Selasa, 26 Juli 2022

 

Menghindari Resesi Ekonomi

Umar Juoro : Senior Fellow The Habibie Center

KOMPAS, 21 Juli 2022

 

                                                

 

Banyak negara, terutama Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, khawatir mengalami resesi, dengan peningkatan suku bunga yang tinggi untuk mengatasi inflasi yang sudah telanjur tinggi.

 

Inflasi di AS sudah 9,1 persen, di Uni Eropa 8,6 persen, dan Inggris 9,1 persen.

 

Perkiraannya, bank sentral AS, The Fed, akan menaikkan lagi suku bunga sebesar 1 persen. Namun, bank sentral Eropa dan Inggris tidak seagresif The Fed dalam menaikkan suku bunga. Kekhawatiran stagflasi (pertumbuhan negatif dan inflasi tinggi) juga terjadi.

 

Sementara itu, harga komoditas minyak dan pangan sebenarnya mulai terkoreksi turun. Harga minyak menjadi di bawah 100 dollar AS per barel, harga gandum (dan CPO) juga mulai turun. Kekhawatiran resesi dan terjadinya pasokan yang lebih besar dari produsen menurunkan harga minyak. Pengecualian embargo gandum dan pupuk dari Rusia dan pembukaan pelabuhan di Ukraina menurunkan harga gandum.

 

Namun, hal ini masih belum menurunkan ekspektasi inflasi. Ekspektasi inflasi masih tinggi karena besarnya aliran dana ke pasar keuangan ketika suku bunga rendah berlangsung cukup lama, sejak krisis keuangan global 2008. Dana dalam jumlah besar ini harus ditarik oleh bank sentral di negara-negara maju untuk mengendalikan inflasi.

 

Selain itu, gangguan rantai pasok produksi akibat dari pandemi Covid-19 juga tidak bisa diatasi dengan cepat.

 

Pengaruhnya, modal mengalir kembali ke AS, yang menyebabkan mata uang—tidak saja di negara berkembang, tetapi juga negara maju—mengalami pelemahan atau depresiasi cukup besar. Pasar modal, saham, dan obligasi juga mengalami tekanan. Bahkan, harga emas dan kripto pun mengalami penurunan dengan penguatan dollar AS.

 

Implikasi bagi Indonesia

 

Inflasi di Indonesia merangkak naik menjadi 4,35 persen, lebih tinggi dari batas atas dan suku bunga kebijakan Bank Indonesia (BI) yang tetap 3,5 persen. Karena itu, nilai rupiah terdepresiasi menembus Rp 15.000 per dollar AS. Perkiraannya, BI harus menyesuaikan suku bunga kebijakan untuk stabilitas inflasi dan rupiah.

 

Sementara itu, pertumbuhan ekonomi masih cukup baik, sedikit di atas 5 persen. Kredit perbankan tumbuh tinggi 9 persen dan neraca perdagangan masih surplus. Ekspor komoditas memberikan keuntungan besar. Kepercayaan konsumen juga masih cukup tinggi. Sektor utama manufaktur tumbuh seiring dengan ekonomi. Akankah perkembangan ekonomi ini berlanjut menghadapi kemungkinan resesi di negara maju?

 

Pertama-tama yang harus diperhatikan adalah keseimbangan dalam ekonomi nasional. Ekonomi tumbuh positif, dengan keseimbangan neraca perdagangan yang baik. Namun, keseimbangan moneter dan fiskal bisa goyah, dengan adanya kesenjangan antara inflasi dan suku bunga, dan inflasi yang ditahan dengan subsidi besar energi, termasuk kompensasi yang mencapai Rp 500 triliun.

 

Tentu saja koreksi membutuhkan biaya. Peningkatan suku bunga mengerem pertumbuhan kredit yang penting bagi pertumbuhan ekonomi. Pengendalian subsidi menaikkan inflasi. Namun, koreksi ini harus dilakukan supaya ekonomi berjalan dengan kekuatan sendiri dan berkelanjutan.

 

Perusahaan butuh insentif

 

Para pelaku usaha masih membutuhkan insentif dalam masa pemulihan dari pandemi. Apalagi untuk industri yang bertransformasi dengan pekerja yang lebih terampil dan teknologi yang lebih tinggi. Insentif produksi dan investasi dalam bentuk pajak dan nonpajak sangat membantu.

 

Dengan permintaan kredit yang tinggi, korporasi tumbuh 10 persen dan UMKM 17 persen, perusahaan dalam nada ekspansi. Kemungkinan kenaikan suku bunga kebijakan tak terlalu terpengaruh, dan justru bisa mengarahkan ekspansi ke kegiatan dengan produktivitas dan imbal hasil lebih tinggi.

 

Industri dengan Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers’ Index/PMI) terus melakukan ekspansi di tingkatan 50,2. Pergeseran rantai pasok global dari China memberikan peluang baik bagi industri di Indonesia. Sektor perdagangan juga berkembang, terutama e-commerce. Transportasi juga mendekati keadaan pulih setelah pandemi Covid-19. Telekomunikasi dan informasi tetap tumbuh tinggi.

 

Perusahaan keuangan dan non-keuangan pada umumnya membukukan laba yang cukup baik pada tahun lalu dan pada semester pertama tahun ini. Perusahaan yang utangnya harus direstrukturisasi sudah melakukannya dengan kemudahan dari bank yang diminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

 

Tantangan mereka adalah melakukan penyesuaian terhadap kenaikan harga bahan baku yang cepat atau lambat harus disampaikan kepada konsumen. Di sini antara lain sumbangan dorongan inflasi.

 

Menjaga konsumsi

 

Selain kepercayaan konsumen yang cukup tinggi di tingkatan 128 (di atas angka 100 berarti dalam zona optimistis), konsumen masyarakat berpendapatan menengah dan tinggi masih besar tabungannya, sebagaimana terlihat dari masih tingginya pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan yang sekitar 9,9 persen.

 

Konsumsi mereka, khususnya untuk barang tahan lama (rumah dan kendaraan bermotor dan juga listrik), sebaiknya terus difasilitasi, antara lain dengan insentif Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), walau dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang lebih tinggi. Mereka masih dapat menyesuaikan harga barang konsumsi dengan terjadinya inflasi.

 

Bagi konsumen bawah, inflasi lebih tinggi sangat memukul mereka. Karena itu, bantuan sosial dan subsidi terarah sangat diperlukan dan ini semestinya mengompensasi pengurangan subsidi umum energi. Jadi, Indonesia bisa menghindari resesi, bahkan dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dengan kebijakan moneter dan fiskal yang dikoreksi, insentif untuk produksi dan investasi, menjaga konsumsi, serta mengarahkan bantuan sosial dan subsidi.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/20/menghindari-resesi-ekonomi

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar