terjadi Jerman, juga terjadi di negara lain, dengan kendala yang bisa jadi berlainan. Negara-negara yang selama ini dikenal tangguh dalam komitmen meninggalkan batubara, ternyata masih membutuhkan sumber energi yang acap kali disebut sumber energi “kotor”.

 

Apa yang terjadi pada konflik Rusia-Ukraina, dengan segala dampak buruknya, telah mengubah peta jalan transisi energi.

 

Dalam konteks perubahan iklim di tingkat global, beralih ke energi bersih adalah solusi terbaik  bagi keberlanjutan planet Bumi.  Atas berhentinya pasokan minyak dan gas Rusia, dunia mengalami defisit energi.

 

Untuk itu perlu segera dicarikan jalan untuk mengatasi defisit energi hari ini, tetapi solusi yang diambil harus lebih mengedepankan kepentingan dekarbonisasi jangka panjang, terkait mitigasi emisi untuk menurunkan risiko krisis iklim.

 

Menambah investasi bahan bakar fosil bukanlah solusi bagi krisis energi. Sebaliknya, krisis energi saat ini justru bisa dijadikan momentum untuk mempercepat transformasi energi terbarukan, termasuk transfer teknologi dan pendanaam ke negara-negara berkembang, salah satunya adalah Indonesia. 

 

Bila negara-negara berkembang, yang selama ini selalu mengandalkan PLTU dalam pasokan energinya, harus menutup PLTU mereka lebih cepat, karena dianggap sebagai penyumbang emisi GRK (gas rumah kaca), perlu dipikirkan bagaimana para pelanggan tetap memperoleh akses listrik yang bersih dengan harga terjangkau.

Inspirasi bagi Indonesia

 

Sesuai kebijakan Kanselir Angela Merkel (2006 – 2021), gas alam asal Rusia diposisikan sebagai “jembatan” menuju pemanfaatan energi terbarukan secara menyeluruh. Pada titik itu, kita melihat  sebuah paralelisme, dihubungkan dengan keberadaan batubara di negeri kita. Bahwa akan tiba masanya, batubara akan diposisikan sebagai “jembatan” sebagaimana gas alam di Jerman.

 

Untuk menuju capaian nol emisi bersih (net zero emission) pada 2060, pemerintah menegaskan batubara, bersama minyak dan gas bumi, bakal dioptimalkan pemanfaatannya, sebelum energi terbarukan siap menjadi tulang punggung pasokan energi di Indonesia.

 

Gas bumi secara perlahan juga akan menggantikan sejumlah PLTU, jadi tak berlebihan bila dikatakan peta jalannya mirip dengan Jerman.

 

Penting untuk dicatat, sikap tetap ambisius para pemimpin Eropa  terkait transisi energi, kiranya bisa menjadi inspirasi bagi para pemangku kepentingan sektor energi di Indonesia. 

 

Komitmen kuat pemimpin Eropa dalam transisi energi, terutama Jerman, bukan jargon semata, namun berbasis riset dan data lapangan.

 

Situasinya tidak jauh berbeda dengan negeri kita, dalam hal potensi EBT (energi baru dan terbarukan).

 

Presiden Joko Widodo, dalam lawatan ke Jerman, akhir Juni lalu, di sela-sela KTT G7 di Elmau, juga menyempatkan diri membicarakan potensi pengembangan energi terbarukan dengan Kanselir Jerman Olaf Scholz.

 

Presiden Joko Widodo berharap, dengan kompetensi Jerman dalam teknologi  sektor energi terbarukan yang sudah diakui komunitas internasional, Jerman bisa menjadi mitra dalam mengelola potensi 474 gigawatt sumber EBT di Indonesia.

 

Potensi EBT di Indonesia sangat melimpah. Seandainya semua potensi tersebut dapat dimanfaatkan dengan optimal,  termasuk penggunaan teknologi yang tepat, cita-cita Indonesia untuk meninggalkan energi fosil bukan sekadar wacana. 

 

Sementara di sisi lain, ketergantungan Indonesia terhadap batubara boleh dibilang masih tinggi. Merujuk data 2021, peran batubara dalam bauran energi primer pembangkit listrik sebesar 65,93%. Sementara sumber energi terbarukan berkontribusi 12,73%.

 

Adapun gas untuk energi pembangkit listrik berperan sebesar 17,48%, dan sisanya menggunakan BBM.

 

Pemerintah sudah memasang target bebas dari emisi pada pembangkit listrik, utamanya PLTU berbasis batubara, pada 2060, bahkan diusahan bisa lebih cepat lagi.

 

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, pada tahun 2025 diharapkan peran batubara dalam bauran energi nasional turun menjadi 30%. Kemudian pada 2050, peran batubara diturunkan lagi menjadi 25%.

 

Sudah menjadi pengetahuan bersama, masalah mendasar menuju emisi nol bersih 2060 adalah teknologi dan pendanaan. Transisi energi perlu didukung transfer teknologi dari negara yang lebih maju, mengingat  sumber energi terbarukan masih bersifat intermiten. Seperti PLTB misalnya, bila angin tak bertiup kencang, tidak akan menghasilkan daya listrik yang optimal.

 

Kendala yang sama terjadi pada PLTS (panel surya) dan PLTA, yang terakhir ini bisa berhenti operasi, apabila sungai surut saat kemarau panjang. Hanya pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), yang relatif stabil menghasilkan daya listrik.

 

Teknologi diharapkan dapat menjadi solusi atas intermiten sumber EBT. Dibutuhkan teknologi penyimpanan daya listrik (energy storage) yang efisien dan berbiaya murah.

 

Sumber :   https://mediaindonesia.com/opini/508176/menjaga-target-transisi-energi

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar