Senin, 25 Juli 2022

 

Uji Formil UU Ditolak, Pemerintah Kian Mantap Bangun IKN

Susana Rita Kumalasanti :  Wartawan Kompas

KOMPAS, 20 Juli 2022

 

                                                

 

 Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa proses pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara tidak bertentangan dengan konstitusi. Dengan demikian, UU IKN tetap memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Putusan itu juga membuat pemerintah semakin mantap melaksanakan rencana pembangunan dan pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Nusantara.

 

MK menolak seluruh dalil yang diajukan oleh para pemohon dalam dua perkara yang disidangkan, Rabu (20/7/2022). Kedua perkara itu adalah perkara 24/PUU-XX/2022 yang diajukan Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) dan 36/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Azyumardi Azra, Din Syamsuddin, dkk. PNKN, antara lain, mendalilkan bahwa proses pembentukan UU 3/2022 cacat formil karena melanggar sejumlah asas pembentukan perundangan-undangan seperti diatur di dalam UU 12/2011. Asas-asas itu, antara lain, asas kejelasan tujuan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, serta asas keterbukaan. Pemohon juga mempersoalkan terburu-burunya pembahasan UU IKN yang hanya memakan waktu 42 hari.

 

Dari semua dalil yang diajukan, MK menilai pemohon tidak dapat mengajukan bukti-bukti yang kuat untuk mendukung permohonannya. Pemohon tidak dapat menyakinkan para hakim MK untuk mengamini apa yang mereka anggap inkonstitusional.

 

Salah satunya adalah pandangan bahwa UU IKN tidak memiliki asas kejelasan tujuan. Hakim Konstitusi Saldi Isra, saat membacakan pertimbangan, mengungkapkan, maksud dan tujuan pembentukan UU telah dicantumkan dalam UU 3/2022 dan dijelaskan secara komprehensif dalam penjelasan umum. Latar belakang pemindahan IKN juga disebutkan, yaitu adanya keinginan untuk meningkatkan pembangunan kawasan timur Indonesia untuk pemerataan wilayah.

 

MK juga menyatakan bahwa dalil pemohon mengenai RUU IKN tidak memiliki perencanaan legislasi tidak beralasan. Sebab, RUU IKN telah masuk Prolegnas jangka menengah 2020-2022 sesuai dengan surat keputusan DPR RI Nomor 46/DPR RI/I/2019-2020. Setiap tahun, RUU IKN juga masuk dalam Prolegnas prioritas tahunan (tahun 2020, 2021, dan 2022).

 

Berdasarkan fakta itu, kata Saldi, perencanaan pembentukan IKN merupakan bagian dari program sistem perencanaan pembangunan nasional dan dituangkan dalam Prolegnas jangka menengah 2020-2024 dan diprioritaskan sejak tahun 2020. Ini makin menegaskan bahwa pembentukan IKN telah benar-benar memiliki kejelasan tujuan.

 

”Terlepas adanya dalil para pemohon yang menyatakan bahwa rencana pembentukan IKN ini seolah-olah ’disusupkan’ dalam RPJMN tahun 2020-2025, menurut Mahkamah, alat bukti yang diajukan oleh para pemohon tidak cukup membuktikan bahwa dalil a quo benar adanya, apalagi untuk dapat mematahkan argumentasi atau fakta hukum serta bukti-bukti yang diajukan oleh pemerintah dan DPR,” ujar Saldi.

 

Sementara itu, terkait dalil tidak terpenuhinya asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, hakim konstitusi Arief Hidayat mengatakan, pemohon tidak memberikan bukti-bukti yang meyakinkan MK atas tidak berdaya guna dan berhasil gunanya UU 3/2022. Pemohon yang mengajukan hasil survei salah satu lembaga yang menyatakan 61,9 persen tidak setuju dengan pemindahan ibu kota negara dengan alasan adanya potensi pemborosan anggaran negara. Bagi MK, survei tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk menilai pembentuk undang-undang melanggar asas kedayagunaan dan kehasilgunaan.

 

Menurut Arief, untuk melihat sejauhmana IKN dibutuhkan dan bermanfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, yang harus dilakukan adalah membaca secara komprehensif seluruh dokumen terkait UU IKN dan seluruh bagian dari UU tersebut. Misalnya, bagian konsideran, dasar filosofis dan sosiologis, serta bagian penjelasan umum yang menjelaskan latar belakang suatu UU. Dari situ diketahui apakah asas kedayagunaan dan kehasilgunaan diabaikan.

 

Mengenai asas keterbukaan, MK tidak menemukan bukti bahwa pemerintah dan DPR benar-benar menutup diri atau tidak terbuka kepada publik dalam pembentukan UU 3/2022. Meski pemohon sudah mengajukan beberapa bukti, MK tidak melihat itu sebagai bukti bahwa ada tendensi dari pemerintah dan DPR melanggar asas keterbukaan.

 

MK justru mengungkap fakta-fakta hukum yang ditemukan dalam persidangan, yakni Bappenas pada periode 2017-2019 telah melakukan kajian pemindahan IKN yang ditindaklanjuti dengan dialog nasional tematik untuk memperoleh masukan dari pakar, LSM, perguruan tinggi, dan pemangku kepentingan lainnya untuk penyusunan Rencana Induk IKN. Pemerintah sudah menerima masukan dan aspirasi dari publik terkait IKN dengan melakukan lokakarya. DPR pun sudah menjaring masukan masyarakat melalui serangkaian RDPU atau kunjungan kerja dalam rangka pembahasan RUU IKN. Public hearing (dengar pendapat publik) di berbagai universitas pun sudah dilakukan.

 

”Berdasarkan uraian fakta-fakta hukum tersebut di atas, terbukti pemerintah dan DPR telah melakukan berbagai kegiatan untuk menyerap aspirasi yang berkembang di masyarakat, baik dari tokoh masyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, pakar hukum tata negara, dan kelompok masyarakat adat,” ujar Enny. MK justru mempertanyakan pemohon yang tidak melibatkan diri secara proaktif dan responsif dalam memberikan masukan terhadap proses pembentukan UU IKN.

 

”Fast track legislation”

 

Dalam permohonannya, PNKN mendalilkan bahwa pembentukan UU IKN dilakukan dengan sangat cepat (fast track legislation) karena hanya memakan waktu 42 hari, tepatnya sejak 3 November 2021 hingga 18 Januari 2022. Padahal, UU IKN bersifat strategis dan berdampak luas. Praktik fast track legislation tersebut dinilai oleh para pemohon inkonstitusional karena berimplikasi pada tidak terwujudnya proses deliberatif dalam pembentukan undang-undang.

 

Terkait dalil tersebut, MK mengatakan, proses pembentukan suatu undang-undang tidak tergantung dari berapa lama atau cepat lambatnya pembahasan. Namun, yang penting proses pembentukan undang-undang tersebut harus mengikuti kaidah proses pembentukan undang-undang seperti diatur di UU 12/2011.

 

Ditegaskan oleh MK, sepanjang semua proses dalam tahapan (mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, hingga pengundangan) sudah terpenuhi dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan penuh kehati-hatian, waktu penyelesaian dan pembahasan yang terkesan cepat atau fast track legislation merupakan upaya pembentuk UU untuk menyelesaikan UU pada umumnya. UU 12/2011 juga tidak memberikan ketentuan definitif mengenai frame waktu kapan suatu RUU yang telah masuk Prolegnas akan diselesaikan.

 

Hanya saja, MK menegaskan, pentingnya pembentukan peraturan perundangan itu berpatokan kepada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, meliputi asas kejelasan tujuan, kelembagaan/pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayaangunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaan.

 

Atas putusan tersebut, Ketua Tim Komunikasi Ibu Kota Nusantara Sidik Pramono mengapresiasi putusan MK yang menolak permohonan uji formil UU IKN. Putusan tersebut mengukuhkan argumentasi pihak pemerintah bahwa seluruh proses penyusunan UU IKN telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

 

”Putusan ini tentu menjadi tambahan energi untuk menjalankan proses persiapan, pembangunan, pemindahan, dan nantinya juga penyelenggaraan pemerintahan daerah khusus di IKN,” ungkap Sidik.

 

Sementara itu, kuasa hukum PNKN, Viktor Santoso Tandiasa, mengungkapkan, MK terlihat sukses menjadi juru bicara untuk menguatkan dalil-dalil pembentuk undang-undang. Menariknya, terhadap dalil-dalil MK sendiri dalam putusan Nomor 91/2020 terkait meaningfull participation, hal itu sama sekali tidak digunakan. ”Dan terkesan dibantah sendiri oleh MK di pertimbangan hukum putusan 24/2022,” kata dia.

 

Dalam pertimbangan hukum uji formil perkara 36/2022 yang mempersoalkan tidak terpenuhinya partisipasi yang bermakna, MK menyatakan DPR telah melakukan kegiatan dalam rangka memenuhi hak untuk dipertimbangkan (the right to be considered) pendapat publik dan hak untuk diberi penjelasan atas pendapatnya (the right to be explained) atas pendapat yang diberikan. Pembentuk undang-undang tidak terbukti mengesampingkan kedua hak tersebut karena telah dibukanya akses kepada masyarakat, baik terhadap naskah akademik maupun RUU IKN, serta diakomodasinya masukan dan pendapat secara daring.

 

Sementara itu, Viktor juga mengkritik soal beban pembuktian yang selalu diberikan kepada pemohon. Padahal, mendapatkan alat bukti dalam pengujian formil adalah hal yang mustahil karena harus didapat dari pembentuk undang-undang. Pihaknya sudah mengajukan permohonan untuk meminta dokumen kepada pemerintah dan DPR, tetapi tidak diberikan.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/07/20/uji-formil-uu-ditolak-pemerintah-kian-mantap-bangun-ikn

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar