Selasa, 26 Juli 2022

 

Dor! Pentingnya Belajar Mengarang

Wina Armada Sukardi :  Wartawan Senior

CEKNRICEK.COM, 23 Juli 2022

 

 

                                                           

Sewaktu kita sekolah dahulu, ada pelajaran mengarang. Pada tingkat SD sampai dengan SMA, biasanya, pelajaran mengarang hanyalah bagian dari pelajaran Bahasa Indonesia. Pada tingkat perguruan tinggi barulah “pelajaran mengarang” mengalami pendalaman. Para mahasiswa diminta membedah karya-karya pengarang terkenal. Diperkenalkan pula analisis struktur, karakter tokoh,  gaya, ciri khas, jalinan cerita dan tafsir makna dari karya-karya besar tersebut.

 

Walaupun pada sekolah mengarang cuma dianggap sebagai tambahan atau pelengkap, sebenarnya pelajaran mengarang memiliki arti penting bagi pemahaman siswa terhadap lingkungan peristiwa. Dengan begitu, pelajaran mengarang dapat membantu para siswa membangun karakternya dan lebih cerdik dalam menghadapi kehidupan dan penghidupan.

 

Sebagian isi kitab suci pun disampaikan dengan cara “bertutur” atau “bercerita.” Bedanya, kalau dalam pelajaran mengarang, sebagian besar isinya fiktif, sebaliknya dalam kitab suci isinya diyakini sebagai kebenaran faktual. Kitab Suci diyakini para pemeluknya bukan hasil rekayasa, melainkan pengaturan langsung dari Sang Pencipta. Sesuatu yang riil baik di alam nyata maupun nanti di alam baka. Namun penyampaiannya juga banyak yang lewat cara bercerita atau bertutur. Dari sana, manusia diajak berpikir, merenung dan meyakini kisah-kisah yang ada di kitab suci.

 

Oleh karena itu, sejatinya pelajaran bertutur, bercerita atau mengarang menjadi penting. Pada tingkat SD kita baru diajarkan pada tataran perlunya mengekspresikan diri secara tertulis. Menuangkan pengalaman dan perasaan kita atau orang lain secara sederhana. Sering dulu para siswa memulai hasil karya mengarangnya dengan kalimat “pada suatu hari…”

 

Pada  tingkat SMP sedikit dikembangkan lagi. Sudah mulai diberi pengetahuan siapa-siapa saja nama “pengarang” yang terkenal berikut judul karangannya. Juga sudah mulai diminta menghafal nama-nama para pelaku dari karya-karya pengarang. Hanya saja, semua itu belum lebih dari sekedar untuk diketahui, bahkan cuma buat dihafal. Misalnya buku “Siti Nurbaya” diajarkan siapa penciptanya dan siapa saja tokohnya.

 

Lantas pada tingkat SMA dilakukan sedikit pendalaman. Pada tingkat ini kita sudah diperkenalkan serba selintas siapa saja pengarang terkenal dan isi dari ciptaannya. Apa saja yang menonjol dari karya-karya para pengarang terkenal itu. Bagaimana tabiat dasar dari para tokohnya. Sekali-kali kita diminta buat “karangan” sendiri.

 

Nah, pada tingkat universitas barulah kita diberikan kemampuan analisis baik terhadap keseluruhan karya maupun aspek-aspek karya itu, seperti pemilahan karakter tokohnya. Bagaimana latar belakang tokohnya dan interaksi tokoh itu dengan para tokoh lain. Dimana kekuatannya. Dimana kejanggalan atau kelemahannya, jika ada.

 

Pada masyarakat sastra, walaupun banyak yang tidak berasal dari universitas atau dari fakultas budaya (sastra), pendalaman ini lebih kritis lagi. Cerita yang tanpa argumentasi kuat bakal dikuliti. Karakter tokoh yang tidak jelas akan disorot habis. Apalagi jalinan cerita yang tidak masuk akal pastilah menjadi bahan kritik.

 

Oleh sebab itulah dalam mengarang cerita, seluruh unsur dan dampak dari kehadiran unsur itu dalam keseluruhan cerita perlu diperhatikan dengan seksama. Semua harus punya argumentasi atau nalar yang kuat. Mengarang dengan cerita yang centang perentang cuma bakal jadi bahan tertawaan, bahkan cemooh saja. Itu pun, kita belum bicara mengenai “gaya” berceritanya

 

Lebih sulit lagi kalau kita mengarang berdasarkan peristiwa nyata. Kita dituntut untuk lebih teliti. Lebih cermat. Setiap detail harus dirancang dengan sangat akurat. Hubungan sebab akibat mesti dibungkus dengan logika yang kuat.

 

Karakter atau tabiat serta kebiasaan tokoh atau pelaku perlu disesuaikan dengan latar belakang mereka. Kalau tidak, akan muncul kontradiksi. Contoh orang tak berpunya, maaf, sulit dipercaya dapat makan yang mewah di restoran mewah, kalau bayar sendiri. Atau, orang miskin punya mobil mewah. Seorang polisi yang masih level bawah, contoh lainnya, sulit diterangkan dapat memakai pistol bermerek terkenal yang biasa hanya dipakai oleh orang kaya atau perwira tinggi. Ini hanya contoh saja.

 

Dampak peristiwa terhadap peristiwa berikutnya, jelas wajib diperhitungkan dengan seksama. Data harus dikuasai. Kebiasaan atau konvensi dari suatu profesi perlu dipahami. Dalam dunia kedokteran, umpamanya, seorang mahasiswa kedokteran tidak mungkin berani membangkang kepada dosennya apalagi kalau dosennya sudah tingkat profesor.

 

Seorang bawahan dalam ketentaraan atau kepolisian juga tidak mungkin membangkang terhadap atasan. Sang bawahan tidak mungkin, ini lagi-lagi sekedar contoh, masuk kamar pribadi atasan tanpa diperintah. Jangankan masuk kamar pribadi, masuk rumah atasan saja, apalagi yang sudah berpangkat jenderal, sang  bawahan selalu berkata “Izin, masuk.”

 

Maka menjadi hampir tak mungkin jika dalam ketentaraan atau kepolisian, bawahan yang berpangkat masih rendah, berani masuk ke kamar tidur pribadi atasan, dalam karangan sudah pasti ada kejanggalan.

 

Lebih jauh lagi “peristiwa kebetulan” sekalipun perlu ada narasi yang menjelaskan dengan baik sehingga dapat menyakinkan dan jangan sampai memberi kesan “peristiwa kebetulan” tersebut hanyalah rekayasa lantaran ketidakmampuan merangkai konsep peristiwa yang komprehensif.

 

Contohnya, sekali lagi ini cuma contoh, kalau ada kejahatan di sebuah arena atau rumah yang ada CCTVnya, pas terjadi peristiwa kejahatan atau peristiwa tertentu,  ketika mau dimonitoring dari CCTV, ternyata CCTVnya pas hari itu “kebetulan” rusak atau bahkan dicuri orang.

 

Ini “kebetulan” yang tak masuk akal. Kalau mau dipakai skenario itu, seharusnya perlu ada informasi pendahuluan atau planing information sehingga orang mahfum kenapa hal tersebut terjadi. Misal sebelumnya sudah beberapa kali diperbaiki atau macet-macet. Kalau mendadak hilang tanpa sebab musabab, ya, pastilah karangan tersebut dinilai mengada-ngada atau tidak memiliki dasar kuat.

 

Hal-hal yang mungkin dipertanyakan oleh publik, wajib dapat dijawab dengan nalar sehat. Kronologis kejadian perlu disusun dengan masuk akal. Dengan begitu hubungan kejadian dengan kejadian lain menjadi jelas dan memiliki landasan yang kokoh.

 

Nah, kalau kasus yang diduga polisi menembak polisi di rumah perwira polisi, karena faktor istri polisi dan sudah diperiksa oleh polisi, benar mengandung dugaan  “karangan” maka dengan cepat dapat dikatagorikan  “karangan” tersebut merupakan hasil karya “karangan” yang buruk.

 

Apakah peristiwa kematian polisi merupakan hasil “karangan” sebagai diduga masyarakat luas, belum tentu benar. Tapi juga belum tentu salah.

 

Apapapun yang terjadi, memang dari dugaan peristiwa itu ada lebih dari 50 kejanggalan yang dapat mengundang pertanyaan yang dapat diajukan. Itu menunjukkan karangan tersebut buruk. Terlepas dari benar atau tidaknya kejadian itu.

 

Seluruh rangkaian kasus ini memang masih dalam penyelidikan yang pasti akan ditingkatkan ke penyidikan, lalu ke meja hijau. Selama proses hukum itu berjalan kita memang tak boleh menghakimi. Selama belum ada kekuatan hukum yang tetap, kita belum boleh mengambil kesimpulan hukum pasti terhadap semua gejala, fakta dan data.

 

Kendati begitu, pada sisi lain kita juga tidak boleh mengabaikan logika akal sehat dan pikiran kritis. Kita tak dapat mengabaikan prinsip mengarang yang baik. Dalam hal ini begitu banyak kejanggalan dalam peristiwa itu.

 

Sampai saat ini, peristiwa tersebut masih bagaikan contoh pelajaran “mengarang” yang mengandung begitu banyak kelemahan, kontradiksi dan melawan akal sehat. Walaupun dalam mengarang kita tidak boleh melupakan tiga adagium: pertama, jika  kejahatan sudah bersemayam dalam jiwa, semua perhitungan akal sehat  kemungkinan hilang. Barulah nanti untuk menutupi dibuat kebohongan demi kebohongan.

 

Kedua, jika cinta  sudah melekat dan cemburu sudah membakar, sering kali  logika tak lagi bekerja.

 

Lalu  ketiga, sepandai-pandai orang melakukan kejahatan, pastilah ada  kelemahan yang dapat menjadi celah mengungkapkan kejahatan tersebut. Dalam mengarang, faktor  ini juga menjadi bagian dari kemampuan pengarang menyiasatinya.

 

Jadi, siapa bilang pelajaran “mengarang” tidak penting? Lewat mengarang yang baik kita tidak terlihat dungu banyak kejanggalan, tidak sinkron, ankronolisem dan sebagainya. Dan yang penting publik jadi tidak percaya.

 

Sumber :   https://ceknricek.com/a/dor-pentingnya-belajar-mengarang/32457

Tidak ada komentar:

Posting Komentar